Kasus Benih IF8
Penangkar Benih Aceh Utara Merasa Dirugikan dengan Peredaran Benih IF8 di Masyarakat, Ini Alasannya
Seharusnya benih IF8 tersebut harus dikarantina dulu untuk menguji ketahanan, karena beda iklim satu daerah dengan daerah lain berbeda.
Penulis: Jafaruddin | Editor: Ansari Hasyim
Laporan Jafaruddin I Aceh Utara
SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON - Belasan penangkar benih di Aceh Utara mendatangi Dinas Pertanian dan Pangan (Distan) Aceh Utara untuk mempertanyakan peredaran benih IF8 yang beredar secara luas, tapi belum ada label.
“Kami datang ke sini ingin mempertanyakan terkait ada benih IF8 yang beredar secara meluas, karena merugikan kami penangkar benih yang resmi yang dibina Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih,” ujar Sofyan seorang penangkar benih asal Kecamatan Meurah Mulia kepada Serambinews.com (26/7/2019).
Selain itu mereka juga mencari solusi, apakah boleh benih IF8 beredar sebelum berlabel.
Karena penangkar benih yang resmi membayar Pendapatan Asli Daerah (PAD) kepada pemerintah.
“Yang terjadi kerugian pada kami, harga benih yang diambil pemerintah lebih murah dibandingkan dengan IF8,” katanya.
Karena harga benih dari penangkar resmi selama ini dibeli pemerintah Rp 12 ribu per kilogram.
Sedangkan IF8 mencapai Rp 30 ribu per kilogram.
Baca: Pasangan Suami Istri Ini Gondol Hp Terekam CCTV, Begini Cara Mereka Beraksi
Baca: Kasus Penyiraman Air Keras Terhadap Novel Baswedan, Istana Minta Semua Pihak Tunggu Hasil dari Polri
Baca: BREAKINGNEWS : Kapolda Aceh Kabulkan Penangguhan Penahanan Keuchik Munirwan
Disebutkan, jumlah penangkar benih di Aceh Utara 23 orang, tapi yang masih aktif 16 orang.
“Seharusnya benih IF8 tersebut harus dikarantina dulu untuk menguji ketahanan, karena beda iklim satu daerah dengan daerah lain berbeda,” katanya.
Nama benih yang dibudidayakan penangkar benih Impari 32, karena memiliki kualitas, dan beras bagus.
Disebutkan, Impari 32 mulai beredar di masyarakat pada 2016.
Hasilnya per hektare mencapai 6,5 ton.
“Setiap benih yang baru masuk ke suatu daerah pasti hasil dua kali panen pasti baik. Tetapi nanti akan berkurang dengan adanya serangan hama,” katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya Polda Aceh menahan Keuchik Meunasah Rayeuk Kecamatan Nisam, Aceh Utara, Tgk Munirwan setelah ditetapkan sebagai tersangka, Selasa (23/7/2019).
Penahanan Tgk Munirwan terkait dugaan tindak pidana memproduksi dan mengedarkan (memperdagangkan) secara komersil benih padi jenis IF8 yang belum dilepas varietasnya dan belum disertifikasi (berlabel).
Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM, Zulfikar Muhammad selaku pendamping tersangka mengatakan saat ini Tgk Munirwan sudah ditahan di sel Mapolda Aceh sejak penetapan tersangka.
Kasus itu diadukan oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh.
Menurut Zulfikar ada keanehan dalam proses aduan tersebut.
Sebab, selama ini Tgk Munirwan sudah berhasil mengembangkan padi jenis IF8 - - bibit bantuan Gubernur Irwandi Yusuf - - di daerahnya dengan hasil melimpah setiap kali panen.
Bahkan, dengan inovasinya Desa Meunasah Rayeuk terpilih menjadi juara II Nasional Inovasi Desa yang penghargaannya diserahkan langsung oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI, Eko Putro Sandjojo.
Karena keberhasilan itu, permintaan masyarakat terhadap bibit tersebut menjadi banyak.
Sehingga Desa Meunasah Rayeuk membentuk BUMG jual beli bibit tersebut hingga ke empat kecamatan.
Karena pengelolaan ini desa setempat berhasil menghasilkan PAD Rp 1,5 miliar.
Namun tiba-tiba Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh melaporkan Keuchik Desa Meunasah Rayeuk, Tgk Munirwan dengan delik aduan telah mengomersilkan benih padi jenis IF8 yang belum berlabel.
"Ini aneh, harusnya pemerintah membina bukan melaporkan. Ini menyakitkan kenapa pemerintah yang melaporkan padahal masyarakat tidak merasa dirugikan selama ini," kata Zulfikar.(*)