Jurnalisme Warga
Cinendang, ‘Ibu’ yang Ditinggal Anak-anaknya
ACEH Singkil hidup dalam lingkar sejarah yang bertalian dengan Aceh. Tanah Singkil atau Singkel dihubungkan oleh sungai legendaris

OLEH NURHALIMAH ZULKARNAEN, pegiat budaya, penari, dan Mahasiswi Program Studi Sosiologi Agama di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, melaporkan dari Aceh Singkil
ACEH Singkil hidup dalam lingkar sejarah yang bertalian dengan Aceh. Tanah Singkil atau Singkel dihubungkan oleh sungai legendaris sekaligus sungai terpanjang di Aceh, yakni Cinendang dan Lae Souraya. Cinendang, sungai yang berada di Lipat Kajang Bawah, Aceh Singkil. Masyarakat Singkil menyebutnya tapin. Dahulu, pada abad ke-15, Lae (Sungai) Cinendang ini dilewati kapal-kapal dagang dari Barus, Tapanuli, dan daerah lainnya, menggunakan kapal bergaya Eropa seperti lanchara dan jung.
Kemudian, sekitar tahun ‘80-an sampai abad 21, Lae Cinendang menjadi sungai yang sering dilewati oleh para nelayan, masyarakat yang ingin bertransaksi jual beli, petani yang hendak menuju sawah (mi juma), juga ketika hendak mengantar mempelai (mengakhak/menjalang) atau pun saat hendak menghadiri undangan pesta (bagahen).
Sungai ini menjadi salah satu jalur jalannya aktivitas bagi masyarakat Singkil, khususnya masyarakat Kecamatan Simpang Kanan yang berada di daerah aliran Lae Cinendang. Tidak hanya itu, berdasarkan cerita seorang ibu dari Lipat Kajang bernama Rosdah yang masa kecilnya tinggal berdampingan dengan Lae Cinendang, bahwa dia hampir pernah membantu ayahnya untuk pergi ke medan perang melawan penjajah Belanda, tapi ayahnya tak mengizinkan dikarenakan banyak hal. Jadi, "Di sungai ini pun masyarakat Singkil pernah melawan serangan penjajah Belanda," kenangnya. Hal inilah yang membuat sungai ini sarat nilai sejarah karena pernah menjadi palagan (medan tempur).
Seperti yang diketahui masyarakatnya, Aceh Singkil adalah salah satu pengekspor kayu yang terbesar pada masanya (1933-1984). Pohon besar yang tumbuh di sekitar Lae Cinendang dijadikan masyarakat setempat sebagai alat perang untuk melawan Belanda. Ketika mendengar kabar bahwa penjajah akan memasuki wilayah mereka, dengan sigap mereka memikirkan bagaimana cara untuk melawan penjajah tersebut, dan akhirnya mereka temukan cara: menggunakan pohon-pohon besar yang berada di sekitar sungai.
Sebelum penjajah memasuki wilayah tersebut, masyarakat yang ikut melawan Belanda bersiap-siap untuk menebang pohon. Pohon yang ditebang besar dan keras. Pemotongannya tak sampai habis, mereka sisakan kira-kira sejengkal agar pohonnya masih bisa berdiri. Tidak lupa juga mereka ikatkan tali pada badan pohon yang sudah dipotong setengah. Nah, ketika penjajah Belanda mulai memasuki wilayah mereka melalui sungai, masyarakat pun menarik tali sehingga pohon-pohon besar tadi jatuh ke sungai. Boat yang mereka tumpangi pun oleng dan mereka tenggelam bersama boatnya di Sungai Cinendang yang arusnya sangat deras (sebak lae/bellen lae). Dengan demikian, heroisme akar rumput–seperti halnya perdagangan dan sumber penghidupan–adalah peristiwa yang membuat sejarah Lae Cinendang tak akan pernah pudar.
Sungai ruh kebudayaan
Banyak hal yang terjadi di sungai ini. Sungai atau tapin bagi masyarakat Simpang Kanan, khususnya masyarakat Lipat Kajang Bawah, adalah tempat untuk saling berbagi sesama warga. Di sungai ini masyarakat membuat sebuah tempat yang bisa digunakan untuk mencuci baju atau pun piring bahkan untuk mandi dan lain sebagainya. Orang Singkil menyebutnya jamban (kamar mandi), juga tempat untuk membuang hajat yang disebut dengan gelobo (WC).
Pada tahun ‘90-an sampai awal abad 21 sungai ini masih sering dilewati oleh masyarakat Singkil menggunakan sampan (bungki/robin) juga boat besar yang berbagai macam bentuknya. Masyarakat yang melewati sungai dengan boat biasanya membawa barang-barang berat dan berharga. Juga digunakan untuk mengantar mempelai (mengakhak/menjalang) pria ke rumah pengantin wanita. Boat digunakan hanya untuk keadaan tertentu. Sedangkan perahu kecil dipakai untuk keperluan sehari-hari, seperti pergi ke sekolah, ke sawah, ke pasar, ke tempat pesta, dan lain-lain.
Saya masih ingat persis ketika ada kapal atau robin yang melewati sungai tersebut, kami berteriak dari jamban dan memanggil-manggil orang yang berada di dalam kapal dan jauh di seberang sana. "Kapal, ikut kami. Dahi kami seden/Kapal, kami mau ikut. Jemput kami di sini." Begitulah seruan yang selalu kami lontarkan ketika sedang mandi dan boat melewati sungai yang lebar ini.
Banyak hal unik yang masih terkenang di dalam ingatan terkait Lae Cinendang. Di jamban, kami juga sangat sering bermain, apa pun jenis permainannya. Lompat ke dalam air dengan gaya apa pun bisa (rolling ke depan dan ke belakang, jungkir balik, dan kalau ada pohon di tepi sungai kami naik, dan lompat dari atas langsung terjun ke dalam air). Tidak hanya itu, permainan renang adalah kesukaan kami, keahlian renang kami jangan diragukan lagi. Melewati air dari bawah jamban sambil menyelam dan menyeberangi sungai dengan berjalan kaki dari desa kami ketika air sungai terlihat dangkal, semua itu pernah kami lakoni.
Ibu yang tercemar
Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, semuanya telah berubah, satu demi satu menghilang. Lae Cinendang sudah jarang digunakan masyarakat untuk jalur transaksi dagang, karena jalan darat dari Singkil ke Medan sudah tembus sejak 1985. Seiring dengan itu tentu saja interaksi antarwarga di kawasan daerah aliran sungai (DAS) menjadi berkurang. Mulai dari tidak pernah lagi dilewati boat besar dan jarangnya perahu melintas, anak-anak yang tidak pernah merasakan permainan yang mengasyikkan, hingga sungai yang sudah tercemar, dan terkena limbah pabrik oleh kaum elite yang tidak bertangung jawab. Sungai malah dijadikan tempat pembuangan limbah yang membuat warga terkena penyakit kulit alias gatal-gatal.
Sampah yang berserakan di air, tepi sungai yang dulunya tempat yang sejuk kini menjadi tempat yang gersang dan panas. Hingga pada akhirnya bagi masyarakat yang tinggal di DAS, Cinendang hanya tinggal sejarah.
Mestinya sungai adalah salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat dan harus dirawat dengan baik. Sebagai salah satu contohnya Lae Cinendang yang berada di Simpang Kanan sudah terlupakan dan tidak dirawat lagi dengan baik. Akibatnya, rawan tercemar, semakin dangkal, bahkan tak mampu lagi menampung massa air hujan dalam durasi lama, sehingga sering terjadi banjir luapan di sini.
Oleh karena itu, jaga dan rawatlah sungai dari pencemaran, dari tangan kaum elite yang tidak bertanggung jawab, dan dari masyarakat di sekitarnya yang tak peduli akan arti sungai bagi kehidupan kolektif agar Cinendang jangan seperti ibu yang ditinggalkan oleh anak-anaknya. Dibiarkan tanpa perhatian, tanpa rawatan.