KUPI BEUNGOH

MQK Internasional: Kontestasi Kitab, Reproduksi Ulama, dan Jalan Peradaban Nusantara

MQK di Wajo menghadirkan wajah baru pesantren. Selama ini, pesantren sering dipandang hanya sebagai lembaga pendidikan tradisional.

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Tgk. H. Faisal Ali (Abu Sibreh), Ketua PWNU Aceh dan Anggota Majelis Masyayikh 

Oleh Tgk. H. Faisal Ali atau Abu Sibreh*)

Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Internasional pertama akan digelar di Wajo, Sulawesi Selatan, pada 1–7 Oktober 2025. 

Kementerian Agama memastikan seluruh persiapan matang, menjadikannya salah satu perhelatan keilmuan terbesar dalam sejarah pesantren Indonesia

Fakta bahwa ini merupakan MQK Internasional pertama dan akan diikuti oleh peserta dari 10 negara, antara lain Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Myanmar, Brunei Darussalam, dan Kamboja, menjadikan peristiwa ini bukan sekadar lomba, melainkan tonggak sejarah baru.

Di balik gegap gempita lomba, MQK membawa makna yang jauh lebih dalam. 

Ia merupakan simbol kesinambungan tradisi ulama Nusantara yang telah terbentuk sejak abad-abad lampau, cermin dari dinamika peradaban pesantren, sekaligus mekanisme strategis untuk memastikan reproduksi ulama yang otoritatif, moderat, dan relevan di masa mendatang.

Tradisi Ulama yang Menghubungkan Lokal dan Global

Sejarah Islam di Nusantara merupakan sejarah jaringan ulama. Azyumardi Azra dalam karyanya (1994) menegaskan bahwa jaringan ulama Nusantara menjadi penyangga legitimasi Islam di kawasan Asia Tenggara dengan menghubungkan otoritas lokal dengan khazanah global. 

Ulama-ulama dari Aceh, Banten, hingga Bugis, membangun simpul keilmuan dengan Mekkah, Madinah, hingga Kairo. 

Dari jaringan inilah Islam Nusantara tumbuh kokoh: otentik dalam akar lokalnya, namun universal dalam orientasi ajarannya.

MQK merupakan refleksi modern dari kesinambungan itu. 

Di masa lalu, ulama Nusantara berdiplomasi melalui keilmuan; di masa kini, santri meneguhkan kembali diplomasi itu melalui kitab kuning di panggung internasional. 

Dengan membaca, mengkaji, dan mendialogkan teks klasik, para santri membuktikan bahwa Islam Nusantara tetap hidup, bernapas, dan relevan.

Baca juga: Kemenag Aceh Lepas Keberangkatan Kafilah Aceh MQK Internasional ke Sulawesi Selatan

Kitab kuning yang dibaca dalam MQK bukan sekadar teks akademik. Ia merupakan “peta jalan” yang menghubungkan generasi ke generasi. 

Dari fiqh hingga tasawuf, dari tafsir hingga nahwu sharaf, kitab kuning merepresentasikan khazanah intelektual yang menjadi pondasi peradaban Islam

Dalam konteks MQK, kitab-kitab itu menjadi arena dialog antar-santri Asia Tenggara, bahkan dunia.

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved