Makan Durian Usai Bebas Vonis Mati, Sultan Malaysia Ampuni 3 Warga Aceh
Tiga warga Aceh yang sebelumnya divonis hukuman mati dan sempat dipenjara selama 23 tahun di Malaysia, akhirnya bebas
BANDA ACEH - Tiga warga Aceh yang sebelumnya divonis hukuman mati dan sempat dipenjara selama 23 tahun di Malaysia, akhirnya bebas setelah mendapatkan pengampunan dari Kerajaan Malaysia. Ketiganya tiba di Aceh pada Kamis (8/8) dan direncanakan Jumat (9/8) hari ini dipulangkan ke kampung halamannya di Bireuen.
Mereka adalah Bustamam (43) asal Gampong Lueng Baro dan Tarmizi (45) asal Gampong Ceurucok Barat, Kecamatan Samalanga, serta Sulaiman (46) asal Gampong Meunasah Lueng, Jeunib, Bireuen.
Awalnya mereka bertiga sempat divonis hukuman mati karena terbukti menjual dadah (ganja). Kerajaan Malaysia lalu memberi mereka dua kali pengampunan. Pengampunan pertama dari hukuman mati ke hukuman seumur hidup, dan pengampunan kedua dari hukuman seumur hidup menjadi bebas.
Setiba di Aceh, Bustamam mengungkapkan bahwa salah satunya keinginannya setelah bebas adalah bertemu keluarga dan ingin melahap durian sepuasnya. Selama 30 tahun berada di penjara, Bustamam mengaku tidak pernah sekalipun makan durian.
"Yang paling diinginkan itu makan durian, karena sudah 30 tahun tidak makan durian lagi. Kalau makan sie itek, ayam kampung, makan kambing, itu pernah pas di penjara, tapi kalau durian tak pernah," ujarnya kepada Serambi di Kantor Dinas Sosial (Dinsos) Aceh kemarin.
Mendengar keinginan tersebut, Kepala Dinsos Aceh, Alhudri, langsung mengajak ketiganya makan durian di kawasan Lampineung. Mereka bertiga terlihat sangat lahap menghabiskan durian bersama dengan pulut bakar. "Sangat seronok lah durian hari ini. Ini sudah puas hati saya," ujar Bustamam sambil melahap durian.
Dia mengaku sudah 30 tahun tak pernah mencicipi durian, terakhir ia makan si raja buah tersebut sekitar tahun 1990, sebelum berangkat ke Malaysia. Ternyata, jeruji penjara juga membuat mereka rindu berat terhadap durian Aceh yang dulu bisa disantapnya setiap tahun.
Bustamam dan Tarmizi ditangkap pada 1996, sedangkan Sulaiman ditangkap pada 2004. Ketiganya ditangkap di Kuala Lumpur dan divonis mati setahun setelahnya. "Saat pertama kali divonis hukuman mati, saya tidak ingat apa-apa lagi, badan lemas, selera makan memang sudah tidak ada lagi, yang ada dipikiran saya hanya shalat dan berdoa saja, udah nggak ada harapan bertemu keluarga lagi," ujar Bustamam yang saat ditangkap masih berumur 19 tahun.
Bustamam dan Tarmizi sama-sama berasal dari Samalanga dan dulunya berada dalam satu kelompok penjualan dadah. Mereka ditangkap pada tahun 1996 di Kuala Lumpur setelah masuk dalam jebakan Polisi Diraja Malaysia.
Saat dijumpai Serambi di Kantor Dinas Sosial (Dinsos) Aceh, Kamis (8/8), ketiganya bercerita mengenai ihwal mereka ditangkap. Bustamam masuk ke Malaysia sebagai pendatang haram atau TKI ilegal pada 1993, saat masih berusia 17 tahun.
Awalnya dia bekerja sebagai tukang bangunan. Merasa penghasilannya kurang, Bustamam mulai terpengaruh oleh teman-temannya untuk berjualan ganja. Dalam bisnis inilah ia bertemu dengan Tarmizi. Ganja yang mereka jual berasal dari Myanmar yang dipasok melalui Thailand.
Pada suatu hari di tahun 1996, mereka mendapat pesanan ganja dalam jumlah besar. Setelah adanya kesepakatan, pada suatu malam keduanya pun bertemu dengan pembeli tersebut. Namun saat akan bertransaksi dalam mobil pembeli, kedua remaja ini menyadari ternyata calon pembeli itu merupakan Polisi Malaysia yang sedang menyamar.
Bustamam tak berkutik saat pistol ditodongkan ke kepalanya. Sedangkan Tarmizi yang saat itu berusia 23 tahun sempat melawan petugas dan berusaha kabur. Akhirnya satu tembakan dilepaskan ke kaki Tarmizi sehingga dia pun pun tak berdaya. Sementara Sulaiman ditangkap di rumahnya di Kuala Lumpur pada 2004 lalu. Ketika ditangkap ia tak bisa berbuat apa-apa karena sedang membungkus-bungkus ganja untuk dipasarkan. Sulaiman langsung digiring ke hadapan hakim.
Meskipun ketiganya sudah dijatuhi hukuman mati dan bersiap dihadapkan ke tiang gantungan, ketiganya masih berusaha melayangkan pengampunan ke Mahkamah Agung-nya Malaysia. Ternyata dibalik itu, Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat meminta pengampunan kepada Kerajaan Malaysia terhadap sejumlah WNI yang akan dihukum mati.
Pada 2012 lalu, keluarlah pengampunan dari Kerajaan Malaysia dari sebelumnya hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Ketiganya kembali berusaha mengajukan pengampunan, dan pada 2019 mereka diampuni dan dibebaskan. Mereka bertiga bisa kembali pulang ke Aceh setelah difasilitasi oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, KBRI Malaysia, dan Dinsos Aceh.
Kepala Dinsos Aceh, Alhudri mengatakan, ketiganya diampuni oleh Kerajaan Malaysia karena berkelakuan baik selama dalam penjara. “Mereka rajin datang ke acara tausyiah dan tidak pernah meninggalkan shalat,” ujarnya.
Alhudri mengaku mendapatkan mendapat perintah dari Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, untuk memfasilitasi pemulangan ketiga warga Aceh tersebut. Pemulangan dimulai dari Kuala Lumpur ke Jakarta, lalu Jakarta dan Banda Aceh. “Hari ini Dinsos Aceh akan mengantar ketiganya ke kampung halaman masing-masing untuk bertemu keluarga,” demikian Alhudri.
Ada cerita menarik saat Bustamam, Tarmizi, dan Sulaiman tiba di Banda Aceh, Kamis (8/8). Begitu tiba, mereka dibawa menyantap kuliner Aceh, melihat Masjid Raya Baiturrahman, hingga membeli baju baru di Suzuya Mall Banda Aceh.
Saat belanja di Suzuya, diketahui bahwa mereka ternyata sudah tidak kenal lagi dengan mata uang Rupiah. Mereka terlihat kebingungan saat akan membayar baju yang dibeli dan akhirnya meminta bantuan pada staf Dinas Sosial (Dinsos).
"Setelah memilih baju untuk dibeli, mereka minta ke staf kami untuk dibayarkan karena mereka tidak tahu lagi dengan uang rupiah," ujar Kepala Seksi (Kasi) Perlindungan Sosial Dinsos Aceh, Rohaya Hanum kepada Serambi kemarin.
Usai membeli baju baru, mereka selanjutnya akan diantar ke kampung halamannya di Bireuen untuk berkumpul lagi bersama keluarga masing-masing. Ketiganya mengaku jera menjadi bandar narkoba dan berjanji tidak akan mendekati barang haram itu lagi. Mereka sudah merasakan pahitnya terkurung bertahun-tahun di jeruji besi.
Bustamam misalnya, sudah menghabiskan hampir setengah usianya di dalam penjara, yaitu 23 tahun, sejak ditangkap pada 1996 dan bebas pada 2019. Kerasnya kehidupan penjara dan tidak bisa berkomunikasi dengan keluarga hingga puluhan tahun benar-benar membuat Bustami dan kawan-kawan kapok, apalagi sebelumnya sempat dihadapkan pada tiang gantungan.
Dan yang paling menyedihkan, mereka juga tak bisa datang ketika beberapa anggota keluarganya meninggal dunia dan mengantar jenazahnya ke pemakaman. Sulaiman mengaku sempat dijenguk oleh abangnya saat di penjara Malaysia. Rupanya itu menjadi pertemuan terakhir karena beberapa tahun kemudian abangnya meninggal dunia.
Selama di penjara, meskipun diperlakukan dengan sangat baik, mereka tetap merasa tersiksa karena harus makan apa adanya dan menyimpan rasa rindu terhadap kampung halaman. "Kami waktu makannya dikasih ikan yang tak ada tulang, dikasih ayam yang tak ada tulang, mana ada enak. Karena mereka takut kalau kami bunuh diri dengan tulang itu, waktu itu kan kami sudah kena hukuman mati," ungkap Bustamam.(mun)