Luly Ariati, Mantan Aktivis yang Peduli Pendidikan
Kesan kaku layaknya asrama militer sama sekali tidak nampak. Suasana di Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0117/Aceh Tamiang
Kesan kaku layaknya asrama militer sama sekali tidak nampak. Suasana di Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0117/Aceh Tamiang, siang itu begitu cair dan penuh kekeluargaan. Adalah sosok Luly Ariati SE yang memberi kesan berbeda di Makodim ujung timur Aceh tersebut. Istri Letkol Deki Rayusyah Putra yang tak lain adalah Komandan Kodim (Dandim) 0117/Aceh Tamiang ini terbilang tak berjarak dengan istri-istri prajurit lainnya.
Perempuan asal Malang, Jawa Timur, ini memang jauh dari kesan mewah. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai Ketua Persit Kartika Candra Kirana (KCK) Cabang XXIV, ibu dua anak ini lebih memilih Daihatsu GranMax sebagai mobil operasional. Mobil yang sudah dicat hijau khas TNI ini sengaja dipilih Luly karena memiliki daya angkut besar dan efisien.
"Kalau ada kegiatan, ibu-ibu Persit biasa banyak yang ikut, sekalian bawa barang-barang terutama saat menyalurkan donasi ke sekolah-sekolah. Yang terpentig irit bahan bakar minyak (BBM)," kata Luly tersenyum lebar, dalam wawancara dengan Serambi di Kualasimpang, Jumat (23/8/2019).
Bagi Luly dan keluarganya, ini merupakan tahun kedua tinggal di Aceh Tamiang. Sebelumnya, mereka sempat tiga tahun bedomisili di Banda Aceh, saat suaminya Letkol Deki Rayusyah Putra menjabat Komandan Detasemen Intelijen (Denintel) Kodam Iskandar Muda (IM). "Jujur, awalnya saya sempat berpikir Aceh kan daerah konflik. Ternyata, setelah tinggal di sini, enak kok," ungkap Luly.
Namun, ada secuil pengalaman yang hingga kini masih membuat jebolan Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Trisakti, Jakarta, ini tidak nyenyak tidur. Benaknya masih terus ingat terhadap beberapa daerah pedalaman di Aceh Tamiang, seperti Sekumur, Juar, Pematangdurian, dan Sulum. Keempat daerah ini merupakan sasaran pelaksanaan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) 2019 yang baru saja berakhir.
Di sana, kata dia, minat belajar anak-anak untuk sekolah sangat rendah. Di sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN), kata Luly, pihaknya mendapati murid kelas tiga hanya lima orang. Demikian juga dengan salah satu SMP, total pelajarnya cuma sembilan orang. Kondisi itu, tambah Luly, ia dapati ketika memimpin pengurus Persit menyalurkan alat tulis bantuan ke SD dan PAUD di daerah pedalaman tersebut. "Guru-gurunya juga masih berstatus honorer. Saya terkejut, kok sudah 74 tahun Indonesia merdeka masih ada yang begini," ujar Luly penuh prihatin.
Menurut informasi yang didapatnya, tambah Luly, masyarakat di daerah tersebut lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke Karangbaru, pusat pemerintahan Aceh Tamiang dengan alasan kualitasnya lebih baik. "Sebenarnya tidak boleh begitu. Anak-anak usia SD harusnya dibesarkan bersama orang tua di lingkungannya. Kasihan juga kan jika tiap hari harus menempuh perjalanan jauh untuk sekolah ke Karangbaru," timpal Luly.
Sektor pendidikan memang menjadi perhatian Luly. Maklum saja, setelah menamatkan kuliah, Luly sempat menjadi asisten dosen di Universitas Trisakti. Meski cuma satu semester, pengalaman itu sudah menjadikan Luly sebagai sosok yang lebih peduli pada sektor pendidikan. "Setelah dosen, saya sempat bekerja sebagai akuntan publik selama empat tahun," ujarnya. Bisa jadi, sikap kritisnya ini tertempa saat Luly ikut ambil bagian dalam gerbong aktivis mahasiswa ‘98. Luly muda memang bagian dari sejarah reformasi.
Kini, Luly secara total memerankan tugas sebagai istri prajurit yang harus bersedia ikut kemanapun suaminya bertugas. Kondisi itu jauh-jauh hari sudah ia ketahui dari paman-pamannya yang ternyata banyak bertugas sebagai perwira menengah dan perwira tinggi di lingkungan TNI. (rahmad wiguna)