Opini
Menyongsong 1441 Hijriyah
Waktu terus berjalan tanpa memperdulikan kelengahan dan kelalaian kita. Terkadang seiring bergulirnya waktu kita menjadi semakin mapan

Syukri Rizki
Kandidat Master pada Southeast Asian Studies di Goethe University, Jerman
Waktu terus berjalan tanpa memperdulikan kelengahan dan kelalaian kita. Terkadang seiring bergulirnya waktu kita menjadi semakin mapan dan siap dengan beraneka lika-liku kehidupan. Namun, yang acap kali terjadi adalah kesibukan kita telah membuat kita terlena dan terbuai dari cepatnya arus perputaran waktu; hari, minggu, bulan, dan tahun yang tak mampu sedetikpun bisa dikekang pergulirannya. Demikianlah sunnatullah yang telah baku dan tak mungkin bisa diperdebatkan lagi.
Menyongsong tahun baru Hijriyah 1441 menjadikan kita untuk kembali membangkitkan ulang kesadaran akan tentang tahun-tahun yang telah kita lewati, baik dengan pencapaian yang memuaskan atau dengan sederetan kekecewaan atas ketidakberhasilan kita dalam menggapai impian. Sudah sepatutnyalah kita bermuhasabah kembali melihat lebih jauh mengenai esensi di tiap-tiap pergantian tahun hijriyah yang semoga dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih mapan dalam segala hal.
Romantisme kenangan dari pada peristiwa hijrah Nabi Besar Muhammad SAW tentulah sangat membekas dalam ingatan kita. Memang kita tidak ikut terlibat di dalamnya, tapi dengan iman yang kuat di dalam dada, mampu meyakini akan betapa hikmahnya dari momen ekspedisi tersebut yang tidak akan habis digali sampai kapan pun.
Akhir-akhir ini kita sering mendengar fenomena hijrah di kalangan anak muda yang mulai merebak tak terbendungi di tengah-tengah kehidupan mereka. Terlihat bagaimana semakin semaraknya animo para anak muda yang mulai mempelajari Islam melalui majelis-majelis taklim dan halaqah-halaqah. Fenomena ini merupakan anugerah Allah Swt yang selain patut kita syukuri juga mesti kita rawat eksistensinya.
Hijrah kita
Nabi SAW ketika itu berhijrah secara hissiyah dari Mekkah menuju ke Madinah demi mencapai keamanan untuk jiwa umat Islam yang akan mulai dirintis di sana. Bagi kita, tentu saja pernah berpindah dari suatu tempat ke tempat lain; hal ini juga secara bahasa boleh disebut hijrah, karena melengkapi syaratnya, yaitu ada yang ditinggalkan dan ada yang hendak dituju. Namun lebih dalam lagi, hijrah Nabi SAW mengingatkan kita akan sebuah hadits tentang urgensi berniat, "Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya".
Di kemudian hari hadits ini menjadi landasan oleh para ulama fiqih untuk menetapkan wajibnya berniat dalam setiap pelaksanaan ibadah-ibadah fardhu dan sunat. Ketika itu, Nabi SAW benar-benar mementingkan niat seseorang dalam menjalankan praktek hijrahnya. Bahkan seseorang yang sedang melakukan hijrah namun tidak berangkat dari niat yang lurus tidak akan mendapatkan hikmah dari hijrah itu sendiri.
Fenomena hijrah bagi para pemuda-pemudi yang begitu marak, akhir-akhir pun tidak terlepas dari niat setiap individunya. Boleh kiranya kita menduga, ada yang berhijrah karena terdorong oleh niat yang kuat untuk meninggalkan kebiasaan buruknya dan beralih pada rutinitas yang lebih baik dengan tulus ikhlas mengharapkan ridha Allah. Namun, barangkali ada juga yang berhijrah hanya untuk sekadar mengikuti trend agar menjadi eksis, terkesan kekinian dan mampu mengimbangi tuntutan prestige zaman now.
Jika yang terjadi adalah kemungkinan yang pertama, maka kita mesti terlibat untuk mengambil peran, karena hijrah secara maknawi tidak pernah berhenti. Malah akan selalu ada keadaan yang lebih baik untuk tujuan hijrah kita. Namun, jika yang terjadi adalah kemungkinan yang kedua, maka sudah selayaknya kita memaknai ulang esensi hijrah yang sebenarnya. Karena kalau tidak, meskipun itu merupakan hal positif maka dikhawatirkan trend hijrah akan usang (musiman) dan bersiap untuk digantikan dengan trend-trend lainnya.
Seruan hijrah
Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, misi perintah hijrah juga pernah diemban oleh nabi-nabi sebelumnya. Nabi Ibrahim AS berhijrah ke Palestina untuk menyampaikan pesan tauhid, Nabi Yusuf AS berhijrah ke Mesir dan menjadi kepercayaan raja Mesir ketika itu, dan Nabi Musa AS berhijrah ke Madyan guna menghindari kebengisannya sang Fir'aun yamg dzalim. Keseluruhan hijrah mereka itu mengharuskan perpindahan fisik dari satu tempat asal ke tempat tujuan.
Meskipun hidup di dalam negeri yang aman, kita tetap bisa melakukan hijrah secara ma'nawiyah sesering dan seintens yang kita inginkan. Kita bisa berhijrah secara i'tiqadiyah jikalau kita merasa sudah terlampau jauh dari Islam dan mulai dekat dengan ambang kekufuran.
Tatkala besarnya rasa ketergantungan kita kepada makhluk hingga menyampingkan kuasa Allah SWT, di saat itu pula kita mesti lekas berhijrah menguatkan tauhid kita dengan pendidikan Islam.