Ghazali Abbas Adan Minta Kaji Ulang Standar Profesionalitas dan Hakikat Tupoksi Anggota Parlemen
Hai semua orang yang telah beriman, jangan-lah kamu khianati Allah dan Rasul dan khianati amanah-amanah yang kamu emban, sedangkan kamu mengetahuinya
“Hai semua orang yang telah beriman, jangan-lah kamu khianati Allah dan Rasul dan khianati amanah-amanah yang kamu emban, sedangkan kamu mengetahuinya” (Al-Anfaal, ayat 27). Senator Aceh Drs Ghazali Abbas Adan menga-takan menjadi anggota DPD RI sebagai anggota perlemen merupakan amanah. Dengan dasar keyakinan seperti ini, niscaya tidak termasuk pengkhianat, maka baginya amanah itu harus di-laksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi).
Sebagaimana ditetapkan konstitusi negara serta peraturan dan tata tertib DPD RI, yakni fungsi legislasi, budgeting (penganggaran) dan control (pengawasan). “Yang terakumulasi dalam fungsi represen-tasi, yakni menyampaikan aspirasi masyarakat dalam kaitannya dengan pembuatan/penyusunan undang-undang/peraturan (legislasi), menyusun anggaran negara untuk pembangunan (budge-ting). Dan mengawasi/mengontrol kinerja peme-rintah dalam upaya mewujudkan pemerintah yang adil, jujur, amanah dan bersih. Juga amar ma’ruf nahi munkar dalam kehidupan kemasyarakatan,” kata Ghazali Abbas.Ghazali Abbas menambahkan untuk melak-sanakan fungsi ketiga itu yakni fungsi kontrol, amar ma›ruf nahi munkar, tentu anggota parlamen haruslah ianya memiliki rekam jejak sebagai orang yang juga bersih, jujur dan amanah, tidak pernah terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Ini sesuai dengan hadis Rasulillah Muhammad SAW, “ana awwalukum ‘ala ma amurtukum bih” (saya orang pertama berbuat (menjadi teladan) terhadap apa yang saya perintahkan/anjurkan kepadamu (wahai umatku). Ketiga tupoksi itu, lanjut Ghazali Ab-bas, haruslah dikerjakan secara profesional, sungguh-sungguh dan bertanggungjawab untuk kemaslahatan rakyat banyak. Tidak ada urusan dengan suka atau tidak suka seseorang dan/atau kelompok tertentu, positif atau negatif elektabi-litas manakala terlibat dalam kontestasi politik limatahunan, juga tidak ada kaitannya dengan pencitraan untuk tujuan dan target tertentu.
Teta-pi apabila diyakini benar, tidak melanggar aturan negara/syariat Islam dan ada manfaatnya bagi masyarakat banyak, maka tetap harus disuarakan dan laksanakan, apapun resikonya. “Inilah yang saya pahami dan lakukan sebagai wujud profesionalitas kerja anggota parlemen ketika menunaikan amanah-amanah itu. Dalam nafas yang sama, bahwa yang dikatakan profesi-onalitas/profesionalisme sebagaimana definisinya adalah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) yang sewajar-nya terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional,” ungkap Ghazali Abbas.
Sebagaimana diketahui profesionalisme ber-asal dari kata profesi yang bermakna berhubungan dengan profesi (termasuk profesi sebagai anggota DPD RI/parlemen) dan untuk itu memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994).
Jadi profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualitas dari seseorang yang pro-fesional (Longman, 1987)”.Menurut Ghazali Abbas, berdasarkan de-finisi tersebut maka seseorang yang memiliki profesi termasuk berprofesi sebagai anggota parlemen, ia dapat bekerja secara profesional sesuai dengan tupoksi parlemen itu.
Dan mestilah memiliki kepakaran, kemampuan, kemahiran dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalan-kannya serta tidak ada kaitan dengan popularitas dan sebagainya.“Pada tataran praktis dan bahasa yang sederhana anggota parlemen yang profesional haruslah memiliki ilmu, dapat berbicara dengan baik dan artikulatif, memiliki keberanian, dan konsisten (istiqamah),” sebut Ghazali Abbas.Ia menambahkan lebih dari itu, bagi orang-orang yang beriman ketika menjalankan profesi sesuai tupoksinya itu meyakini dengan seyakin-yakinnya, bahwa ia senantiasa di bawah pantauan dan kontrol Allah. Dan memahami mana yang halal dan yang haram.
Manusia bisa saja bersembunyi, berbohong dan/atau membuat citra, bersandi-wara dengan rupa-rupa adegan dan berakting di mata manusia, tetapi tidak bisa di mata Allah.“yastakhfuuna minannaasi walaa yastakh-fuuna minallaahi wahuwa ma’ahum” (mereka dapat bersembunyi (berbohong/membuat pen-citraan dengan adegan dan akting di luar tupoksi profesinya) di mata manusia, tetapi tidak di mata Allah, dan Allah itu senantiasa bersama (melihat dan mengontrol) mereka” (An-Nisa’, ayat 108).
“Tali temali dengan dasar pemahaman dan keyakinan seperti yang saya diskripsikan diatas, bahwa orang yang berprofesi sebagai anggota parlemen (DPD RI) dengan tupoksi yang sudah jelas sebagaimana telah diatur dalam petaruran dan tata tertib bahwa ia merupakan amanah. Dan niscaya tidak termasuk orang yang digolongkan pengkhianat amanah, maka tupoksi itu harus dikerjakan dengan benar, profesional, sungguh-sungguh dan bertang-gungjawab,” ungkap Ghazali Abbas.Anggota Komite IV itu menambahkan kata kun-cinya adalah tidak boleh malas ikut rapat-rapat di gedung parlemen Senayan, baik rapat rutin internal yang sudah terjadwal dalam masa sidang maupun rapat kerja (RAKER) dan/atau rapat dengar pen-dapat (RDP) dengan mitra kerja dari kementerian dan/atau lembaga negara di tingkat pusat.
Karena memang dalam rapat-rapat itulah profesionalitas dan tupoksi parlemen bisa diartikulasikan.“Berdasarkan fakta dan pengalaman, khusus rapat-rapat yang bersanding dengan mitra kerja niscaya berjalan dialogis, interaktif dan dinamis, maka mestilah anggota parlemen itu selain me-miliki legal standing juga harus memiliki equal standing, yakni kesetaraan ilmu, retorika dan juga penampilan yang meyakinkan dan tidak diperlukan modal nekat serta popularitas,” kata Ghazali Abbas.
Mantan Abang Jakarta ini menjelaskan bagi anggota perlemen juga ada tugas reses, yakni bekerja/rapat-rapat sesuai tupoksi di daerah pemilihan (Dapil). Adapun tugas reses itu sendiri adalah silaturrahmi, diskusi dalam rapat-rapat dengan masyarakat dan/atau entitas pemerin-tahan di semua tingkatan di dapil. Kemudian diakumulasi dalam fungsi representasi dan pada saatnya disuarakan di tengah-tengah masyarakat dan/atau dalam rapat-rapat dengan mitra kerja dari kementerian dan/atau lembaga negara, berbasis bagi kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak.“Alhamdulillah, sebagai hamba Allah yang bersifat baharu dengan segala keterbatasan dan kekurangan, maka seperti itulah yang saya lakoni sebagai politisi dan anggota parlemen, yakni di MPR/DPR RI 1992-2004 dan MPR/DPD RI 2014-2019.
Dari komitmen kerja amanah dan profesional itu terekam dalam dua buah buku tebal yang sudah beredar dalam masyarakat. Dan rekaman itu berasal dari isi media massa yang sudah pernah diberitakan kepada khalayak,” kata Ghazali Abbas.Buku pertama berjudul Konsistensi Ghazali Abbas Adan Untuk Hak Asasi Manusia Demokrasi dan “Kemerdekaan” Aceh, Hasanuddin Yusuf Adan, Said Azhar (editor), Adnin Fondation Publis-her Aceh, Banda Aceh, 2012”. Buku kedua, Suara Pro-rakyat dan Cinta Damai, Ghazali Abbas Adan VC Fasisme, Dr Hasanuddin Yusuf Adan, MCL,MA, Dr Muhammad Abdurrahman M.Ed, Said Azhar (editor), Adnin Foundation Publisher Aceh, Banda Aceh, 2018.“Isi kedua buku itu sebagai bentuk per-tanggungjawaban kerja profesional saya kepada publik, khususnya publik Aceh.
Hal itu karena saya dinilai memiliki bakat sebagai politisi yang men-dapat amanah dari rakyat Aceh sebagai pejabat publik duduk di parlemen Republik Indonsia, yakni MPR/DPR/DPD RI,” jelas Ghazali Abbas.Intisari buku pertama adalah sikap te-gas Ghazali Abbas yang anti kekerasan, siapapun pelaku dan korbannya. Usahanya sungguh-sungguh melalui Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) MPR/DPR RI untuk pencabutan status Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Dan satu paket dengan usulan dibentuknya tim pencari fakta (TPF) DPR RI terhadap tindak kekerasan/pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh, di mana ia juga salah seorang anggota TPF itu.“Sikap tegas, jelas dan transparan saya anti dan menentang darurat militer.
Bahwa konflik Aceh tidaklah harus diselesaikan dengan cara-cara kekerasan militeristik. Tetapi mestilah dengan cara dialog, perundingan, damai, berkeadilan, bermartabat dan konstitusional sesuai dengan Tap MPR RI No IV/MPR/2002. Dimana konsep dasar Tap MPR itu, tangan saya ini yang menulisnya dan memperjuangkan dalam rapat tim kecil perumus sidang tahunan MPR RI tahun 2002. Dan saya sa-lah seorang anggotanya mewakili FPPP MPR RI,” ungkap Ghazali Abbas.Intisari buku kedua adalah Aceh haruslah te-tap aman, damai, laa zhulma walaa makruuh (ti-dak ada kebencian dan kezhaliman), adil, makmur dan sejahtera untuk semua rakyat yang hidup dan tinggal di Aceh, apapun suku dan agamanya.
Ke-mudian tegaknya syariat Islam yang rahmatan lil-’alamin. Bersama elemen masyarakat lain ikut mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merestui dan mengizinkan berdirinya Bank Aceh Syari’ah. Anti dan melawan perilaku fasistik juga mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan zakat sebagai pengurang pajak di Aceh sebagaimana amanah pasal 192 UUPA.“Komite IV DPD RI telah menyusun RUUPh yang di antara isinya adalah zakat sebagai pe-ngurang pajak penghasilan di Aceh dan RUUPh ini sudah diserahkan ke Baleg DPR RI untuk dibahas dan disahkan sebagai UU,” jelas Ghazali Abbas.
Selain itu berusaha agar dana Otsus Aceh dipermanenkan. Dan mendukung pemerintah yang bersih, jujur dan amanah, dimana setiap sen uang yang ada dalam APBA harus sebesar-besarnya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Juga bersinergi dengan Bappeda Aceh berusaha dengan sungguh-sungguh agar di Aceh ada proyek strategis nasional (PSN) dan ber-bagai pembangunan lainnya untuk kemaslahatan rakyat Aceh.
Ghazali Abbas mengungkapkan para anggota parlemen Indonesia dari Dapil Aceh yang pernah berkiprah di Senayan pada eranya, juga pernah mengukir sejarah kerja cerdas dan profesional. Dalam bidang legislasi misalnya, telah menghasil-kan karya besar dan monumental, seperti Undang-undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Undang-undang No 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Namun lanjutnya tidak pernah ada berita dan foto di media massa tentang beliau-beli-au yang takziyah orang meninggal, mengurus jenazah, membezuk orang sakit. Juga ketika me-ngunjungi perempuan melahirkan (jak bak ureueng madeueng) sembari menggendong bayi, mencium dan memberi nama dan sebagainya.“Dalam buku-buku saya itu isinya juga tidak ada foto dan rekaman hal-hal demikian.
Karena yang demikian tidak hanya monopoli anggota parlemen saja, sehingga yang dilakukan itu me-rupakan sesuatu yang luar biasa untuk dikagumi dan dipuji setinggi langit. Ini adalah lazim, umum dan sudah menjadi adat resam dilakukan hamba Allah sosiawan mukhlisin dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dimanapun dan apapun status dan profesinya,” kata Ghazali Abbas.Menurutnya kegiatan sosial tidaklah ha-rus diproklamirkannya kemana-mana melalui media massa dan sebagainya, karena ia dapat dikategorikan riya.
Dan menurut syariat Islam, riya adalah sifat, adegan dan akting yang sangat tercela. Apalagi kalau dibarangi niat dan aksi pen-citraan untuk tujuan dan target tertentu. Na’uzu-billahi mindzalik. Sebagai contoh Komunitas Aceh Malaysia misalnya. Mareka juga memiliki program sosial, dengan tetap berkoordinasi dengan KBRI, aktif dan rutin memberi perhatian dan bantuan ke-pada WNI asal Aceh yang bermasalah, terutama mengalami musibah sakit dan meninggal dunia. Tetapi tidak suka gembar gembor ke sana ke mari memproklamirkan kepada khalayak. Tidak perlu riya, cukuplah Allah saja yang mencatat sebagai bagian dari amal saleh.“Ini sebagaimana mencuat dalam silaturrah-mi saya dengan tokoh Komunitas Aceh Malaysia, Datuk Mansur bin Usman dan kawan-kawan di waktu senggang lawatan kenegaraan ke parlemen dan kantor Perdana Mentari Malaysia mendampingi Ketua DPD RI Dr Oesman Sapta beberapa waktu lalu,” kata Ghazali Abbas.
Politisi senior Aceh ini menjelaskan berda-sarkan beberapa contoh tersebut betapa kerja sosial, saling membantu antara sesama adalah sesuatu yang umum, lazim dan sudah menjadi adat resam dalam kehidupan sosial kemasyara-katan. Yang tidak umum adalah tupoksi anggota parlemen sebagaimana telah baku diatur dalam konstitusi negara serta peraturan dan tata tertib internal perlemen.Tupoksi itu melekat dan demikianlah se-jatinya secara profesional harus dilakukan setiap anggota parlemen.
Dan dalam waktu yang bersamaan sebagai pejabat publik, kerja profesionalnya boleh diumumkan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Jangan justru yang senantiasa rajin dan terus menerus diproklamirkan kepada publik adalah hal-hal di luar tupoksi sebagai anggota parlemen itu. “Adalah benar dan saya setuju dengan pendapat beberapa politisi, jikalau ada anggota parlemen secara sistemik, terus menerus mem-proklamirkan adegan dan akting melalui foto dan/atau berita dia takziyah orang meninggal, mengurus jenazah, bezuk orang sakit, jak bak ureueng madeueng, menimbun permukaan jalan berlubang, dan sebagainya, berati dia telah me-lakukan distorsi eksistensi dan hakikat tupoksi parlemen,” kata Ghazali Abbas.
Bahkan menurutnya akting dan adegan demikian adalah wujud nyata penyesatan dan pembodohan kepada masyarakat terhadap persepsi dan pemahaman akan eksistensi dan hakikat dari tupoksi parlemen itu.“Atau boleh juga, apabila hal demikian tidak mau dan tidak dianggap sebagai adegan dan akting pendistorsian, juga upaya nyata penyesatan dan pembodohan terhadap persepsi dan masyarakat berkaitan dengan eksistensi dan hakikat tupoksi parlemen, maka untuk kedepan perlu ada KAJIAN ULANG akan standar profesionalitas dan tupoksi yang melekat, rutin dan mesti dikerjakan oleh setiap anggota parlemen. Selama ini tupoksi itu telah baku diatur dalam kontitusi negara, serta peraturan dan tata tertib parlemen (DPR/DPD dan MPR RI), yakni legislasi, butgeting dan control. Semoga masyarakat akan tercerahkan dan dapat memahami dari tupoksi yang melekat dan harus dilakukan para wakilnya yang AMANAH dan PROFESIONAL di Senayan. Wallahu ‘alamu bish-shawab,” pungkas Ghazali Abbas.