Liputan Eksklusif
Sulitnya Menembus Lahan Eks GAM
Gampong Abah Lueng, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya (Pijay), adalah desa terakhir sebelum pendakian menuju pegunungan trans
PENGANTAR - Sebanyak 100 eks gerilyawan GAM asal Pidie Jaya menerima kado istimewa pada peringatan 14 tahun damai Aceh, Kamis (15/8/2019). Sesuai poin 3.2.5 MoU Helsinki, mereka mendapat sertifikat tanah atau lahan pertanian dua hektare per orang. Selain mantan kombatan, para tapol/napol dan warga korban konflik, juga mendapatkan lahan tersebut.
Pertanyaan yang muncul kemudian, bagaimana kondisi lahan yang dibagikan pemerintah kepada para mantan pejuang GAM tersebut? Berapa jarak yang harus ditempuh dan bagaimana pula medan jalan yang harus dilalui? Jurnalis Serambi Indonesia, Subur Dani, berkesempatan meninjau langsung lokasi lahan yang membelah rimba dan perbukitan Pidie Jaya tersebut. Simak reportasenya dalam liputan eksklusif berikut ini.
Gampong Abah Lueng, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya (Pijay), adalah desa terakhir sebelum pendakian menuju pegunungan trans, tempat di mana lahan untuk para eks GAM berada. Perjalanan ke desa ini bisa ditempuh dari Keude Lueng Putu atau dari Desa Paru.
Dari jalan Banda Aceh-Medan, jarak ke Desa Abah Lueng sekitar 11 km dengan waktu tempuh sekitar 20 menit. Hamparan sawah dan perbukitan sepanjang jalan menjadi sajian pemandangan alam yang begitu indah.
Di desa ini, tinggal 130 kepala keluarga (KK) dengan total penduduk 490 jiwa. Mata pencaharian utama masyarakat adalah petani dan bercocok tanam. Desa ini juga punya sejarah kuat terkait perjuangan GAM, dan bahkan menjadi salah satu lokasi latihan komando terpusat hampir seluruh anggota GAM seantero Aceh, semasa pimpinan Tgk Abdullah Syafi’i.
Perjalanan saya ke lahan eks GAM dimulai dari desa ini. Saya tak sendiri, tapi ditemani Muhadi, Keuchik Abah Lueng, dan Mawardi, eks kombatan GAM yang juga warga desa setempat.
Mawardi adalah satu dari seratus eks GAM Pijay yang mendapatkan lahan, sementara Keuchik Muhadi dari kalangan korban konflik. Hari itu, Sabtu (31/8/2019), Muhadi dan Mawardi mengantarkan saya menuju lahan pertanian tersebut.
Setelah meneguk segelas kopi, kami mulai mendaki pelan-pelan menggunakan sepeda motor bebek lawas yang masih cukup bertenaga. “Siap-siap ya bang, sebentar lagi jalan mulai parah, berbatu, berlumpur, dan berlubang,” kata Mawardi sambil mengengkol tuas sepeda motor gaeknya.
Hampir satu kilometer pertama, kondisi jalan berbelok dan menanjak. Bebatuan tampak menancap di permukaan jalan dan beberapa bagian berlubang seperti baru digilas truk besar. Mawardi fokus mengarahkan kemudi sepeda motornya, mencari permukaan jalan yang rata dan tidak berbatu, agar bisa terus mendaki tanpa hambatan. “Cari pinggir saja bang, hati-hati,” teriak Mawardi.
Sepanjang jalan, tak ada satu pun manusia yang kami temui, jalanan sepi. Beberapa ekor anjing saling kejar-kejaran mengikuti sepeda motor kami dari belakang. “Itu anjing hutan, biasanya bertengkar dengan anjing kampung, huss..husss,” Mawardi coba mengusir agar binatang itu tak terus-terusan mengikuti.
Setelah hampir satu kilometer mendaki, jalan mulai datar, namun berlumpur sekitar 15 meter ke depan. Keuchik Muhadi dan Mawardi dengan lincah menancap gas dan berhasil melewatinya. “Begini kondisi jalan Bang, bagaimana sulitnya kita ke lahan,” keluh Mawardi, sambil menyalakan kembali mesin motornya yang baru saja padam.
Itu bukan lumpur pertama yang kami lewati, sebelumnya ada dua lokasi lumpur parah. Butuh konsentrasi penuh agar motor yang kami tunggangi tidak terjerembab dalam lumpur. Kami juga sempat melintas di atas jembatan kayu yang sekilas terlihat hampir rubuh. Jantung berdegup saat melintas di atasnya.
Perjalanan dari Desa Abah Lueng ke lokasi lahan itu memakan waktu hampir sekitar satu jam, padahal jarak tempuhnya hanya 3-4 kilometer. Kondisi jalan membuat kami kesulitan menembus ke lahan eks GAM yang berada di atas bukit paling tinggi setelah membelah rimba dan perbukitan.
Sepeda motor bebek yang saya kendarai beberapa kali padam, karena tak sanggup mendaki. Bahkan, di beberapa bagian jalan, saya hampir tersungkur jatuh karena sulitnya mengendalikan setang motor di jalan bebatuan dan berlubang. “Itu Bang lahannya,” tunjuk Keuchik Muhadi. Ternyata lokasi lahan ada di bukit satu lagi, kami pun kembali menyalakan sepeda motor dan kali ini perlahan menurun di jalanan yang lumayan curam. Sebenarnya, jalan ke lokasi lahan ini sudah dikeraskan. Tapi, karena tak kunjung diaspal, kontur jalan menjadi rusak.
Sekitar pukul 10.30 WIB, kami tiba di lokasi. Mawardi berkeluh, sulitnya berkendara menuju lahan, menurutnya itu salah satu persoalan yang harus segera dicarikan solusi. “Lokasi lahan sebenarnya tidak jauh, tapi kondisi jalan yang buat perjalanan kita lama. Abang bisa rasa sendiri kan bagaimana sulitnya kita berkendara tadi,” kata Mawardi sambil menarik rokok dalam bungkusan dan membakarnya.
Dia berharap, pemerintah segera mengaspal jalan dari Desa Abah Lueng hingga ke lokasi lahan. Jika tidak, maka Mawardi dan para eks GAM lainnya kesulitan menembus lahan dengan sepeda motor butut mereka. “Apalagi kalau musim hujan, pasti tidak bisa pergi. Kalau ada hasil dari lahan, tidak bisa kita bawa pulang karena jalan licin,” kata Mawardi.
Sesampai di lahan, kelelahan Mawardi yang baru saja mendaki, melewati lumpur, dan kontur jalan berbatu, tampaknya terbayar. Ayah dua anak ini langsung menginjak kakinya ke lahan seluas dua hektare. Mukanya sumringah saat menunjukkan lahannya.
Pantauan Serambi, lahan itu berada di atas bukit, kontur tanahnya pun menanjak ke atas. Di lokasi itu ada 200 hektare lahan yang sudah dibersihakn untuk penanda, agar mudah dibagikan. “Dulu diukur denegan GPS, ada 200 hektare lahan di sini, dari sini ke sana,” kata Mawardi menunjuk batas lahan tersebut.
Semak-semak memenuhi lahan Mawardi, hanya ada beberapa tanaman serai wangi yang ditanamnya belum lama ini. “Wah, wangi sekali, ini minyaknya banyak. Rencana kami mau menanam ini Bang, ini contoh saja,” kata Mawardi sambil memelintir daun serai wangi.
Mawardi mengaku cukup bahagia mendapat lahan dua hektare itu, dia seperti melihat ada masa depan di sana. “Siapa yang tidak senang, tentu sangat bersyukur akhirnya pemerintah merealisasikan salah satu butir dalam MoU Helsinki. Tapi, kita harap jalan ke lahan ini segera diaspal,” harap Mawardi.
Lahan yang dibagikan untuk mantan kombatan, tapol/napol, dan korban konflik di Pidie Jaya, itu ternyata punya ‘benang merah’ dengan perjuangan GAM yang dulu menuntut agar Aceh pisah dari RI. Daerah yang juga dikenal dengan kawasan pegunungan trans, Buket Cot Malaysia, dan kawasan Krueng Siap, tersebut belasan tahun lalu merupakan salah satu daerah yang kerap dilewati dan disinggahi gerilyawan GAM. Bahkan, perbukitan itu juga merupakan salah satu kawasan persembunyian terakhir Tgk Abdullah Syafi'i, Panglima GAM yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Aceh.
Karena itu, Mawardi, eks kombatan GAM, kepada Serambi, saat sama-sama mengunjungi lahan yang diperuntukkan bagi eks kombatan GAM, tapol/napol, dan masyarakat korban konflik, Sabtu (31/8/2019), itu mengatakan, dirinya sangat akrab dengan lokasi lahan di pegunungan pedalaman Pidie Jaya tersebut. “Dulu, cukup sering kami lewat kawasan ini Bang, biasanya jadi tempat kami istirahat sebentar. Ini juga tempat bersembunyi Abuwa Muda saat masih GAM,” kata Mawardi. Abuwa Muda yang dimaksud Mawardi adalah Aiyub Abbas, yang kini menjabat Bupati Pidie Jaya.
Bahkan, menurutnya, kawasan tersebut juga masuk dalam salah satu kawasan persembunyian terakhir Panglima GAM, Tgk Abdullah Syafi'i. Mawardi mengungkapkan, tak jauh dari lokasi lahan itu tumbuh sebatang pohon durian yang buahnya sering dimakan oleh Tgk Lah--panggilan akrab Tgk Abdullah Syafi'i--semasa hidupnya saat masih bergerilya di hutan belantara Pidie (dulu masih Pidie, sebelum pemekaran menjadi Pidie Jaya).
Ia mengungkapkan, disebut sebagai salah satu kawasan persembunyian Tgk Lah, karena lokasi itu berada tak jauh dari tempat tertembaknya Tgk Lah bersama istrinya Cut Fatimah dan dua pengawal setia mereka dalam pertempuran dengan pasukan TNI pada 22 Januari 2002 silam. Lokasi terperangkapnya Tgk Lah disebut dengan Alue Mon, hutan belantara yang berada tak terpaut jauh dari lokasi lahan tersebut. "Setelah bukit ini, langsung masuk kawasan Alue Mon. Disebut Alue Mon karena jurang menuju ke sana sangat curam, seperti mon (sumur)," kata Mawardi.
Alue Mon, sambung Mawardi, adalah kawasan hutan Cubo dan Jijiem, yang juga masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Bandar Baru. "Kalau bukit tempat kita berdiri ini berada di tengah-tengah. Kita bilang kawasan Cubo ya, kawasan hutan Trienggadeng ya juga. Ini masih satu kawasan dengan lokasi persembunyian Tgk Lah," katanya.
Mawardi menceritakan, kawasan Kecamatan Bandar Baru termasuk salah satu distrik yang melahirkan banyak anggota GAM. Bahkan, di sana GAM di bawah komando Tgk Abdullah Syafi'i sempat menggelar latihan terpusat beberapa tahap, dimulai sejak tahun 1999. "Saya latihan pada akhir tahun 1998, di Aki Neungoh, Kecamatan Bandar Baru. Setelah dididik ilmu militer, baru bisa masuk bergerilya," kenang Mawardi.
Setelah Tgk Abdullah Syafi'i tertembak, tambah Mawardi, dirinya memilih untuk gencatan senjata, Ia turun dari gunung dan kemudian bekerja ke Pulau Jawa. "Hampir tiga tahun saya di Jawa, kerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Setelah damai, saya pulang. Tapi, kemudian sempat naik lagi ke atas hingga akhirnya kami turun semua untuk pemotongan senjata dan mengakhiri perang," demikian Mawardi.
Bukan hanya jalan, Mawardi dan Keuchik Muhadi juga berharap ke depan pemerintah membantu pengadaan bibit untuk mereka dan kombatan lainnya penerima lahan tersebut. “Kami tidak ada biaya pribadi untuk membeli bibit. Jadi, kalau nggak dibantu kami nggak tahu mau cari dari mana bibitnya,” kata Mawardi.
Jika merujuk pada perjanjian damai, sebenarnya Mawardi dan para eks GAM lainnya mendapat lahan lengkap dengan isi di dalamnya. Dengan kata lain, mereka diberikan lahan yang sudah siap panen oleh pemerintah. “Ini memang amanah MoU. Seharusnya bukan lahan kosong saja yang kami dapat, tapi lahan yang siap panen seperti kata Mualem di koran beberapa waktu lalu,” katanya.
Namun, Mawardi sendiri sangat bersyukur karena sudah mendapat lahan tersebut. Ia senang bukan kepalang. “Sudah dapat begini saja, kita cukup bahagia. Ke depan kami berharap pemerintah juga terus memperhatikan kami. Karena kalau pemerintah tidak memberi bantuan lain seperti bibit, pembangunan jalan, dan pagar untuk lahan, tentu kami tidak mampu berbuat apa-apa,” pungkas Mawardi. (*)