Rusuh di Papua
Aspirasi Papua Menjelang Berakhirnya Otonomi Khusus
Kerusuhan di Papua meledak pada pertengahan Agustus, sebagai reaksi atas umpatan rasial terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya.
SERAMBINEWS.COM, JAYAPURA - Selepas demonstrasi massal berbuntut kerusuhan, Papua mulai berbenah. Setidaknya dilihat dari kota Jayapura, Papua, dan daerah sekitarnya. Mama-mama kembali menggelar lapak di pasar, siswa kembali bersekolah dan warga Jayapura kembali bekerja.
Namun beberapa gedung dan fasilitas publik yang dibakar tidak bisa menyembunyikan bekas-bekas kerusuhan hebat di sini.
Gedung Bea Cukai, gedung Komisi Pemilihan Umum Daerah, kantor Telkom dan komplek pertokoan tampak berjelaga setelah dibakar massa.
Bahkan kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) di kawasan Kota Raja, Jayapura, ikut menjadi sasaran.
Kantor perwakilan tokoh adat dan suku-suku di Papua itu nyaris rata dengan tanah, hanya tersisa tembok di sekelilingnya. Seisi gedung itu ludes terbakar.
Alat berat mulai membersihkan puing-puing pertokoan yang terbakar. Namun, dua bangkai mobil yang menjadi puing masih dibiarkan mangkrak di depan kantor Bea Cukai Provinsi Papua di Jayapura.
Kerusuhan di Papua meledak pada pertengahan Agustus, sebagai reaksi atas umpatan rasial terhadap mahasiswa asal tanah Papua yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur, seminggu sebelumnya.
Selain Jayapura, demonstrasi yang berujung kerusuhan juga meletus di beberapa daerah di Papua dan Papua Barat.
Presiden Joko Widodo telah bertemu dengan 61 tokoh asal Papua, di Istana Negara, Jakarta pada 10 September lalu, guna menyerap aspirasi.
Namun pertemuan itu mendapatkan reaksi beragam. Gubernur Papua Lukas Enembe, seperti cukup ramai diberitakan, menyatakan 61 orang warga Papua tersebut tidak mewakili masyarakat Papua.
Aspirasi rakyat Papua memang sangat penting digali oleh pemerintah pusat. Bukan saja karena kerusuhan mudah meletup, namun karena Jakarta sebagai pemerintah pusat memiliki kontrak politik dengan Papua dalam kerangka otonomi khusus sejak 2001.
Dan 'kontrak politik' itu akan berakhir dua tahun lagi, pada 2021, berdasarkan UU tentang Otonomi Khusus Papua.
Apakah warga Papua masih menginginkan skema otonomi khusus? Apakah otonomi khusus itu membawa banyak perbaikan bagi rakyat Papua? Di sinilah penting diketahui aspirasi dan kesaksian warga Papua.
Berakhirnya otonomi khusus akan berimplikasi pada terhentinya dana otsus sebesar triliunan rupiah yang mengalir ke tanah Papua setiap tahun.
Otonomi khusus berlaku di Papua sejak 2002 berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Kemudian disusul otsus untuk Papua Barat tahun 2008, bersamaan dengan otonomi khusus di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).