Wawancara Eksklusif
Prof Eka Srimulyani, Akademisi UIN Ar-Raniry, Ini Relasi yang Tak Biasa
Selain mundur dari jabatan Dekan Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry, Prof Dr Eka Srimulyani (42) juga meninggalkan Aceh
Artinya, berpisah dengan para anak didik sesuatu yang sulit kan?
Sejujurnya, dengan segala situasi dan kondisi yang ada, perpisahan ini tidak mudah bagi kami semua (di fakultas), tidak mudah dari awal, tidak mudah untuk sampai pada sebuah situasi dan keputusan yang demikian. Walaupun sebenarnya sudah diperkirakan waktu ini suatu saat akan tiba, tapi tidak ada yang berpikir secepat itu saatnya, dan begitu caranya kami berpisah. Semuanya seperti terjadi tiba-tiba dan seperti sebuah drama kehidupan.
Ada rumor, Anda mendapat tekanan dan intervensi dari pihak rektorat, apakah benar?
(Pertanyaan ini tak dijawab Prof Eka)
Apa yang sebaiknya dilakukan rektor untuk menyikapi kemelut di fakultas yang Anda tinggalkan ini?
Saat ini, rektor sudah menyikapi dengan melantik dekan baru, sehingga tak terjadi kevakuman kepemimpinan. Waktu lepas sambut pimpinan beberapa waktu lalu, saya sudah sampaikan kepada semua civitas akademika Fakultas Psikologi untuk membuka lembaran baru dan saya akan tetap selalu mencintai psikologi dengan sepenuh hati.
Sepulang dari Korsel nanti dengan cara apa Anda akan membantu pemajuan UIN?
Seperti yang selama ini saya lakukan, saya selalu siap untuk membantu lembaga, tidak mesti dalam posisi dan jabatan tertentu. Tentunya yang paling utama adalah melalui kegiatan pengajaran dan bimbingan yang langsung dirasakan mahasiswa UIN. Untuk tridarma yang lainnya, ada proyek penulisan buku yang masih jalan (on going), publikasi/output penelitian yang bila itu semua selesai akan ikut berkontribusi untuk grade dan akreditasi UIN. Begitu juga beberapa tugas lainnya yang mungkin, baik langsung atau pun tidak langsung akan berkontribusi bagi UIN atau PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) secara umum, seperti melalui keterlibatan saya di Majelis Riset Keagamaan Nasional Kemenag, Tim Pokja Guru Besar Kemenag, dan lain-lain.
Ada komentar yang ingin Anda tambahkan?
Terakhir, kalau boleh saya merefleksi sedikit dari demo mahasiswa psikologi hari itu--terlepas dari segala kelemahan dan kelebihannya--subjektivitas keilmuan saya seperti menyadarkan saya akan sebuah relasi yang tidak biasa antara guru dan murid. Ya, ini relasi yang tak biasa. Sebuah situasi yang membuat saya harus membaca ulang kajian tentang relasi guru dan murid dalam tradisi pendidikan Islam dan meredefinisikan kembali dalam konteks kekinian, misalnya bagaimana memaknai konsep-konsep keikhlasan, ketulusan, keteladanan, pada generasi milineal sekarang, dan lain lain. Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, konsep-konsep tersebut cukup sering dibahas dan mendapat porsi perhatian dan pembahasan tersendiri. Intinya, pendidikan itu bukan hanya pada ranah kognisi saja--dalam bentuk pemberian pengetahuan semata--tetapi juga pada sisi afeksi (rasa) dan psikomotorik (tindakan). Itu kemudian yang mengilhami saya menulis puisi berjudul ‘Pesan Cinta untuk Kopelma’ yang sempat saya bacakan di acara Gelora Kasih Ibunda yang dibuat organisasi mahasiswa fakultas psikologi beberapa hari lalu. Saya berharap ini akan menjadi pesan oase kami bersama untuk Kopelma kita, sekaligus menjadi bahan introspeksi, koreksi, dan kontemplasi yang sangat berharga bagi saya secara pribadi.(*)