Komnas HAM Panggil Mualem Terkait Kasus di Timang Gajah
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia memanggil mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
* Mualem: Nantilah Kita Lihat Dulu
BANDA ACEH - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia memanggil mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf alias Mualem, terkait kasus pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi terjadi di Timang Gajah, Bener Meriah, Aceh Tengah dan sekitarnya medio 2001-2004 silam.
Dalam surat bernomor 258/SP_ACEH/IX/2019 tanggal 23 September 2019 itu, Mualem diminta untuk hadir ke Kantor Komnas HAM di Jakarta pada Senin, 7 Oktober 2019, pukul 10.00 WIB. Surat ditandatangani oleh M Choirul Anam yang juga Ketua Tim Adhoc penyelidikan pelanggaran HAM berat di Aceh, yang ditembuskan kepada Ketua Komnas HAM RI dan sebagai arsip.
Dalam surat tersebut disampaikan bahwa berdasarkan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM membentuk Tim Adhoc penyelidikan pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh (selanjutnya disebutkan Tim Aceh) dengan SK Nomor 018/KOMNAS HAM/XI/2013 tanggal 8 November 2013, yang terakhir diperpanjang dengan SK Ketua Komnas HAM No. 009/KOMNAS HAM/VII/2019 tanggal 2 Juli 2019.
“Dalam pelaksanaan penyelidikan proyustisia sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) huruf d UU Nomor 26 Tahun 2000 tersebut, maka Tim Aceh memanggil Saudara untuk diperiksa dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Tengah, dan sekitarnya pada tahun 2001-2004,” bunyi surat tersebut.
Komnas HAM juga menegaskan ancaman sanksi bagi pihak yang telah dipanggil tetapi tak menghadap. “Berdasarkan Pasal 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, barang siapa yang dengan melawan hukum tidak menghadap sesudah dipanggil, menurut undang-undang dapat dituntut.”.
Penelusuran Serambi dari berbagai sumber, peristiwa Timang Gajah merupakan salah satu peristiwa yang terkuak dan membuktikan bahwa di Aceh pernah terjadi pelanggaran HAM berat. Peristiwa itu disebut-sebut berkaitan dengan temuan puluhan kerangka manusia yang diduga korban konflik Aceh semasa operasi darurat militer.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan tadi malam, Serambi tidak berhasil mengonfirmasi kebenaran surat itu kepada pihak Komnas HAM RI. Namun, Muzakir Manaf alias Mualem mengakui bahwa dirinya telah menerima surat tersebut.
Saat dihubungi Serambi kemarin, mantan Panglima GAM ini mengaku sedang berada di Jakarta. Meski demikian, ia belum memenuhi panggilan Komnas HAM. "Belum (hadir) dan belum tahu kapan saya mau ke sana. Ini saya di Jakarta, nantilah kita lihat dulu," ucapnya.
Ditanya pemanggilan itu terkait apa, Mualem juga belum mengetahuinya. "Nggak tahu juga saya, mungkin terkait masa konflik. Kan masa konflik ada (pelanggaran HAM), mungkin terkait itu," imbuh Mualem.
Terpisah, Juru Bicara Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA), H Muhammad Shaleh menjelaskan bahwa surat Komnas HAM RI terkait pemanggilan Mualem merupakan surat klarifikasi biasa dan normatif.
“Tidak ada yang luar biasa. Hanya permintaan keterangan, terkait peristiwa masa lalu, yaitu kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh tahun 2001-2004 silam,” jelas dia.
Saat ini, dia katakan, Mualem belum bisa memenuhi panggilan itu karena sedang sibuk. Ia memastikan Mualem akan datang untuk memenuhi panggilan Komnas HAM. “Hanya untuk memberi keterangan. Insya Allah Mualem akan datang, kami akan meminta untuk dijadwal ulang,” ujar Shaleh.
Menurut Shaleh, apa yang dilakukan Komnas HAM RI merupakan tugas lembaga negara dalam melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM masa lalu. “Karena itu, berdasarkan azas praduga tak bersalah, maka Komnas HAM wajib meminta keterangan dari para pihak, termasuk para pimpinan milisi yang ada di Kabupaten Aceh Tengah saat itu,” ungkap Shaleh.
“Permintaan keterangan ini hanya sebatas penyamaan data maupun informasi dari para pihak yang diperoleh Komnas HAM dalam melakukan klarifikasi dari kasus dimaksud. Ini adalah normatif dan prosedur kerja yang harus dilakukan Komnas HAM. Jadi, wajar-wajar saja,” tambahnya.
Selain Mualem, Komnas HAM pada 8 Mei 2019 lalu juga memeriksa Gubernur nonaktif Aceh, Irwandi Yusuf. Pemeriksaan dilakukan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta. “(Diperiksa) sebagai petinggi GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan gubernur. Dia masih cerita soal pengalaman dia. Belum selesai tapi (prosesnya). Masih panjang. Karena saya ada rapat, harus balik jadinya (ke Komnas HAM)," kata Ahmad Taufan ketika itu saat ditanyai wartawan.
Menurut dia, Irwandi telah menjelaskan sejumlah hal terkait konteks peristiwa dan siapa saja yang berperan dalam dugaan pelanggaran HAM yang ditangani tim Komnas HAM. "Dia menjelaskan banyak hal. Siapa aja yang berperan, seperti apa peristiwanya. Ini kelanjutan saja, pendalaman saja. Apa yang dia tahu soal kejadian di sana. Kami gali saja," katanya.
Temui Wapres JK
Salah satu kegiatan Mualem selama di Jakarta Selasa kemarin adalah menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain Mualem, juga ada Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar, Wakil Ketua KPA Kamaruddin Abubakar alias Abu Razak, dan staf khusus Wali Nanggroe, M Raviq. Pertemuan dimulai pukul 15.45 WIB dan berakhir 17.15 WIB , bertempat di Kantor Wapres Jalan Merdeka Utara.
M Raviq seusai pertemuan menyampaikan, dalam pertemuan itu Wali Nanggroe melaporkan berbagai persoalan yang belum tuntas pasca-ditandatanganinya perjanjian damai. Di antaranya mengenai batas Aceh dan Sumatra Utara yang belum merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956 seperti yang diamanahkan MoU Helsinki.
Selain itu, juga terkait pengelolaan pelabuhan laut dan bandara umum yang belum terlaksana sepenuhnya. Demikian juga pengelolaan migas yang masih terkendala dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Wali Nanggroe secara sungguh-sungguh dan serius juga menyinggung mengenai pengalihan Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh dan kantor pertanahan kabupaten/kota yang menjadi Badan Pertanahan Aceh, demikian juga dengan penyelesaian khusus terhadap reintegrasi eks kombatan. "Wali Nanggroe menyampaikan semua itu untuk mendapat perhatian dan tindak-lanjut dari Wapres," kata M Raviq.
Menjawab hal itu, M Raviq melanjutkan, Wapres menyatakan tidak ada masalah dengan batas Aceh dengan Sumatera Utara. "Menurut Pak JK, nanti akan dimintakan peta detail ke Badan Informasi Giospasial (BIG), karena sistim pemetaan sekarang dimiliki BIG dan dapat menjelaskan batas antar provinsi," kata dia.
Mengenai pengalihan Kanwil BPN Aceh dan kantor pertanahan kabupaten/kota menjadi Badan Pertanahan Aceh, serta pembentukan Tim Pengalihan, Wapres mengatakan akan segera menanyakan kembali kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) untuk ditindaklanjuti. Sementara mengenai pelabuhan udara, dan menyangkut lalu lintas udara, Wapres mengatakan itu harus dilakukan oleh Negara melalui AirNav Indonesia.
"Sedangkan soal migas, menurut Pak Wapres JK akan di pelajari kembali aturan-aturan sektoral yang menjadi kendala," ujar Raviq.
Sementara itu, Komandan Pasukan Cobra Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Misbahul Munir alias Rahul, menilai bahwa pemanggilan Mantan Panglima GAM Muzakir Manaf alias Mualem oleh Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM berat adalah bentuk kriminalisasi.
Menurut dia, untuk saat ini, seharusnya yang dipikirkan oleh Pemerintah Pusat adalah bagaimana merealisasikan butir-butir MoU Helsinki, karena itu adalah janji pemerintah Pusat terhadap Aceh yang disaksikan dan diketahui dunia.
“Dengan adanya MoU Helsinki antara GAM dengan RI pada 15 Agustus 2005, semua tindak tanduk GAM semasa konflik itu sudah dihapuskan dan tidak lagi menjadi persoalan di kemudian hari setelah damai,” ujar Rahul yang juga anggota DPRK Aceh Utara dari Partai Nasional Aceh (PNA) ini kepada Serambi, Selasa (8/10/2019).
Pihaknya selaku mantan kombatan GAM di Pase merasa sangat keberatan dengan pemanggilan Mualem oleh Komnas HAM. “Kami melihat ini ada upaya kriminalisasi terhadap mantan panglima GAM,” pungkas Rahul.
Lebih lanjut dia mengatakan, untuk keberlangsungan perdamaian yang sudah terbina selama 14 tahun, yang perlu direalisasikan oleh Pemerintah Pusat adalah poin-poin dalam MoU Helsinki. Seharusnya hal ini lah yang menjadi prioritas Pemerintah Pusat.
“Harusnya itu yang menjadi prioritas dari Pemerintah Pusat, bukan mengkriminalisasi mantan GAM. Luka lama saja belum sembuh, harusnya tidak ditambah lagi dengan luka baru,” tegasnya.
Pemerintah Pusat lanjut dia, seharusnya membantu Mualem dalam rangka menyejahterakan mantan GAM dan masyarakat, bukan malah memunculkan masalah baru yang menurutnya bisa memicu munculnya konflik lagi di Aceh. “Mualem selama ini sangat menjaga supaya perdamaian tetap terjaga dan tidak kembali terjadi konflik, tapi ternyata Komnas HAM malah menciptakan hal-hal yang dapat memicu konflik kembali,” ujar Rahul. (dan/fik/jaf)