Amnesty Internasional Desak Malaysia Cabut Aturan Hukuman Mati
Desakan tersebut hadir untuk menghapuskan hukuman mati bagi para pelaku narkoba dan lainnya.
Amnesty Internasional Desak Malaysia Cabut Aturan Hukuman Mati
SERAMBINEWS.COM - Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Amnesty International melakukan desakan kepada pemerintah Malaysia, Kamis, (10/10/2019).
Desakan tersebut hadir untuk menghapuskan hukuman mati bagi para pelaku narkoba dan lainnya.
Laporan Amnesty Internasional kepada pemerintahan Malaysia dilakukan bertepatan dengan Hari Peringatan Anti Hukuman Mati Dunia, seperti dilansir ABC News, Jumat, (11/10/2019).
Laporan Amnesty Internasional berjudul Fatally Flawed: Why Malaysia mus abolis the death penalty menggambarkan perihal dugaan penyiksaan dan banyak cara agar para pelaku mau mengakui perbuatan mereka.

Perdana Menteri Malaysia tahun 2018 Mahathir Mohamad mengatakan pemerintah akan menghapus hukuman mati. (Reuters: Lai Seng Sin untuk ABC News)
Selain itu, Amnesty Internasional juga menggambarkan betapa tidak adanya bantuan hukum yang cukup bagi seseorang yang dijatuhi hukuman mati.
"Dari tuduhan adanya penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya sampai proses pengampunan yang tidak samar, jelas sekali bahwa hukuman mati merupakan noda dalam sistem keadilan di Malaysia," kata Shamini Kaliemuthu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Malaysia.
Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa 73 persen dari mereka sudah dijatuhi hukuman mati yaitu sebanyak 930 orang karena berkaitan dengan narkoba.
Menurut Amnesty Internasional, hal tersebut bertentangan dengan hukum HAM Internasional
Dilaporkan oleh mereka, bahwa hampir 50 persen yang dihukum mati di Malaysia adalah warga asing.
• 7 Orang Tewas, 15 Hilang, Topan Dahsyat Disusul Gempa Lumpuhkan Tokyo
• Kisah Bripda NOS Mantan Polwan Polda Maluku Terpapar JAD, Siap Jadi Pengantin Bom Bunuh Diri
• VIRAL Pernikahan Kakek 74 Tahun dengan Gadis 18 Tahun, Apa yang Membuat si Gadis Jatuh Hati?
Kebijakan Menghilangkan Hukuman Mati
Hampir setahun yang lalu, pemerintah Malaysia yang baru, Perdana Menteri Mahathir Muhammad mengumumkan menghilangkan hukuman mati bagi semua tindak kriminal.
Sedangkan sebelumnya pada bulan Juli 2018, pemerintah Malaysia mengatakan tidak akan melakukan eksekusi lagi.
Sidang Parlemen Malaysia
Pemerintah Malaysia akan memulai Sidang Parlemen tahun 2019 pada bulan Oktober.
Sampai sejauh ini, pemerintah Malaysia telah mengajukan RUU untuk menghentikan keharusan bagi penjatuhan hukuman mati.
Namun demikian, hanya untuk 11 kejahatan saja.
Saat ini di Malaysia masih ada 33 tindak kriminal yang bisa dijatuhi hukuman mati, dengan 12 tindak kejahatan hukumannya harus hukuman mati.
Dalam beberapa tahun terakhir, hukuman mati tersebut hanya dijatuhkan untuk kasus pembunuhan dan perdagangan narkoba.
• Gara-gara Komentarnya di Facebook Tentang Penusukan Wiranto, Oknum ASN di Kampar Diperiksa Polisi
• Wiranto Langsung Dapat Penanganan saat Penusukan, Kapolres Menes Justru Tak Sadar Dirinya Berlumuran
Nasib Warga Menunggu Hukuman Mati
Data dari Amnesty International, dari 1281 orang yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati di Malaysia, 568 orang adalah warga asing.
Sejumlah warga asing ini terkadang menghadapi masalah serius untuk mendapatkan bantuan konsuler dari kedutaaan negara mereka maupun jasa penerjemahan.
Selain itu, Amnesty International juga mencatat bahwa etnis minoritas di Malaysia porsinya lebih besar yang dijatuhi hukuman mati, dan sebagian dari mereka berasal dari latar belakang yang tidak menguntungkan.
Rincian laporan Amnesty Internasional menyebutkan bahwa 73 persen dari mereka yang sudah dijatuhi hukuman mati dinyatakan bersalah karena kejahatan narkoba.
Sedangkan lebih dari separuh di antara mereka adalah warga asing.
Amnesty Internasional menekan satu hal dalam laporannya bahwa banyak pelaku kejahatan narkoba yang dihukum mati di Malaysia ini adalah perempuan yang kebanyakan dipaksa untuk membawa narkoba masuk ke Malaysia karena tekanan ekonomi atau hal lain.
"Karena keharusan penjatuhan hukuman mati membuat hakim tidak memiliki ksesempatan untuk mempertimbangkan penyebab para wanita itu melakukan tindakan yang mereka lakukan.", diungkap dalam Laporan Amnesty Internasional.
Masalah Bahasa: Tak ada penerjemahan yang memadai
Selain itu, pihak Amnesty Internasional juga mengatakan bahwa bahasa juga turut menjadi sebab permasalahan.
Bahasa menjadi bagian dari permasalahan bagi pelaku yang berasal dari Malaysia, yang tidak bisa berbahasa Melayu ketika menghadapi kasus hukum.
Satu contohnya, adalah Hoo Yew Wah, warga Malaysia keturunan China yang ditahan di tahun 2005 di usia 20 tahun yang menggunakan methamphetamine atau yang lebih dikenal sebagai shabu-shabu di Indonesia.
Hoo Yew Wah dinyatakan bersalah berdasarkan pengakuannya dalam bahasa Mandarin, namun polisi kemudian merekamnya dalam bahasa Melayu.
Dia mengatakan pernyataan yang ditandatanganinya tidaklah akurat, namun polisi melakukan penyiksaan selama interogasi sehigga salah satu jarinya patah.
Polisi juga mengancam akan memukul pacarnya bila dia tidak mau menandatangani pengakuan.
Hoo Yew Wah, menurut Amnesty International juga tidak didampingi pengacara selama proses interogasi.
Sejak tahun 2011, Hoo Yew Wah sudah menuggu eksekusi hukuman mati.
Pemerintah Malaysia Ubah Pendekatan Tangani Kasus Narkoba
Negara Malaysia kini resmi mengubah pendekatan dalam penanganan persoalan narkoba.
Melalui pemerintahannya, Negara Malaysia mulai mengubah pendekatan setelah 40 tahun lebih menerapkan hukuman terberat bagi para pelanggar.
Dilansir oleh ABC, Senin, (16/9/2019), kini Pemerintah Malaysia memperlakukan para pengguna narkoba bukan sebagai kriminal.
"Melihat pengguna narkoba sebagai seseorang yang menderita penyakit merupakan hal yang penting," kata Nurul Izzah Anwar, politisi partai yang sedang berkuasa Pakatan.
Hukuman terhadap pelanggaran yang berkenaan dengan narkoba merupakan salah satu yang paling berat di dunia, termasuk Malaysia.
Anggota parlemen dari koalisi Pakatan, Nurul Izzah Anwar menerangkan bahwa 50 persen narapidana di Malaysia adalah pengguna narkoba.
Nurul menyatakan bahwa pengguna narkoba mulai ditanamkan kesadarannya melalui rumah ibadah.
"Jadi bagaimana kita memulai gerakan ini? Bagaimana kita mulai menanamkan kesadaran? Dilakukan lewat masjid. Dilakukan lewat rumah ibadah," katanya.
Dilaporkan oleh ABC, bahwa di luar sebuah masjid di Kuala Lumpur, terdapat sebuah mobil van berwarna putih yang terparkir.
Mobil tersebut adalah jenis mobil methadone yang sengaja disediakan Pemerintah Malaysia untuk membuat pengguna narkoba tidak dianggap sebagai pelanggar tindak kriminal serius.
Menteri Liew Vui Keong mengatakan meski tidak lagi memproses secara hukum pengguna narkoba, bukan berarti pengedar narkoba akan dibebaskan dari hukuman.
"Pengguna narkoba tidak perlu dipenjarakan, mereka memerlukan perawatan medis," kata Liew.
Liew Vui Keong menerangkan upaya untuk tidak menjadikan pengguna narkoba sebagai kriminal mendapat dukungan kabinet dan PM Mahathir Mohammad.
Liew merujuk penjara yang penuh sesak di Malaysia, yaitu sebesar 56 persen di antaranya adalah napi narkoba.
Sebagian besar di antaranya melakukan pelanggaran lagi setelah dibebaskan.
"Dalam penelitian, kami menemukan bahwa 90 persen di antara mereka akan kembali ke penjara, karena tidak bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat," kata Liew.
"Mereka tidak bisa mendapat pekerjaan, sehingga punya kecenderungan untuk melakukan pelanggaran lagi." ungkap Liew.
Hukuman bagi kepemilikan narkoba di Malaysia merupakan salah satu yang terberat di dunia.
Kepemilikan 200 gram kanabis, 40 gram kokain, atau 15 gram heroin atau morfin sudah masuk dalam pelanggaran.
Dalam konteks ini, pelakunya bisa dijatuhi hukuman mati.
Saat melakukan reportase di Kuala Lumpur, dilaporkan oleh ABC bahwa pengguna narkoba di Malaysia dapat dengan mudah ditemukan di jalan-jalan.
Seorang pria bahkan sedang menggunakan heroin yang dibelinya dengan harga 3 $ atau sekitar 42.241 rupiah.
Pria itu ditemukan di sebuah pertokoan yang tidak lagi digunakan.
Dilaporkan bahwa pria tersebut sudah keluar masuk penjara selama 29 kali.
Di Malaysia, pengguna narkoba masih sering dikucilkan oleh masyarakat.
"Polisi sudah tidak mau menangkap dia lagi, karena begitu seringnya dia keluar masuk penjara," kata Yatie Jonet, seorang mantan pengguna narkoba yang mendampingi ABC malam itu.
Pengalaman Yatie Jonet
Yatie Jonet sebagai mantan pengguna narkoba menceritakan bahwa dirinya pernah dipenjara dua kali karena kasus narkoba.
Ia mengaku bahwa di penjara justru tingkat kecanduannya semakin parah.
"Saya lebih banyak tahu bagaimana menjual narkoba. Saya tahu pengedar besar," kata Yatie.
Tanggapan Akademisi
Professor Adeeba Kamarulzaman, Dekan Fakultas Kedokteran University of Malaya di Kuala Lumpur, mengatakan perang melawan narkoba gagal untuk mengurangi tingkat pengguna.
"Perang melawan narkoba gagal dan sudah menciptakan banyak dampak kesehatan dan sosial yang negatif," katanya.
"Dari sisi kesehatan ini telah menyebakan epidemik HIV dan Hepatitis C. Dan mereka yang masuk penjara, semakin banyak yang terkena TB."
Sebagai seorang akademisi, Adeeba merasa ada hal yang aneh di Malaysia saat ia melanjutkan pendidikan kedokteran di Australia.
Di tahun-tahun saya berada di Australia, saya tidak pernah melihat seorangpun yang menggunakan narkoba terinfeksi HIV," kata Adeeba.
"Ketika saya kembali ke Malaysia, saya melihat pengguna narkoba juga terkena HIV. Itulah mengapa kami mulai mendukung program untuk mengurangi dampak narkoba." kata Adeeba.
Namun demikian, Prof Adeeba menyadari besarnya tantangan yang ada.
"Ini masalah perubahan cara berpikir," katanya.
Keterangan yang diperoleh ABC, rencana pemerintah mengubah UU yang pada mulanya akan diajukan akhir tahun, akan ditunda sampai tahun depan.
"Dekriminilasisasi masih belum bisa diterima oleh banyak orang. Baik di kalangan penegak hukum, pemimpin agama, juga masyarakat secara keseluruhan," kata Professor Adeeba.
Di klinik mobil methadone yang bertempat di halaman masjid di Kuala Lumpur, Nurul Izzah Anwar menunjukkan kepada imam setempat bagaimana cara kerja mobil tersebut.
Usaha Nurul untuk membantu mereka yang kecanduan narkoba didasarkan pada pengalaman pribadinya saat mengunjungi ayahnya Anwar Ibrahim dalam penjara.
"Selama bertahun-tahun dia menjadi tahanan politik, saya melihat lebih dari 50 persen napi itu karena kejahatan narkoba," kata Nurul.
Banyak pengguna narkoba di Malaysia keluar masuk penjara karena tidak dapat bantuan dari masyarakat.
"Mereka semua miskin. Kita harus memahami apa yang terjadi. Mengurangi ketergantungan akan narkoba merupakan satu-satunya solusi," ujar Nurul.
(TRIBUNNEWSWIKI.COM/Dinar Fitra Maghiszha)
Artikel ini telah tayang di Tribunnewswiki.com dengan judul Malaysia Didesak Amnesty Internasional Cabut Aturan Hukuman Mati