Mengenang 111 Tahun Meninggal Cut Nyak Dhien, Ratu Perang Simbol Heroisme Perempuan Aceh

Kematian suaminya Teuku Umar membuat Cut Nyak Dhien amat berduka. Namun, ia menolak larut dalam kesedihan, dan ratapan duka

Editor: bakri
FOTO/MAYOR INF ARIS NL KODAM III/SILIWANGI
Mahasiswa berjumlah 85 orang dari delapan perguruan tinggi dan akademi swasta se Jawa Barat, berkunjung ke makam pahlawan Nasional asal Aceh Cut Nyak Dhien, di Gunung Puyuh, Desa Suka Jaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang. 

Kematian suaminya Teuku Umar membuat Cut Nyak Dhien amat berduka. Namun, ia menolak larut dalam kesedihan, dan ratapan duka. Sebaliknya, Cut Nyak Dhien berjanji akan terus mengobarkan semangat perang mengusir Belanda dari Tanah Aceh, dan membalas kematian suaminya.

"Di tempat itu arwah Umar akan menyertai kita! Dari sana juga lah kita akan memenuhi tugas-tugas kegerilyaan kita seperti yang biasa dilakukan oleh Umar. Kita akan memenuhi perintah Tuhan untuk memerangi orang kafir," ujar perempuan itu dengan suara lantang.

Sambil menghunus sebilah rencong di tangan, ia kembali berkata. Kali ini dengan suara bergetar.

"Pang La'ot! Selama aku masih hidup kita masih memiliki kekuatan, perang gerilya ini akan kita teruskan! Demi Allah! Polim masih hidup! Bait hidup! Imam Longbata hidup! Sultan Daud hidup! Tuanku Hasyim hidup! Menantuku, Teuku Majet di Tiro masih hidup! Anakku Cut Gambang masih hidup! Ulama Tanah Abee hidup! Pang La'ot hidup! Kita semua masih hidup! Belum ada yang kalah! Umar memang telah Syahid! Marilah kita meneruskan pekerjaannya! Untuk Agama! Untuk kemerdekaan bangsa kita! Untuk Aceh! Allahu Akbar!".

Kalimat itu diucapkan Cut Nyak Dhien setelah menerima kabar suaminya Teuku Umar gugur di medan perang. Pada suatu ketika, Cut Gambang, putri semata wayangnya, tak kuasa menahan sedih. Ia merangkul jasad sang ayahanda dengan tangisan. Melihat itu, tiba-tiba sorot mata Cut Nyak Dhien berubah tajam.

Ia menarik Cut Gambang yang sedang bersedih, dan membentaknya. "Dengar! Sebagai perempuan Aceh, jangan meneteskan air mata atas orang yang syahid!" Perempuan pemberani yang disebut namanya dalam sejarah itu segera merangkul putrinya. Pasukan dan orang-orang kepercayaannya hanya berdiri melihat ketegaran wanita bermental baja itu.

Kematian suaminya Teuku Umar membuat Cut Nyak Dhien amat berduka. Namun, ia menolak larut dalam kesedihan, dan ratapan duka. Sebaliknya, Cut Nyak Dhien berjanji akan terus mengobarkan semangat perang mengusir Belanda dari Tanah Aceh, dan membalas kematian suaminya.

Kisah epik sosok Cut Nyak Dhien ini terekam dalam banyak catatan sejarah, dan menjadi salah satu simbol heroisme perempuan Aceh. Cut Nyak Dhien syahid dalam usia 60 tahun pada 6 November 1908. Jasadnya dimakamkan di Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Rabu (6/11/2019) hari ini, bertepatan dengan 111 tahun Cut Nyak Dhien syahid. Meski sudah tiada, namun semangat dan nilai-nilai perjuangan yang ia wariskan tetap abadi tertulis dalam tinta emas sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.

* * *

Dalam berbagai catatan sejarah, sosok Cut Nyak Dhien digambarkan sebagai perempuan perkasa. M H Skélely Lulofs, penulis berkebangsaan Belanda menyebut sosok Cut Nyak Dhien sebagai Ratu Perang Aceh sebagaimana judul bukunya; Cut Nyak Dien: Kisah Ratu Perang Aceh. Lulofs memaparkan betapa heroiknya perjuangan Cut Nyak Dhien yang membuat cerita penaklukan Aceh oleh Belanda menjadi kisah gilang-gemilang.

Merujuk pada isi buku tersebut, Paul Van 't Veer, wartawan Belanda yang dianggap paling mengenal dan ahli tentang Indonesia menyebut dalam mengobarkan perang, Cut Nyak Dhien begitu tabah mengembara di hutan sampai terserang penyakit dan menjadi buta, tetapi tak juga mau menyerah kepada Belanda. "Ia sungguh 'Ratu Perang Aceh' yang menggetarkan," tulis Paul Van 't Veer.

Memimpin gerilya

Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 dan berasal dari keluarga bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya Teuku Nanta Seutia, seorang ulebalang (panglima perang) VI Mukim. Ia juga diketahui sebagai keturunan langsung Sultan Aceh dari garis ayahnya.

Menikah pada usia masih belia pada tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Ketika Perang Aceh meletus pada 1873, Cut Nyak Dhien memimpin perang di garis depan melawan pasukan Belanda yang bersenjata lebih lengkap.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved