Pembangunan Rumah Duafa Ditunda, Dimulai Tahun 2020
Pemerintah Aceh sudah mengambil keputusan untuk menunda pembangunan 1.100 unit rumah duafa bantuan Baitul Mal Aceh
* GeRAK: Jangan Mengulur-ulur Waktu
BANDA ACEH - Pemerintah Aceh sudah mengambil keputusan untuk menunda pembangunan 1.100 unit rumah duafa bantuan Baitul Mal Aceh tahun 2019. Dengan keputusan itu, calon penerima rumah yang sudah diverifikasi sejak 2018, terpaksa harus bersabar hingga tahun 2020 karena pembangunannya akan dilaksanakan tahun depan.
Ini berarti butuh waktu tiga tahun bagi masyarakat miskin untuk bisa menempati rumah layak huni, itupun jika pembangunan yang dijanjikan tahun 2020 tidak ditunda lagi. Sejumlah pihak berharap pemerintah tidak mengulur-ulur waktu membangun rumah kaum duafa, apalagi anggarannya menggunakan dana infaq atau dana umat.
Sekretaris Baitul Mal Aceh, Rahmat Raden, yang dikonfirmasi Serambi, Sabtu (23/11/2019) menjelaskan alasan penundaan pembangunan 1.100 rumah duafa tersebut. Dia menyatakan bahwa pertimbangan dilakukan penundaan karena tidak lagi cukup waktu bagi rekanan untuk mengerjakannya di akhir tahun 2019. Dasar itulah Plt Gubernur Aceh menunda pembangunan rumah duafa bantuan Baitul Mal Aceh.
"Pembangunan rumah ini ditunda karena secara perhitungan waktu sudah tidak cukup lagi untuk dilanjutkan pengerjaan pembangunannya. Pembangunan dilanjutkan pada 2020," kata Rahmat.
Penjelasan Rahmat Raden ini juga sekaligus mengklarifikasi pernyataan sejumlah LSM yang menyebutkan bahwa pembangunan rumah duafa bantuan Baitul Mal dibatalkan. Mantan kepala Biro Humas dan Protokol Setda Aceh ini kembali menegaskan pembangunan itu bukan dibatalkan melainkan ditunda hingga tahun 2020.
Selain itu, Rahmat juga menegaskan jika pembangunan rumah duafa menggunakan dana infaq, bukan zakat. Harga per unit rumah Rp 80 juta dan dikerjakan tanpa melalui tender. Meskipun demikian, proses pengadaannya tetap melalui Biro Pengadaan Barang dan Jasa atau Uni Layanan Pelelangan (ULP) Setda Aceh.
Penjelasan Sekretaris Baitul Mal Aceh, Rahmat Raden itu diberikan menyusul hebohnya info pembatalan pembangunan 1.100 unit rumah duafa bantuan Baitul Mal Aceh tahun 2019. Isu pembatalan itu awalnya diketahui dari anggota DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaky yang menyurati Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Jumat (22/11/2019).
Dalam surat yang ditembuskan ke delapan instansi terkait tersebut, Iskandar yang merupakan politisi Partai Aceh meminta Plt Gubernur, Nova Iriansyah, untuk melanjutkan pembangunan 1.100 rumah duafa bantul Baitul Mal Aceh yang sudah dibatalkan.
Mantan ketua Fraksi Partai Aceh ini menyatakan, pada tahun 2018, pemerintah melakukan verifikasi calon penerima manfaat rumah duafa yang jumlahnya mencapai 1.000 unit dan tahun 2019 sebanyak 100 unit. Total rumah yang akan dibangun pada tahun 2019 sebanyak 1.100 unit.
Rencananya, lanjut mantan aktivis ini, pembangunan akan dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh pada tahun 2019 setelah dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) disahkan di APBA-Perubahan 2019. Tapi anehnya pembangunan itu malah dibatalkan.
Sementara Koordinator LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani SH melihat ada kejanggalan terkait pembatalan pembangunan 1.100 rumah duafa bantuan Baitul Mal Aceh. Ia menduga pembatalan itu terjadi karena tingginya tekanan politik di dalam pemerintahan.
Disisi lain, Askhalani mendesak pemerintah untuk tidak mengulur-ulur waktu membangun rumah kaum duafa. Apalagi verifikasi calon penerima sudah dilakukan tahun 2018, sementara hingga akhir tahun 2019 belum tampak wujud rumah yang dibangun dari dana umat itu.
"Dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Aceh sudah melanggar hukum jika sampai rumah duafa itu tidak dibangun tahun ini, apalagi seluruh data sudah sangat cukup dan sudah sesuai dengan norma dan hukum," pungkas Askhalani.
Sementara itu, Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Jumat (22/11/2019), menyurati Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. Lembaga pengawas pelayanan publik ini menyorot rencana pengadaan mobil dinas baru untuk jajaran kepala dinas di lingkungan Pemerintah Aceh yang menyedot anggaran hingga Rp 100 miliar lebih.
Dalam suratnya, Ombudsman meminta Plt Gubernur Aceh agar dilakukan seleksi prioritas terhadap rencana pengadaan mobil tersebut, sebab masih banyak hal lain yang seharusnya juga menjadi prioritas, seperti pembangunan rumah duafa.
"Ya kami telah menyurati Plt Gubernur Aceh. Suratnya juga kami tembuskan kepada Ketua Ombudsman RI, Menteri Dalam Negeri, dan Ketua DPRA," kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Taqwaddin didampingi Asisten Bidang Pencegahan, Ilyas Isti, kemarin.
Dalam surat Nomor: S.128/PW-01/XI/2019 itu, Taqwaddin, menjelaskan, pada intinya Ombusdman Aceh menyarankan kepada Plt Gubernur Aceh agar melakukan seleksi prioritas terhadap pembelian mobil dinas tersebut.
“Kalau memang masih layak pakai, kenapa harus diganti? Dan mengapa harus berbarengan untuk seluruh pejabat,” ujar Taqwaddin setengah bertanya.
Atau lanjutnya, anggaran pengadaan mobil itu juga dapat digunakan untuk pembelian ambulans laut, mengingat armada tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat kepulauan, seperti masyarakat Pulau Aceh.
Selain itu juga masih banyak hal lain yang seharusnya juga menjadi prioritas, seperti pembangunan rumah duafa, jalan umum, jembatan, serta fasilitas publik lainnya.
"Kita berharap pimpinan daerah peka terhadap keluhan masyarakat, apalagi banyak elemen masyarakat yang menolak terhadap pengadaan mobil dinas baru tersebut yang sumbernya berasal dari APBA dan APBA-P tahun 2019," pungkas Taqwaddin.
Kabar pembatalan pembangunan 1.100 unit rumah duafa bantuan Baitul Mal Aceh--yang kemudian diklarifikasi menjadi ditunda--dengan cepat tersebar. Informasi itu kemudian ditanggapi beragam di tengah tingginya angka kemiskinan Aceh, yang salah satu faktornya karena masih banyak rumah tak layak huni.
Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal kepada Serambi, Sabtu (23/11), mengatakan, berdasarkan informasi yang diterimanya, sebenarnya tak ada alasan fundamental dikeluarkannya kebijakan pembatalan pembangunan rumah duafa itu.
Malah pihak Baitul Mal sendiri sudah sangat siap untuk melaksanakan kegiatan pembangunan rumah duafa. Semua tahapan dan proses pelaksanaan sudah dilakukan, tinggal penetapan rekanan pelaksana oleh ULP Pemerintah Aceh. "Kami menilai suatu kejanggalan terhadap keputusan ini. Ada apa sebenarnya dibalik kebijakan pembatalan rumah duafa Baitul Mal ini?" kata Syakya.
Apapun alasan pembenaran Pemerintah Aceh terhadap pembatalan tersebut, menurutnya itu tidak dapat diterima oleh logika publik. "Bayangkan, disaat musim hujan seperti sekarang ini, saudara-saudara kita calon penerima rumah bantuan tersebut harus berjibaku dengan air hujan untuk sekedar beristirahat karena rumahnya bocor. Belum lagi jika banjir datang," imbuhnya.
Seandainya tidak dibatalkan, menurut Syakya, penderitaan calon penerima manfaat tentu akan lebih cepat berakhir. "Tapi Jika tetap dibatalkan, maka kami berkesimpulan Pemerintah Aceh memang tidak sayang pada rakyat miskin," tegas Syakya.
Bagi MPO Aceh, kebijakan pembatalan atau penundaan pembangunan rumah duafa untuk fakir miskin ini sungguh mengecewakan publik. Keputusan tersebut sangat bertolak belakang dengan kampanye pemerintah Aceh selama ini dengan berbagai program pengentasan kemiskinan.
"Bagaimana menjelaskan kepada publik bahwa kita ingin kemiskinan cepat tertanggulangi. Sementara pembangunan rumah untuk orang miskin malah dibatalkan. Bukankah ini kebijakan yang sangat paradoks dengan prioritas pembangunan Aceh sendiri?" kata dia bertanya.
MPO Aceh menilai tindakan tersebut juga sebagai bentuk pembangkangan terhadap Qanun RPJMA. Apalagi disaat bersamaan Pemerintah Aceh justeru memprioritaskan anggaran 100 miliar untuk pengadaan ratusan unit mobil
dinas baru yang jelas-jelas tidak ada dalam RPJMA. "Ini jelas bukan kebijakan populis. Pemerintah Aceh gagal faham terhadap skala prioritas pembangunan. Apalagi ini pembatalan yang kedua setelah pembatalan pertama pada tahun 2018," ujar Koordinator MPO Aceh ini.
Sesungguhnya kebijakan pembatalan ini sangat kontradiktif dengan aspirasi rakyat akhir-akhir ini. Publik menuntut agar Pemerintah Aceh membatalkan pengadaan mobil dinas yang dianggap bukan kebutuhan mendesak, tapi malah rumah duafa yang dibatalkan. "Kita berharap Pemerintah Aceh agar lebih peka dengan persoalan rakyat. Hindarilah kebijakan yang menimbulkan resistensi publik dan dapat memancing amarah rakyat," demikian Syakya Meirizal.(mas/as)