Escape Building Sebaiknya Terintegrasi dengan Masjid  

Guru Besar UIN Ar-Raniry, Prof Dr Eka Srimulyani MA menyatakan, dari beberapa kajian yang ada, muncul gagasan di kalangan peneliti

Editor: hasyim
SERAMBI/HENDRI
ESCAPE BUILDING- Kondisi bangunan penyelamat dari Tsunami (escape building) di Banda Aceh, Aceh, Rabu (25/12/2019). SERAMBI/HENDRI 

BANDA ACEH - Guru Besar UIN Ar-Raniry, Prof Dr Eka Srimulyani MA menyatakan, dari beberapa kajian yang ada, muncul gagasan di kalangan peneliti atau ilmuwan di Aceh bahwa gedung penyelamatan (escape building) sebaiknya diintegrasikan dengan masjid. Selain itu, konstruksi masjid yang sering menjadi tempat masyarakat menyelamatkan diri ketika terjadi bencana harus dipastikan memiliki standar konstruksi sebagai escape building.

Prof Eka Srimulyani menyatakan hal itu di Banda Aceh, Sabtu (28/12/2019), menanggapi liputan eksklusif Harian Serambi Indonesia berjudul "Selamatkan Gedung Penyelamat" yang dipublikasi Kamis (26/12/2019) menandai

peringatan 15 tahun tsunami Aceh. Menurutnya, dari wawancara dengan masyarakat saat penelitian, tergambar bahwa masjid adalah salah satu pilihan tempat menyelamatkan diri yang paling sering muncul.

Dilihat dari sisi karakter sosial masyarakat Aceh yang sangat dekat dengan nilai-nilai keagamaan, hal ini tentu saja tidak aneh. "Masyarakat berkeyakinan kalaupun mereka meninggal karena bencana tersebut, maka meninggalnya di tempat yang mulia," kata Prof Eka.

Selain itu, masjid merupakan tempat yang paling familier di kalangan masyarakat Aceh dan biasanya berada di tengah permukiman warga. Ini tentu memudahkan dalam mencari korban yang selamat maupun yang meninggal. Prof Eka Srimulyani menyebutkan bahwa sudah ada beberapa kajian oleh para pakar terkait hal ini sebelumnya. 

"Temuan ini juga mengemuka (kembali) dalam kajian yang kami lakukan, kerja sama Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI dengan Pusat Kajian Antarbangsa tentang Aceh dan Lautan Hindia atau International Center for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) baru-baru ini," terang Eka.

Fakta empiris, lanjutnya, juga memperlihatkan kenyataan yang demikian, seperti yang terjadi pada gempa dan tsunami 26 Desember 2004, sebagian besar masyarakat Aceh justru lari ke masjid sebagai tempat untuk menyelamatkan diri. "Jadi ke depan, di daerah-daerah yang belum dibangun escape building, sebaiknya pembangunan escape building dipertimbangkan untuk diintegrasikan dengan masjid. Misalnya, dibangun di lantai dua atau di lantai tiga masjid sehingga memungkinkan ribuan warga menyelamatkan diri di sana dan dimungkinkan pula evakuasi dari udara," timpal Eka.

                                                                                                            Masyarakat ragu

Penasihat Ikatan Ahli Geologi Indonesia Pengda Aceh yang juga Anggota Dewan Pakar Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Aceh, Ir Faizal Ardiansyah MSi menyampaikan bahwa sebetulnya di Kota Banda Aceh sudah ada desa yang mengintegrasikan escape building dengan masjid. "Contoh escape building yang menyatu dengan masjid adalah di Masjid Al-Jihad Jeulingke, tepatnya di dekat rumah Bang Sulaiman Abda, mantan wakil ketua DPR Aceh," kata Faizal.

Untuk optimalisasi fungsi escape building yang sudah dibangun di Banda Aceh dan di beberapa daerah lainnya oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias maupun oleh lembaga donor pascatsunami, Faizal menyarankan perlu ada workshop tentang pemanfaatan escape building. "Dari sana nanti akan lahir rekomendasi pemanfaatannya," kata penulis buku Aceh Laboratorium Bencana ini.

Menurut Faizal, status escape building juga perlu diperjelas dan dioptimalkan fungsinya. Misal, dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan sosial warga setempat atau sebagai gedung olah raga dan kesenian, sehingga bisa lebih terjaga dan terawat. "Kalau sudah jelas, ya tinggal pengelolaannya saja," ujar mantan ketua IAGI Pengurus Daerah Aceh ini.

Menurut Faizal, banyak keraguan masyarakat terhadap escape building karena tidak ada informasi yang jelas bagi masyarakat tentang ketahanan bangunan tersebut, fasilitas yang tersedia, misalnya air mineral, makanan kering tahan lama, dan selimut yang ini bisa dimanfaatkan saat mereka terjebak tsunami beberapa hari sampai pertolongan evakuasi. Hal ini tentu perlu manajemen yang baik dari pemerintah daerah. "Itu sebab, perlu kesepakatan siapa melakukan apa, termasuk dukungan dana rutin, untuk fungsi optimal setiap escape building," kata Faisal Adriansyah.

Satu hal lagi yang juga perlu dirawat, menurut Faizal, adalah escape hill (bukit penyelamatan) seperti yang ada di Ujung Pancu, Aceh Besar. Saat bencana, escape hill menjadi tempat yang penting untuk menyelamatkan diri karena bentuknya bukit. Fasilitas juga seharusnya disiapkan. Di luar bencana bisa jadi tempat wisata dan tempat mencari inspirasi bagi seniman maupun penulis.

"Escape hill bisa diperbanyak karena tidak membutuhkan biaya besar, hanya membangun jalan setapak menuju bukit dan fasilitas air bersih dan pondok tempat berlindung," ujarnya.(dik)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved