Pilihan yang Tepat, Menulislah Semampunya
SAYA sangat gembira ketika mengetahui ada kelas ekstrakurikuler (ekskul) di tempat kami menuntut ilmu, Pesantren Nurul Fikri Boarding School Aceh

OLEH SAFFAR HUSNI LABIB, Santri Kelas VII B Nurul Fikri, Aceh Besar dan alumnus SDN 3 Sigli, melaporkan dari Sigli, Kabupaten Pidie
SAYA sangat gembira ketika mengetahui ada kelas ekstrakurikuler (ekskul) di tempat kami menuntut ilmu, Pesantren Nurul Fikri Boarding School Aceh. Nurul Fikri (NF) berlokasi di Jalan Groot, Desa Lhang, Darul Kamal, Aceh Besar.
Saat itu, para santri diminta memilih kelas ekskul, di antaranya Pramuka, karate, memanah, dan esai. Semua santri termasuk saya bimbang harus memilih kegiatan yang tepat, sesuai bakat.
Setiap santri diwajibkan memilih satu di antara empat ekskul. Namun saya sedih, sebab dokter telah mewanti-wanti saya agar tidak beraktivitas yang terlalu menguras tenaga, artinya tak boleh capek. Setelah berpikir panjang, akhirnya saya pilih kelas esai bersama beberapa teman yang memiliki minat menulis. Pertimbangan saya, ini pilihan yang tepat, karena menulis itu tak butuh tenaga. Hanya butuh pikiran, wawasan, dan yang paling penting adalah kemauan.
Setelah yakin dengan pilihan kelas esai, kami langsung mengajukan pendaftaran pada Ustaz Rico Tampati. Bagi saya menulis itu mudah, terlepas dari kualitas dan kuantitas, intinya sudah menulis. Percayalah, tiap kata yang kita tulis akan abadi dan terkenang selamanya. Manfaat lain dari menulis adalah bisa menghasilkan finansial. Nah, siapa yang tak butuh uang? Silakan jawab sendiri.
Beberapa hari seusai mendaftar ekskul, saya mendapat kabar dari Ustaz Arsil Azimi bahwa kelas esai akan dimulai beberapa hari lagi. Katanya satu minggu dua kali pertemuan: Selasa dan Jumat.
Orang yang membuat saya jadi termotivasi untuk menulis adalah pemateri yang telah lama berkecimpung di dunia menulis lewat berbagai komunitas literasi. Bagi saya, dia punya sejuta tip untuk mengajak anak-anak muda seperti santri, agar giat menulis. Misalnya dia pernah berpesan, jika kalian ingin jadi bintang bola, paling hanya mampu bermain bola sampai usia 40 tahun. Tapi kalau kalian menjadi penulis, akan sanggup menulis meskipun terbaring di rumah sakit. Bahkan bisa menghasilkan uang di usia 60-an lewat karya tulis.
Para santri yang memilih kelas esai merasa senang, karena sejak dahulu kami menunggu informasi lebih lanjut mengenai ekskul, khususnya kelas menulis. Saat kelas menulis dimulai, kami belajar penuh semangat, menggunakan proyektor (infocus), kadang kami dan pemateri membaca artikel-artikel menarik di media online sebagai langkah melatih diri untuk menulis. “Sebab, senjata menulis adalah membaca,” kata pemateri.
Setiap kali pertemuan dalam kelas esai, mentor mengajari kami berpikir logis dan mudah dipahami. Hampir setiap saat ia memotivasi supaya para santri semangat, antusias, dan memiliki kemauan menulis. Bagi saya, mental adalah kunci keberhasilan para santri.
Setiap akhir pertemuan, pemateri memberikan motivasi dan latihan menulis artikel ringan kepada kami. Kerap sekali saya terinspirasi dengan kata-kata dan semangatnya demi mengajar menulis walau dari nol. Terkadang ia tetap menunggu di kelas walaupun kami tak masuk satu orang pun.
Pelatih esai sering memberikan tugas kepada kami, berupa membuat artikel mengenai segala hal. Beliau kadang mengajak santri untuk merenungkan kemegahan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh untuk menggali informasi dan data yang akan ditulis. Kadang kami belajar di luar kelas untuk mencari udara segar sekalian refreshing ringan. Gunung di depan pesantren adalah tempat favorit kami, walau hanya bermain 20 menit.
Setelah mengikuti kelas menulis beberapa pertemuan, saya putuskan untuk pulang ke Sigli, ibu kota Kabuapten Pidie. Sebelum pulang, saya minta izin bahwa beberapa hari ke depan tidak ada di pesantren, karena rindu orang tua, sekaligus hendak menulis artikel sederhana.
Jumat, 6 Maret 2020 saya beranjak ke Sigli. Tak terasa saya sudah menempuh perjalanan dua jam lebih dari Banda Aceh menuju Sigli, menggunakan jasa minibus L-300. Saat dalam perjalan, sopir memutar musik klasik era ‘90-an, yakni lagu sendu. Beberapa bait lagu sempat saya ingat, misalnya “Malam ini, tak ingin aku sendiri”. Musik ini membuat saya tidur pulas. Pasti pembaca tidak asing lagi dengan musik dan lagu sendu yang sering diputar dalam bus atau minibus L-300.
Saat terbangun, mobil yang saya tumpangi sudah berada di Sigli. Kebetulan saya duduk di kursi depan, di sebelah sopir yang fokus menyetir mobil. Mobil L-300 itu kemudian menuju ke arah pinggiran pantai kota Sigli, seraya mengantar penumpang ke desa terdekat. Saya sempat terpesona melihat perubahan pantai tersebut, warga setempat menyebutnya Pantai Pelangi, walaupun di situ tak ada pelangi.
Setelah mengantar penumpang lain, tiba-tiba di pikiran saya terbesit ini adalah tempat yang menarik dan cocok digambarkan dalam artikel agar keindahan Pantai Pelangi tersebar ban sigom (ke seluruh) Aceh.