Update Corona di Aceh
UPDATE Taushiyah MPU, Masjid dan Meunasah Tetap Kumandangkan Azan, Lafaznya yang Ma’ruf
Setiap pengurus masjid, meunasah dan mushalla tetap mengumandangkan azan pada setiap waktu shalat fardhu dengan lafadh yang ma’ruf
Penulis: Zainal Arifin M Nur | Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh meminta kepada pengurus Masjid, Meunasah, dan Mushalla yang memutuskan menghentikan sementara shalat berjamaah, untuk tetap mengumandangan azan di setiap shalat fardhu.
Adapun lafaz azan adalah yang ma’ruf atau terkenal dan dipraktekkan selama ini.
Anjuran tersebut tertuang pada poin ketiga “Taushiyah MPU Aceh Nomor 4 tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Ibadah dan Kegiatan Sosial Keagamaan Lainnya dalam Kondisi Darurat.”
Taushiyah tersebut diterbitkan oleh MPU Aceh, setelah menggelar Rapat Pimpinan Khusus MPU Aceh, pada tanggal 6 Syaban 1441 H atau 31 Maret 2020 M.
Ditandatangani oleh Ketua MPU Aceh, Tgk. H. M. Daud Zamzamy dan tiga Wakil Ketua yaitu, Tgk. H. Faisal Ali, Dr. Tgk. H. Muhibbuththabary, M.Ag, dan Tgk. H. Hasbi Albayuni.
Adapun bunyi lengkap poin tiga ketetapan MPU dimaksud adalah:
“Setiap pengurus masjid, meunasah dan mushalla tetap mengumandangkan azan pada setiap waktu shalat fardhu dengan lafadh yang ma’ruf.”
Terkait dengan lafaz azan ini, Wakil Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali, kepada Serambinews.com mengatakan, lafaz azan tetap seperti biasa yang dipraktekkan selama ini.
“Kalau mau ditambah kalimat ‘shallu fi buyutikum’ itu ditambah setelah azan yang makruf,” ujarnya.
“Bukan mengganti kalimat ‘hayya’alasshalah dan hayya’alalfalah’, meski memang ada pendapat yang demikian,” ujar ulama yang akrab disapa Abu Sibreh ini.
Pimpinan Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah Sibreh ini memaparkan, penambahan kalimat ‘shallu fi buyutikum’ pada akhir azan memang diajurkan untuk penegasan kepada jamaah, agar melaksanakan shalat di rumah.
“Tapi tak digunakan pun tak apa-apa, karena biasanya setelah ada pengumuman di masjid atau meunasah, warga kampung sudah tahu,” ungkap Abu Sibreh.
• VIDEO - Muslim di Spanyol Kumandangkan Azan Lawan Corona
• VIDEO - Lawan Virus Corona, Masjid di Jerman Kumandangkan Azan
• Banda Aceh dan Aceh Besar Disterillkan, Petugas Gabungan Semprot 38,5 Ton Disinfektan
Ketua PW Nahdlatul Ulama (NU) Provinsi Aceh ini menambahkan, Taushiyah ini dikeluarkan oleh MPU Aceh setelah Pemprov Aceh menetapkan status darurat untuk Aceh.
Selain itu juga ada permintaan Gubernur Aceh agar MPU mengeluarkan pendapat atau taushiyah terkait pelaksanaan ibadah pada masa darurat.
Menurut Tgk Faisal, sebenarnya dalam surat tersebut, Plt Gubernur Aceh juga meminta kepada MPU Aceh untuk mengeluarkan pendapat menyangkut pelaksanaan Shalat Tarawih dan Shalat Idul Fitri 1441 H.
Tapi MPU memilah-milah isi surat tersebut, dan hanya membahas persoalan yang mendesak saja.
“Tentang shalat Tarawih dan Shalat Idul Fitri tidak kita bahas dulu, karena masih belum mendesak. Sembari kita berdoa semoga Allah segera mengakhiri bencana wabah ini. Kita akan lihat kondisi, Insya Allah tanggal 25 Sya’ban nanti,” ujar Abu Sibreh.
Berikut isi lengkap “Taushiyah MPU Aceh Nomor 4 tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Ibadah dan Kegiatan Sosial Keagamaan Lainnya dalam Kondisi Darurat.”
Pertama, Setiap muslim wajib berikhtiar menjaga dan menjauhkan dirinya dari wabah penyakit menular dengan senantiasa beribadah, berdzikir dan berdo’a serta memperhatikan petunjuk medis.
Kedua, Dalam hal dan keadaan wabah penyakit (Covid-19) dengan potensi menular yang semakin merebak dan meluas secara pasti (Muhaqqaq) dan berdasarkan petunjuk medis serta ketetapan pemerintah, seorang muslim boleh tidak melakukan shalat berjama’ah di masjid-masjid, meunasah atau mushalla dan tidak melaksanakan Shalat Jum’at berjama’ah tetapi menggantinya dengan Shalat Dzuhur di kediaman masing-masing.
Ketiga, Setiap pengurus Masjid, Meunasah dan Mushalla tetap mengumandangkan Azan pada setiap waktu shalat fardhu dengan lafadz yang ma’ruf.
Keempat, Masjid yang melaksanakan shalat berjama’ah dan shalat Jum’at berdasarkan pertimbangan kemaslahatan di tempat itu, wajib memperhatikan prosedur medis dan protokol kesehatan seperti jarak antar jama’ah (physical distancing) dan lain-lain.
Kelima, Masyarakat diminta tidak mengadakan dan melakukan acara-acara keramaian berupa tasyakkuran, kenduri, tahlil dan samadiah, zikir/rateb bersama, dan lain-lain sampai dengan dicabutnya kondisi darurat.
Keenam, Mengingat situasi wabah penyakit yang terus merebak, maka masyarakat diimbau tidak melakukan perjalanan keluar daerah, dan yang berada di perantauan tidak kembali ke Aceh, kecuali karena sangat mendesak dan bersedia di karantina oleh pemerintah.
Ketujuh, Masyarakat diminta untuk mematuhi instruksi dan protokol yang ditetapkan oleh pemerintah dalam menghadapi wabah penyakit (epidemik) Covid-19, termasuk tidak keluar rumah pada waktu pemberlakuan jam malam dan tetap menjaga jarak aman di tempat keramaian (social distancing).(*)