Tamiang Kewalahan Jaga Perbatasan
Selama pandemi Covid-19 atau Corona, arus kedatangan warga Aceh perantauan melalui Kabupaten Aceh Tamiang ternyata cukup tinggi.
* Satu Kecamatan Disinggahi Ratusan TKI dari Malaysia
* Sudah 1.520 Orang Tiba di Aceh Utara
KUALASIMPANG - Selama pandemi Covid-19 atau Corona, arus kedatangan warga Aceh perantauan melalui Kabupaten Aceh Tamiang ternyata cukup tinggi. Baik melalui jalur darat yang berbatasan dengan Sumatera Utara maupun kawasan pesisir pantai yang terhubung langsung dengan dunia internasional, terutama Malaysia.
Bupati Aceh Tamiang, H Mursil, mengaku kewalahan menjaga semua pintu masuk tersebut. Untuk jalur darat, meski pihaknya telah mendirikan posko pencegahan dan pengendalian Covid-19 di terminal bus Kota Kualasimpang, juga tidak semua kendaraan yang masuk bisa diperiksa. Padahal posko ini berperan sangat penting menggingat setiap harinya ribuan orang dari berbagai daerah masuk ke Aceh melalui jalur ini.
"Anggaran kita sangat terbatas, ini yang membuat petugas tidak bisa memeriksa satu per satu kendaraan yang masuk ke wilayah kita. Padahal dalam situasi saat ini dibutuhkan pengawasan ekstra," kata Mursil kepada Serambi, Senin (6/4/2020).
Kendala lebih serius dialami ketika pemerintah daerah berupaya membentengi kawasan pesisir dari pendatang ilegal. Kebijakan Kerajaan Malaysia yang menerapkan lokcdown berimbas pada banyaknya TKI pulang ke Tanah Air melalui perairan Aceh Tamiang. Pihaknya mengaku sulit melakukan pengawasan karena kawasan pesisir memiliki banyak jalur tikus.
"Setiap hari ada puluhan orang yang pulang dari luar negeri melalui pesisir kita. Ini tidak terawasi karena memang begitu banyak jalur tikur di situ," beber Mursil.
Mursil berharap Pemerintah Aceh memberikan perhatian khusus kepada daerahnya, karena dalam kasus penyebaran virus Corona, Aceh Tamiang berperan sebagai benteng pertama menghalau masuknya virus mematikan tersebut. Pemerintah Aceh lanjut dia, seharusnya ikut mendirikan posko pengendalian dan pencegahan di Aceh Tamiang. "Yang masuk melalui pesisir bukan semuanya warga Tamiang, ada warga dari daerah lain yang ikut menggunakan jalur ini untuk pulang ke daerahnya," jelas Mursil.
Ratusan pendatang
Sementara itu, Camat Bandamulia, Aceh Tamiang, Muhammad Farij, mengungkapkan, saat ini ada 120 orang pendatang dari berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri yang sedang diawasi. Jumlah ini bisa saja bertambah mengingat data tersebut baru menyentuh enam kampung dari keseluruhan sepuluh kampung.
"Saya sudah meminta datok penghulu untuk mendata pendatang. Tapi sampai hari ini baru enam kampung yang ada laporan. Ini akan terus kami update," sebut Farij.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ke-120 pendatang ini bukan hanya warga yang berstatus TKI dari Malaysia, tapi ada juga pelajar atau mahasiswa yang menempuh pendidikan di Jawa dan Bali. Bahkan salah satu yang sedang diawasi merupakan WNI yang baru pulang dari Pantai Gading. "Ada satu yang dari negara Pantai Gading di Afrika. Suhu tubunya sudah diukur, Alhamdulillah normal," lanjutnya.
Farij menjelaskan, tidak semua pendatang masuk ke Bandamulia melalui jalur tikus. Dari laporan yang diterimanya, beberapa orang yang sedang diawasi itu datang melalui Medan, khususnya yang berstatur pelajar dan mahasiswa. "Yang TKI ada juga melalui Tanjungbalai, Sumatera Utara. Begitu tiba di sini, langsung dilakukan pendampingan oleh tim kesehatan Puskesmas," terangnya.
Saat ini dia menambahkan, seluruh kampung di Bandamulia sudah menerapkan Kampung Siaga Covid-19. Program ini bertujuan memberikan edukasi kepada masyarakat dan memberikan fasilitas kesehatan menggunakan Dana Desa sebesar Rp 50 juta.
1.520 Orang
Terpisah, Jurubicara Tim Gugus Percepatan Penanganan Covid-19 Aceh Utara, Zulfitri MKes, mengungkapkan, hasil pendataan pihaknya didapatkan data jumlah warga Aceh perantauan yang telah tiba di Aceh Utara hingga Minggu (5/4/2020) sudah mencapai 1.520 orang.
Warga Aceh perantauan tersebut sebagian besar merupakan para TKI di Malaysia dan juga sejumlah kota besar di Tanah Air. Sisanya adalah para mahasiswa juga yang kuliah di luar negeri dan di kampus ternama luar Aceh.
Sebagian pulang ke Aceh Utara melalui jalur darat dengan menggunakan traportasi mobil. Sementara sebagian lagi menggunakan pesawat yang mendarat di Bandara Malikussaleh. Ia memperkirakan, jumlah warga Aceh perantauan yang akan tiba akan terus bertambah, selain banyak kampus yang tutup, dan banyak negara yang sudah menerapkan lockdown, juga karena tak lama lagi memasuki bulan Ramadhan.
“Warga terdata dari luar daerah dan luar negeri 1.520 orang. Dari jumlah itu, 95 di antaranya masuk orang dalam pemantauan (ODP), 43 orang sudah selesai dan 52 orang dalam pemantauan,” sebut Zulfitri.
Sedangkan pasien dalam pengawasan (PDP) masih belum ada penambahan. Zulfitri menyebut, PDP tidak ada bertambah karena dua pasien sebelumnya, yakni dari dari Aceh Tamiang dan Aceh Utara sudah dinyatakan sembuh dan sudah diizinkan pulang.
Shelter untuk ODP
Pemkab Aceh Utara saat ini juga tengah menyiapkan barak atau shelter eks imigran Rohingya di Blang Adoe, Kecamatan Kuta Makmur, sebagai tempat karantina untuk para ODP Corona. Proses perbaikan shelter dilakukan Pemkab bekerja sama dengan TNI dan Polri.
“Kondisinya sudah siap, dan bisa dioperasikan untuk tempat karantina ODP yang ada di Aceh Utara,” kata Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Wabah Covid-19, Andree Prayuda SSTP MAP.
Wakil Bupati Aceh Utara, Fauzi Yusuf, kemarin melakukan peninjauan secara menyeluruh untuk mengecek semua fasilitas dan prasarana yang telah disiapkan di shelter. “Kami apresiasi terhadap TNI dan Polri, serta pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian shelter ini sehingga bisa diselesaikan dalam waktu yang cepat,” kata Fauzi Yusuf.
Komandan Kodim 0103/Aceh Utara Letkol Agung Sukoco mengatakan siapa saja yang baru pulang dari daerah pandemik Covid-19 harus dikarantina selama 14 hari secara mandiri di rumah masing-masing. “Akan tetapi kondisi ekonomi masyarakat saat ini tidak memungkinkan untuk diterapkan seperti protap tersebut. Oleh karenanya, Forkopimda serta Tim Gugus Aceh Utara berinisiatif untuk membentuk ruang karantina,” tegasnya.
Sementara Kapolres Lhokseumawe AKBP Ari Lasta Irawan SIK, mengapresiasi tindaklanjut Pemkab Aceh Utara dalam pencegahan penyebaran Covid-19 ini dengan adanya barak karantina. “Sangat dibutuhkan peran serta semua elemen masyarakat dalam pencegahan dengan melaporkan kepada Posko yang telah dibentuk di setiap gampong untuk diambil langkah berikutnya,” ujar Ari Lasta Irawan.
Kabupaten Aceh Tamiang membutuhkan sedikitnya 1.000 unit rapid test untuk memastikan kondisi seluruh pendatang bebas dari virus Corona, khususnya yang masuk melalui kawasan pesisir. Hingga saat ini, gelombang kedatangan pendatang dari kawasan pesisir terus terjadi.
"Setiap hari ada puluhan TKI yang masuk melalui perairan Aceh Tamiang. Ini sangat beresiko mendatangkan virus Corona," kata Bupati Aceh Tamiang, H Mursil, kepada Serambi, Senin (6/4/2020).
Gelombang kepulangan TKI ini merupakan dampak langsung atas penerapan lockdown di Malaysia. Mursil menyebut TKI yang menggunakan jalur pesisir bukan hanya warga Aceh Tamiang, tapi juga berasal dari berbagai daerah lainnya termasuk Sumatera Utara. Stok 60 unit rapid test yang dimiliki saat ini ia katakan belum bisa mendukung pengawasan tersebut.
"Jadi pesisir kita ini memang sudah dijadikan pintu utama oleh TKI dari berbagai daerah. Normalnya satu per satu harus diperiksa, tapi sekali lagi kita tidak memiliki anggaran," tambah Bupati.
Keterbatasan anggaran ini membuat Pemkab hanya bisa mengimbau warga yang terdata memiliki riwayat perjalanan dari luar negeri untuk melakukan isolasi mandiri. Diakuinya kebijakan ini kurang efektif karena rentan dilanggar.
Dia khawatir bila pola pengawasan ini tidak diubah akan menciptakan bom waktu. Menurut Bupati Aceh Tamiang ini, risiko satu kampung tertular Covid berpotensi besar terjadi karena tingkat kesadaran warga untuk memeriksakan kesehatannya sangat rendah. "Tidak semua warga memiliki pandangan serupa tentang kesehatan, yang kita khawatirkan hanya karena satu orang malas berobat, ternyata sudah positif Corona," cetusnya.
Skenario terbaik menurut Mursil, pengawasan ini dilakukan menggunakan rapid test. Selain itu, dia berharap Pemerintah Aceh bersedia mendirikan ruang isolasi khusus di Aceh Tamiang sebagai antisipasi terburuk virus Corona.
Pesan rapid test
Kepala Dinas Kesehatan, dr Hanif kepada Serambi kemarin mengatakan, Pemerintah Aceh saat ini sudah memesan alat rapid test sebanyak 30.000 unit untuk dipakai tes massal Covid-19 di Aceh. Namun, Hanif mengatakan, saat ini vendor belum mampu menyediakan barang karena permintaan terelalu banyak.
"Sudah kita pesan sebanyak 30 ribu unit. Itu untuk Aceh semuanya. Tapi saat ini belum ada barang, sudah kita pesan ke distributor, kita tunggu saja. Itu nanti untuk dipakai tes massal di Aceh," kata Hanif.
Saat ini, kata dia, Pemerintah Aceh hanya ada sekitar 2.400 rapid test dan sudah didistribusikan ke seluruh fasilitas kesehatan di Aceh, mulai Puskesmas, rumah sakit, fasilitas kesehatan lainnya. Tapi, unit yang sudah ada itu tidak digunakan untuk tes massal, hanya untuk screning setiap pasien yang datang dan dicurigai atau suspect corona.
"Hanya 2.400 kita ada (rapid test) dan sudah kita bagikan ke fasilitas kesehatan. Setiap rumah sakit dan fasilitas kesehatan jumlah yang didapat berbeda, ada yang 100, 80, 50, dan sebagainya. Itu bukan untuk massal, hanya untuk screning saja, jika menunjukkan positif tentu akan kita cek labarotorium atau swab kembali," katanya.
Hanif menjelaskan, pemeriksaan melalui rapid test cukup sederhana seperti alat cek glukosa dalam tubuh. Namun melalui rapid test, pengecekan yang dilakukan belum tentu akurat. "Ini hanya tes awal saja, tes akuratnya tetap dengan laboratorium atau swab, dan rapid test ini sekali pakai langsung dibuang," demikian Hanif.
Anggota DPRA, dr Purnama Setia Budi, menilai keberadaan tempat karantina di daerah perbatasan yang menjadi pintu masuk ke Aceh sangatlah penting. Terutama di Aceh Tamiang yang menjadi pintu masuk jalur darat dan laut.
“Sangat penting ada tempat karantina yang khusus menampung para pendatang dari wilayah zona merah atau terinfeksi Covid-19,” kata politisi PKS yang juga dokter ini kepada Serambi, Senin (6/4/2020).
Kondisi Aceh hari ini, lanjut Purnama, memang jumlah kasus PDP (pasien dalam pengawasan) terjadi penurunan. Tetapi jumlah ODP (orang dalam pemantauan) terus mengalami kenaikan. “Ini artinya banyak kasus pendatang dari luar Aceh,” imbuhnya.
Karena itu, keberadaan tempat karantina bagi mereka yang baru tiba di Aceh sudah sangat mendesak, dan untuk itu Pemerintah Aceh harus menyiapkan rapid test massal kepada para ODP. “Kita tidak bisa hanya menunggu, harus menjemput bola untuk mendapatkan rapid test tersebut,” tambahnya.
Persoalan pengawasan di pintu masuk daerah perbatasan ini ia harapkan bisa menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh, karena meski masyarakatnya telah disiplin menerapkan social distancing dan physical distancing, tetapi jika orang yang masuk tidak diawasi, dikhawatirkan nantinya Aceh akan kecolongan.
Pemprov Harus Turun Tangan
Anggota DPRA dari Fraksi PAN, Asrizal H Asnawi juga sependapat bahwa tempat karantina sangat diperlukan di Aceh Tamiang, karena kabupaten ini merupakan pintu masuk ke Aceh dari Sumatera Utara (Sumut). "Tamiang bukan hanya batas darat dengan Sumut tapi juga batas Selat Malaka dengan Malaysia,” katanya.
Apabila Pemkab Aceh Tamiang tidak sanggup membangunnya, maka pemerintah provinsi harus turun tangan segera karena ini sifatnya mendesak. “Untuk masalah pendirian tempat karantina ini, rasanya provinsi harus turun tangan mengingat kasus Covid-19 ini masalah nasional," ujar politisi dari daerah pemilihan Aceh Tamiang dan Langsa ini.
Atau opsi lainnya adalah dengan memanfaatkan gedung yang ada sebagai tempat karantina. Pemerintah tinggal menyiapkan segala fasilitas yang dibutuhkan. “Jadi tak perlu membangun lagi, tinggal cukupi fasilitasnya," imbuh Asrizal.
Ia kembali menegaskan pentingnya tempat karantina di perbatasan untuk mencegah penyebaran virus Corona. "Saya kira akan lebih baik kita untuk bersiap-siap dengan segala kemungkinan," tambah Asrizal.
Dia juga mengajak semua masyarakat Aceh untuk berdoa kepada Allah, semoga wabah pandemi ini cepat berlalu. Selain itu, ia juga berharap masyarakat terus berusaha menjaga lingkungan agar virus ini cepat menghilang.
"Siapa yang bisa menahan kepulangan saudara-saudara kita dari Malaysia? Saya kira lebih arif kita menyediakan saja tempat penampungan, dan lagi mereka juga nggak pulang jika tidak resmi," tambahnya.
Asrizal mengaku akan menyampaikan langsung perihal ini kepada ke Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. "Iya, pasti. Cuma saya kira saat ini pak Plt sudah sangat paham, kecuali hal-hal kecil pasti saya sampaikan langsung ke beliau, contoh terkait jam malam beberapa waktu lalu, saya ada menyampaikan saran dan masukan ke beliau," pungkas Asrizal. (mad/jaf/dan/mas)