Corona Serang Dunia
COVID-19 Serang Sistem Saraf dan Otak, Pasien Kebingungan di Rumah sakit
Virus Corona, COVID-19 dengan penyebaran telah meluas di seluruh dunia, mulai menyerang otak dan sistem saraf manusia.
SERAMBINEWS.COM, NEW YORK – Virus Corona, COVID-19 dengan penyebaran telah meluas di seluruh dunia, mulai menyerang otak dan sistem saraf manusia.
Gejala itu muncul di antara pasien COVID-19 yang tiba di rumah sakit New York AS, selain demam, batuk dan sesak napas, beberapa di antaranya sangat bingung.
Bahkan, sampai-sampai tidak tahu di mana mereka berada, bahkan tahun berapa itu.
Kadang-kadang, gejala ini terkait kadar oksigen yang rendah dalam darah, tetapi pada pasien tertentu kebingungan, tampaknya tidak proporsional dengan paru-paru mereka.
• Ambil Pelajaran dari Wabah Mers, Ini Cara Korea Selatan Sukses Tangani Corona dalam Waktu Singkat
Jennifer Frontera, seorang ahli saraf di rumah sakit NYU Langone Brooklyn yang melihat pasien-pasien ini kepada AFP, Sabtu (18/4/2020) mengatakan temuan itu meningkatkan kekhawatiran tentang dampak virus Corona pada otak dan sistem saraf.
Pada saat ini, sebagian besar orang sudah mengenal tanda pernapasan penyakit COVID-19 yang telah menginfeksi lebih dari 2,2 juta orang di seluruh dunia.
Tetapi tanda-tanda yang lebih tidak biasa muncul dalam laporan baru para pejuang garis depan.
Sebuah studi yang diterbitkan di Journal of American Medical Association pekan lalu menemukan 36,4 persen dari 214 pasien Cina memiliki gejala neurologis.
Mulai dari kehilangan penciuman atau bau sampai merasa nyeri saraf, hingga kejang-kejang dan stroke.
Sebuah makalah di New England Journal of Medicine pekan ini memeriksa 58 pasien di Strasbourg, Perancis menemukan lebih dari setengahnya bingung atau gelisah, dengan dugaan otak mengalami peradangan.
"Anda telah mendengar bahwa ini adalah masalah pernapasan, tetapi juga mempengaruhi apa yang paling kita pedulikan, otak," kata Andrew Josephson, Ketua Departemen Neurologi di University of California, San Francisco kepada AFP, Sabtu (18/4/2020).
"Jika Anda menjadi bingung, jika Anda memiliki masalah dalam berpikir, itu sudah cukup untuk Anda datang ke rumah sakit dan mendapat perhatian tim medis," tambahnya.
"Mantra lama 'Jangan datang kecuali kamu kehabisan napas' mungkin tidak berlaku lagi."
Tidak sepenuhnya mengejutkan bagi para ilmuwan, bahwa SARS-CoV-2 dapat berdampak pada otak dan sistem saraf, karena telah terkontaminasi dengan virus lain, termasuk HIV, yang dapat menyebabkan penurunan kognitif jika tidak diobati.
Virus mempengaruhi otak dengan satu atau dua pola, jelas Michel Toledano, seorang ahli saraf di Mayo Clinic, Minnesota, AS.
Salah satunya dengan memicu respon imun abnormal yang dikenal sebagai badai sitokin yang menyebabkan peradangan otak yang disebut autoimun ensefalitis.
Yang kedua adalah infeksi langsung pada otak, yang disebut ensefalitis virus.
• Fujifilm Ujicoba Obat Anti Virus Corona di AS, Italia dan Jepang
Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Otak dilindungi oleh sesuatu yang disebut penghalang darah-otak, yang menghalangi zat asing, tetapi bisa dilanggar jika dikompromikan.
Namun, karena kehilangan penciuman adalah gejala umum dari virus Corona, beberapa orang berpendapat bahwa hidung mungkin menjadi jalan menuju otak.
Hal ini tetap tidak terbukti dan teorinya dibantah oleh fakta , banyak pasien yang mengalami anosmia tidak mengalami gejala neurologis yang parah.
Dalam kasus virus Corona, dokter percaya dampak neurologis lebih cenderung dari hasil respon imun yang terlalu aktif daripada invasi otak.
Untuk membuktikan yang terakhir bahkan terjadi, virus harus dideteksi dalam serebrospinal, cairan yang sangat penting dalam melindungi otak
Hal ini telah didokumentasikan sekali, pada seorang pria Jepang berusia 24 tahun yang kasusnya diterbitkan dalam International Journal of Infectious Disease.
Pria itu mengalami kebingungan dan kejang, dan mengalami peradangan di otak.
Tetapi karena ini adalah satu-satunya kasus yang diketahui sejauh ini, dan tes virus belum divalidasi untuk cairan tulang belakang, para ilmuwan tetap berhati-hati.
Semua ini menekankan perlunya penelitian lebih lanjut.
Frontera, yang juga seorang profesor di NYU School of Medicine, adalah bagian dari proyek penelitian kolaboratif internasional untuk membakukan pengumpulan data.
Timnya mendokumentasikan kasus-kasus mencolok termasuk kejang-kejang pada pasien COVID-19 yang tidak memiliki riwayat episode sebelumnya, dan pola baru pendarahan di otak kecil.
Satu penemuan mengejutkan menyangkut kasus seorang pria berusia lima puluhan tahun, tampak putih di bagian otak yang menghubungkan sel-sel otak satu sama lain .
“Pada dasarnya,hal itu akan membuat kerusakan otak semakin parah," katanya.
Tetapi, para dokter masih bingung dan ingin mengambil cairan tulang belakangnya untuk sampel.
• Jadi Momok Pandemi Corona, Vape Meningkatkan Infeksi Hingga Menyebarkan Virus Lewat Asap
Pencitraan otak dan keran tulang belakang sulit dilakukan pada pasien yang menggunakan ventilator, apalagi banyak meninggal, sehingga cedera neurologis sepenuhnya belum diketahui.
Tetapi para ahli saraf dipanggil untuk sebagian kecil pasien yang bertahan hidup dengan ventilator.
"Kami melihat banyak pasien yang datang berkonsultasi dalam keadaan kebingungan," kata Rohan Arora, ahli saraf di rumah sakit Long Island Jewish Forest Hills kepada AFP.
Dia menggambarkan lebih dari 40 persen pasien virus yang pulih dan sebagian di antaranya sudah mengalami kebingungan.
Belum diketahui apakah gangguan tersebut bersifat jangka panjang, dan berada di ICU itu sendiri bisa menjadi pengalaman yang membingungkan karena faktor-faktor lain, termasuk obat berdosis tinggi.
Tetapi para pasien Corona yang telah sembuh untuk kembali normal, tampaknya membutuhkan waktu lebih lama daripada orang yang menderita gagal jantung atau stroke, tutup Arora.(*)