Teuku Afeed, Kandidat Doktor Seni, Tunda Disertasi karena Objek Penelitiannya Agus PM Toh di Jakarta
Sedianya gelar doktor sudah harus disandangnya, tapi karena pandemi Covid melanda dunia, terpaksa harus tertunda sementara waktu.
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Mursal Ismail
Sedianya gelar doktor sudah harus disandangnya, tapi karena pandemi Covid melanda dunia, terpaksa harus tertunda sementara waktu.
Laporan Fikar W Eda | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Seniman Aceh yang juga kandidat doktor seni, T Afifuddin harus menunda penelitian disertasi doktoralnya.
Pasalnya, objek material penelitiannya berada di wilayah zona merah pandemi Covid-19, yakni Jakarta.
"Saya pending dulu, menunggu Covid reda. Sebab materialnya ada di zona merah," kata pria yang akrab dipanggil Teuku Afeed ini.
Afeed, sedang menempuh program doktor bidang seni di Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Sedianya gelar doktor sudah harus disandangnya, tapi karena pandemi Covid melanda dunia, terpaksa harus tertunda sementara waktu.
• Beruang Jarah Kelapa, Alasan Warga Aceh Singkil Menangkapnya
Afeed melakukan penelitian tentang perubahan penyajian hikayat Aceh dalam Teater Tutur, salah satu objek penelitian adalah pendongeng asal Aceh, Agus Nur Amal.
Pendongeng yang dikenal Agus PM Toh ini berada di Jakarta, alias zona merah.
"Metode pengumpulan datanya observasi, jadi tidak bisa dilakukan karena Pandemi.
Kalau sekadar wawancara barangkali bisa dilakukan secara online, tapi ini harus melakukan observasi mendalam," ujarnya, pengajar dramaturg teater, aktor teater tutur dan film maker, di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh ini.
Selain menunda penelitian disertasinya, Covid-19 juga menghentikan sejumlah pekerjaan Afeed di luar rumah.
Di antaranya produksi paket siaran TV untuk stasiun TV Nasional siaran lokal Aceh.
• Penyaluran BLT Dana Desa di Lhokseumawe Terhambat, Ini Penjelasan Kepala DPMG
"Dari 15 episode, sebagian menanti wabah mereda," ujar Afeed.
Tapi sebagai kreator dan manusia kreatif, tentu saja Afeed tidak harus berdiam diri.
Ia menciptakan beberapa rekaman fragmen yang ia mainkan dibantu sang istri dan anaknya.
Seluruh adegan ia rekam dengan kamera handphone. Fragmen tersebut bergenre komedi durasi 30 detik sampai 3 menit.
Hasilnya disebarkan melalui media sosial. Respon penonton luar biasa. Penelusuran di media sosial, ada ribuan mata yang menyaksikan frgmen komedi Teuku Afifuddin itu.
• THR PNS di Subulussalam Kemungkinan Ditunda, Kepala BPKD: Dicairkan Juni
Salah satu fragmennya, membantu istri memasak "sambil mengukur kelapa secara manual menggunakan 'geulungku' memberi kampanye untuk di rumah aja daripada di warkop dengan narasi;
"Genk! Kalau disuruh di rumah, ya di rumah aja genk, jangan batat kali.
Apalagi kalau di suruh ma bini, habis kau genk.. habis..." Dengan mimik hampir menangis. Sangat khas Aceh logatnya.
"Covid ini membuat orang ketakutan. Tugas senimanlah menghadirkan senyuman di tengah pandemi," katanya tentang fragmen-fragmen komedi itu.
"Alhamdulillah sudah ribuan orang yang menonton, artinya ada ribuan kebahagian yang terbagi.
Sebagai seniman dan akademisi, saya tidak mampu membantu banyak secara materi selama wabah ini, maka dengan berbagi tawa harapannya bisa mengurangi kecemasan banyak orang," lanjutnya.
Ada juga fragmen edisi berhikayat sebelum tidur untuk anak dengan gaya teater tutur yang tetap dikemas komedi.
Ia ingin menyampaikan bahwa banyak hal yang bisa dilakukan di rumah, sebagai seorang suami bisa membantu istri memasak, membersihkan rumah bahkan mendongeng untuk anak.
Ini mungkin yang selama ini kurang dilakukan.
Ia menyarankan, Pemerintah seharusnya mengajak para seniman untuk berbagi karya dari rumah sebagai media kampanye saat Covid-19 ini.
"Karena ini dapat juga membantu perekonomian para seniman yang sampai saat ini belum ada konsep untuk penanganan seniman yang terdampak dari Covid-19," ujarnya setengah mengeluh.
Selama di rumah juga, Afid juga menulis puisi tentang Covid-19 yang publis di media online cakradonya.com bersama penyair lainnya yang ikut partisipasi dalam kampanye Covid-19 melalui puisi.
"Aku pikir, dalam kondisi ini, seniman adalah yang paling kuat secara psikologi menghadapinya. Maka, memberdayakan seniman dalam kampanye psikologi melalui karya seni adalah langkah yang tepat," tambahnya.
Teuku Afeed terbilang seniman sangat produktif. Mulai menulis puisi sejak menjadi mahasiswa FKIP Sendratasik Unsyiah.
Puisi karyanya ditempelkan di dinding kampus. Semasa kuliah di Unsyiah aktif di UKM Teater NOL dan Teater MATA.
Pemeran Khep pada naskah “JEEH!” Karya Almarhum Maskirbi. Pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Kesenian Aceh pada tahun 2007.
Tahun 2007 mendesign 10 sampul buku karya sastra terbitan Aliansi Sastrawan Aceh.
Terlibat sebagai Tim Pendiri Institut Seni dan Budaya Indonesia Aceh (ISBI ACEH). Pencinta tradisi yang mampu menabuh rapa’i, dan lihai menepuk bantal didong juga berhikayat.
Editor Film Dokumenter di antaranya The Tsunami Song, Silent After War, Musik Tanpa Bunyi dan beberapa FTV. Film Dokumenter Karya editingnya “The Tsunami Song” menerima penghargaan terbaik Festival Film Dokumenter-Jogja 2005.
Film dokumenter pendek pertamanya “Pujangga Tanpa Pikir (Adnan PM TOH)” menjadi film terbaik II Pekan Seni Mahasiswa-Lampung 2004.
Konsen pada teater tutur dengan metode penyampaian hikayat Aceh dari konsepsi Teungku Adnan PMTOH.
Aktif melakukan pertunjukan teater tutur di Aceh dan di luar Aceh.
Pertunjukan teater tuturnya diantara lain; Imitation (2015), Pertunjukan Adnan PMTOH Mencipta Bersama Masyarakat-Ujian Akhir Penciptaan Doktor Seni ISI Surakarta (Aceh,2016), Hikayat Sepatu (Banda Aceh, 2018), Hikayat Sepatu pada Festival Internasional Candi Sukuh (Solo,2019).
Beberapa puisi karyanya masuk Antologi puisi; “Secangkir Kopi”, “Aceh 5:03 6,4 SR”, dan beberapa media online dan cetak. Teuku Affed memang tidak pernah bisa diam. (*)