Mustafa Ismail, Seniman Aceh Kedua Raih Magister dari IKJ, Gagas "Nunggu Beduk" Jelang Berbuka
Penyair Mustafa Ismail menggagas dan mengelola acara "Nunggu Beduk" dengan narasumber "orang-orang biasa." ...
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Jalimin
"Cuma setelah Ramadhan nanti mungkin waktunya tidak lagi sore, tapi malam, pukul 20.00-20.45. Durasinya 45 menit, nama acara juga bukan lagi Nunggu Beduk."
• Polisi Gadungan Tipu 2 Anak SMP, Bawa Korban dengan Sepeda Motor, Kedoknya Malah Terbongkar
Figur yang diajak berbincang itu --adalah orang-orang biasa yang mengajak merenung dan merefleksikan hidup. Mereka bisa menjadi cermin sisi lain wajah Indonesia. Mereka bukan selebritas, bukan tokoh dan bukan dari keluarga tokoh.
"Mereka orang-orang di sekitar kita, bahkan tetangga kita, yang mungkin kita sendiri tak menyadari kehadirannya," ujar Mustafa.
Selain "Nunggu Beduk" Mustafa Ismail juga menggagas pentas sastra onlibe bertajuk #puisidirumahsaja.
Kegiatan mengisi masa pandemi Covid-19 ini digelar setiap akhir pekan --Sabtu atau Ahad malam– menampilkan pembacaan puisi oleh sejumlah sastrawan dan pegiat sastra dari berbagai daerah di Indonesia.
Mereka datang dari pulau Jawa, Sumatera, Aceh, hingga Pulau Bali. Sebagian dari mereka adalah nama-nama yang cukup akrab dengan publik sastra Indonesia, seperti LK Ara, Din Saja, Zaim Rofiqi, Mahwi Air Tawar, Iwan Kurniawan, Sudiyanto, Aflaha Rizal, Tora Kundera, dan lain-lain.
Pembacaan puisi dilakukan di akun Instagram masing-masing penyair secara bergantian. Kegiatan itu diorganisir oleh Imaji Indonesia dan Infosastra, lembaga yang didirikan oleh Mustafa. Semua penonton dan pembaca mengikuti informasi lalu lintas pembacaan di akun Instagram @infosastra.
Mustafa Ismail, memanglah penyair yang tidak pernah tinggal diam. Ia selalu tergerak mengisi ruang-ruang kreatif. Merancang banyak acara, menerbitkan buku, menjadi editor, memandu pelatihan, menjadi redaktur seni Koran Tempo, dan juga menempuh jenjang pendidikan sampai S2.
Musata Ismail, lahir di Trienggadeng, Pidie Jaya, 25 Agustus 1971. Dia adalah orang Aceh kedua yang meraih gelar magister seni dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan IPK 3,6. Mustafa tercatat dalam angkatan III Program Pascasarana IKJ 2010-2012.
Sementara S1 ia raih dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIEI) Lamlagang Banda Aceh, jurusan Manajemen Keuangan dan Perbankan.
Sebagai penyair, Mustafa melahirkan banyak puisi, sebahagian terhimpun dalam kumpulan puisi tunggalnya, "Tarian Cermin" (2007) dan "Tuhan, Kunang-kunang dan 45 Kesunyian," (2016) serta di banyak buku puisi bersama lainnya.
• Disdukcapil Aceh Tengah Lakukan Pendataan Dokumen Kependudukan Korban Banjir Bandang
"Tarian Cermin" diterbitkan oleh Aliansi Sastrawan Aceh dengan BRR NAD tahun 2007, menghimpun 99 sajak Mustafa Ismail sejak 1993 hingga 2003,
Buku tersebut berisi puisi-puisi awal kepenyairannya, dapat dikelompokan ke dalam tiga periode, dan masing-masing periode memperlihatkan tema-tema yang menonjol. Pertama, periode 1993-1996 yaitu ketika penyair masih berdomisili di daerah asal. Kedua, periode 1997-1998, sewaktu penyair mulai menetap di Jakarta sebagai jurnalis. Ketiga, periode 2000-2003, tatkala penyair (tentunya) sudah beradaptasi dengan rantau atau Ibu Kota.
Hijrah ke Jakarta, awalnya ikut forum "Mimbar Penyair Abad 21" pada 1996 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Mustafa mewakili Provinsi Aceh. Ketika forum selesai, Mustafa memilih tidak pulang lagi ke Aceh. Ia menetap di Jakarta.