Seniman Berkarya
Kisah Murtala-Alfira, Seniman Aceh di Australia yang Buka Kelas Tari Ratoh Duek Virtual
Kita harus juga melihat bahwa salah satu fungsi kesenian di masa pademik ini, kesenian dapat menjadi alat untuk penanganan trauma
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Ansari Hasyim
Sebagai anak rantau di Australia, Mirtala juga ikut cemas dengan nasib kawan-kawan seniman di Aceh.
"Awal-awal Covid ini kita 'meuphep-phep' terus di sosial media terkait dengan virus Corona, tapi kan ngak mungkin kita 'meuphep-phep terus tanpa ada pergerakan, " kata Murtala.
Lalu bersama dua teman Aceh yang juga menetap di Australia, Raihana Diani (Melbourne) dan Munawar/Ajes (Sydney) mereka menggarap kegiatan "Piasan Makmeugang" (meugang puasa) untuk membantu perempuan kepala keluarga di Aceh.
"Semua rapat, diskusi terkait kegiatan ini kita lakukan melalui chat WhatsApp dan video call, teknisnya kita meminta kawan-kawan seniman untuk mengirimkan video pertunjukkan dan kemudian kita post di Facebooknya Raihana Diani. Bahkan beberapa seniman-seniman Australia ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini," ujar Murtala.
Melihat antusias dari kegiatan ini, menjelang lebaran mereka kembali membuat "Piasan Makmeugang II" dan dari kedua kegiatan itu dapat mengumpulkan dana kurang lebih Rp 35 juta.
Di masa pademik ini Murtala cukup aktif bersilaturahmi dan berkomunikasi dengan kawan-kawan seniman Aceh khusunya kawan-kawan sanggar.
Bertepatan dengan peringatan hari tari dunia, Murtala membuat proyek video Rapai Geleng bersama para seniman dsri Sanggar Buana, Nurul Alam, Lempia, Geunaseh, Cut Nyak Dhien, Cit Ka Geunta, Pusaka nanggroe ditambah Fikar (seniman Ratoh Jaroe Jakarta).
"Setelah project ini, komunikasi semakin aktif banyak masukan-masukan untuk tidak hanya membangun semangat kreatifitas tapi bisa menghidupkan ekonomi seniman, karena seniman juga salah satu profesi yang sangat terdampak dari pendemik ini," lanjut Murtala.
Menurutnya seniman di Aceh potensi dan kreatifitasnya luar biasa, jadi di masa pandemik butuh ruang-ruang kreativitas dan juga bisa menambah pendapatan ekonomi, karena seniman itu hidup dan menghidupi kesenian.
Lalu muncul ide membuat "Aceh Musik Etnik Festival" juga secara virtual. Modal awalnya dari kantong pribadi Murtala. Belakangan kegiatan ini dibantu oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.
Dari Festival virtual ini ia berharap dapat merangsang seniman sebagai individual dan Pemerintah Aceh mendukung dan membuat event-event virtual dan pelatihan-pelatihan virtual untuk seniman-seniman di Aceh.
"Kita harus juga melihat bahwa salah satu fungsi kesenian di masa pademik ini, kesenian dapat menjadi alat untuk penanganan trauma," sarannya.
Murtala juga melakukan komunikasi dengan Kepala Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh-Sumut Irini Dewi Wanti, dan muncul ide membuat "Festival Takbiran di Rumah Saja" dengan dukungan BPNB Aceh. Hasil festival ini akan diumumkan tanggal 28 Mei nanti.
Pandemik memang tidak membuat Murtala terkungkung. Ia mencoba menyibukkan diri dengan hal-hal positif, membangun komunikasi, membuat proyek-proyek video kolaborasi, berdiskusi dan mencari ide-ide yang bisa dilaksanakan secara virtual. Intinya terus mengkampanyekan kebaikan melalui kesenian tentunya.
"Kita juga sadar bahwa mungkin sebagian masyarakat sudah bosan, marah dan bahkan sudah tidak peduli lagi dengan Covid 19 ini, namun sebagai seniman, kita akan selalu mengkampanyekan kebaikan-kebaikan di masa covid ini, tentu untuk kebaikan kita semua. Saya percaya kita bisa melawan Corona ini dengan kreatifitas," katanya.
Murtala belajar tari tradisional Aceh sejak umur 12 tahun di Sanggar Mandaya Banda Aceh. Tamat SMA, tahun 1998 melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang jurusan tari.