Seniman Berkarya
Kisah Murtala-Alfira, Seniman Aceh di Australia yang Buka Kelas Tari Ratoh Duek Virtual
Kita harus juga melihat bahwa salah satu fungsi kesenian di masa pademik ini, kesenian dapat menjadi alat untuk penanganan trauma
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Ansari Hasyim
Lapiran Fikar W Eda I Jakarta
SERAMBINEWS.COM,JAKARTA - Sebuah kelas online yang mengajarkan Tari Ratoh Duek dibuka di Australia, muridnya-muridnya berasal dari Jepang, Jerman, Perancis, Indonesia dan seniman Australia.
Ide membuka kelas tari Aceh secara virtual merupakan salah satu bentuk penyesuaian kreativitas seniman di tengah pandemi Covid 19 yang juga melanda Australia.
Adalah seniman pasangan suami istri, Murtala dan Alfira O’Sullivan yang mengelola sanggar Suara Indonesia Dance, berpusat di Australia, yang membuka kelas tari virtual itu.
"Dengan memanfaatkan fasilitas teknologi, pandemi Covid 19 ini, kita benar-benar bisa mendekatkan yang jauh," kata Murtala, yang menjadi koreografer dan pengajar tari Aceh di Suara Indonesia Dance, melalui percakapan WhatsApp.
Murtala lahir di Banda Aceh, 1 Desember 1978. Sejak 2010 hingga sekarang tinggal dan menetap di Sydney-Australia. Di negeri kangguru itu, Murtala aktif melakukan pengajaran, pertunjukkan dan menggelar event-event budaya.
• Ternyata Amerika Sembunyikan Senjata Kiamat, Akan Dikeluarkan Jika Perang Dunia III Terjadi
• Target 24 Mei Selesai, Hingga Hari Ini 32 Desa di Aceh Jaya belum Salurkan BLT
• Via Vallen Ceritakan Adiknya Positif Corona, Tak Puas Hasil Rapid Test hingga Lakukan Tes Swab
Selain itu ia juga bekerja sebagai guru bantu di Scott's Head Public School untuk Indonesian Creative Arts. Saat ini juga terdaftar sebagai mahasiswa S2 ISI Surakarta program studi penciptaan seni.
Ketika Australia memberlakukan pembatasan sosial akibat pandemi Covid, Murtala dan Alvira --keduanya menikah pada 15 April 2014-- memilih mengurung diri di rumah kediaman mereka di Stuart Point yang berjarak 5 jam dari Sydney.
"Kami mengurung diri (self isolation) dua minggu. Saat-saat mengurung diri, saya dan Alfira banyak berdiskusi dan merancang apa yang bisa dilakukan di masa pandemik ini," cerita Murtala.
Salah satunya, adalah ide membuka kelas tari Aceh secara virtual dan membuat proyek video Tari Ratoh Duek ditarikan oleh 27 penari berasal dari lima negara.
Video ini kemudian digunakan untuk promosikan kegiatan-kegiatan Suara Indonesia Dance, seperti penggalangan dana untuk para seniman yang terdampak pandemi Covid 19.
Alfira yang juga direktur artistik Suara Indonesia terus berusaha sampai sekarang memindahkan semua kegiatan Suara Indonesia menjadi kegiatan virtual.
Di luar itu Suara Indonesia juga melaksanakan penggalangan dana dengan workshop Ratoh Duek.
Sekarang Suara Indonesia telah memiliki 3 kelas tari Aceh secara virtual, satu kelas tari Indonesia ditambah latihan rutin dan belajar tari virtual.
"Kita masih terus berproses untuk beraktifitas baik secara kreatifitas dan ekonomi. Sisi lain dari Corona ini adalah menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Di kelas-kelas online kita murid-muridnya sekarang ada dari banyak negara," ujar Murtala.
Sebagai anak rantau di Australia, Mirtala juga ikut cemas dengan nasib kawan-kawan seniman di Aceh.
"Awal-awal Covid ini kita 'meuphep-phep' terus di sosial media terkait dengan virus Corona, tapi kan ngak mungkin kita 'meuphep-phep terus tanpa ada pergerakan, " kata Murtala.
Lalu bersama dua teman Aceh yang juga menetap di Australia, Raihana Diani (Melbourne) dan Munawar/Ajes (Sydney) mereka menggarap kegiatan "Piasan Makmeugang" (meugang puasa) untuk membantu perempuan kepala keluarga di Aceh.
"Semua rapat, diskusi terkait kegiatan ini kita lakukan melalui chat WhatsApp dan video call, teknisnya kita meminta kawan-kawan seniman untuk mengirimkan video pertunjukkan dan kemudian kita post di Facebooknya Raihana Diani. Bahkan beberapa seniman-seniman Australia ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini," ujar Murtala.
Melihat antusias dari kegiatan ini, menjelang lebaran mereka kembali membuat "Piasan Makmeugang II" dan dari kedua kegiatan itu dapat mengumpulkan dana kurang lebih Rp 35 juta.
Di masa pademik ini Murtala cukup aktif bersilaturahmi dan berkomunikasi dengan kawan-kawan seniman Aceh khusunya kawan-kawan sanggar.
Bertepatan dengan peringatan hari tari dunia, Murtala membuat proyek video Rapai Geleng bersama para seniman dsri Sanggar Buana, Nurul Alam, Lempia, Geunaseh, Cut Nyak Dhien, Cit Ka Geunta, Pusaka nanggroe ditambah Fikar (seniman Ratoh Jaroe Jakarta).
"Setelah project ini, komunikasi semakin aktif banyak masukan-masukan untuk tidak hanya membangun semangat kreatifitas tapi bisa menghidupkan ekonomi seniman, karena seniman juga salah satu profesi yang sangat terdampak dari pendemik ini," lanjut Murtala.
Menurutnya seniman di Aceh potensi dan kreatifitasnya luar biasa, jadi di masa pandemik butuh ruang-ruang kreativitas dan juga bisa menambah pendapatan ekonomi, karena seniman itu hidup dan menghidupi kesenian.
Lalu muncul ide membuat "Aceh Musik Etnik Festival" juga secara virtual. Modal awalnya dari kantong pribadi Murtala. Belakangan kegiatan ini dibantu oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.
Dari Festival virtual ini ia berharap dapat merangsang seniman sebagai individual dan Pemerintah Aceh mendukung dan membuat event-event virtual dan pelatihan-pelatihan virtual untuk seniman-seniman di Aceh.
"Kita harus juga melihat bahwa salah satu fungsi kesenian di masa pademik ini, kesenian dapat menjadi alat untuk penanganan trauma," sarannya.
Murtala juga melakukan komunikasi dengan Kepala Badan Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh-Sumut Irini Dewi Wanti, dan muncul ide membuat "Festival Takbiran di Rumah Saja" dengan dukungan BPNB Aceh. Hasil festival ini akan diumumkan tanggal 28 Mei nanti.
Pandemik memang tidak membuat Murtala terkungkung. Ia mencoba menyibukkan diri dengan hal-hal positif, membangun komunikasi, membuat proyek-proyek video kolaborasi, berdiskusi dan mencari ide-ide yang bisa dilaksanakan secara virtual. Intinya terus mengkampanyekan kebaikan melalui kesenian tentunya.
"Kita juga sadar bahwa mungkin sebagian masyarakat sudah bosan, marah dan bahkan sudah tidak peduli lagi dengan Covid 19 ini, namun sebagai seniman, kita akan selalu mengkampanyekan kebaikan-kebaikan di masa covid ini, tentu untuk kebaikan kita semua. Saya percaya kita bisa melawan Corona ini dengan kreatifitas," katanya.
Murtala belajar tari tradisional Aceh sejak umur 12 tahun di Sanggar Mandaya Banda Aceh. Tamat SMA, tahun 1998 melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang jurusan tari.
Pasca tsunami 2004 kembali ke Aceh mendirikan TALOE (Traditional Arts Lecture Organization), pengajaran tari tradisional Aceh pada anak-anak pasca tsunami dan konflik sebagai penanganan trauma.
Tahun 2009 dipercaya sebagai penata tari untuk PKA 5 dan juga menerbitkan buku “Tari Aceh (Yuslizar dan Kreasi yang Mentradisi)."
Hijrah ke Australia pada 2010 dan menikah dengan pujaan hatinya Alfira O’Sullivan, perempuan berdarah Aceh dan Irlandia dan dikaruniai seorang putra.
Tarian Aceh menjadi dikenal luas di Australia, antara lain berkat peran dan usaha pasangan ini.(*)