Kepolisian Tak Hadir, Sidang Perdana Praperadilan Ruslan Buton Ditunda, Pengacara Kecewa
Sidang yang mestinya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (10/6/2020) itu ditunda karena para pihak termohon tidak hadir.
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan Ruslan Buton, mantan anggota TNI AD yang dipecat dan kini berstatus tersangka pelaku ujaran kebencian, ditunda.
Sidang yang mestinya digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (10/6/2020) itu ditunda karena para pihak termohon tidak hadir.
"Jadi kan yang digugat itu Kapolri cq Kabareskrim, cq Direktur Tindak Pidana Siber, sudah sampai jamnya enggak hadir, enggak ada informasi," kata pengacara Ruslan, Tonin Tachta saat dihubungi Kompas.com, Rabu siang.
Tonin mengaku kecewa dengan diundurnya persidangan tersebut.
Menurut Tonin, pihak kepolisian selaku penegak hukum mestinya menaati hukum dengan menghadiri sidang praperadilan.
"Harusnya kan jangan begitu dong, harusnya hadir kan, kalau orang dipanggil polisi memang boleh enggak hadir? Ternyata penegak hukum tidak menegakan hukum, jadi kita sabar lah tunggu lagi," kata Tonin.
Ia menyebutkan, sidang ditunda selama satu pekan dan dijadwalkan akan kembali digelar pada Rabu (17/6/2020) pekan depan.
Ruslan mengajukan permohonan praperadilan karena merasa penetapannya sebagai tersangka tidak sah.
Alasannya, Ruslan belum pernah diperiksa sebelumnya dan tim pengacara menilai pihak kepolisian belum memiliki dua alat bukti yang sah untuk menetapkan Ruslan sebagai tersangka.
"Termohon melakukan gelar perkara tanggal 26 Mei 2020 pada saat Pemohon belum memberikan keterangan dan belum ada barang bukti yang diambil darinya dengan demikian penetapan status tersangka berdasarkan gelar perkara tersebut tanggal 26 Mei 2020 merupakan penyimpangan administrasi/prosedur," demikian bunyi surat permohonan praperadilan yang diajukan Ruslan.
Dalam petitum praperadilannya, Ruslan memohon agar penetapannya sebagai tersangka dianggap tidak sah dan dapat dilepas dari tahanan.
Ruslan juga meminta agar perkara yang menjeratnya tersebut dihentikan serta nama baiknya direhabilitasi.
Diberitakan, Tim Bareskrim Polri bersama Polda Sultra dan Polres Buton menangkap Ruslan alias Ruslan Buton di Jalan Poros, Pasar Wajo Wasuba, Dusun Lacupea, Desa Wabula 1, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, pada Kamis (28/5/2020).
Ruslan ditangkap setelah membuat pernyataan terbuka kepada Presiden Joko Widodo dalam bentuk rekaman suara pada 18 Mei 2020 yang kemudian viral di media sosial.
Dalam rekamannya, Ruslan mengkritisi kepemimpinan Jokowi. Ruslan berbicara soal gerakan revolusi masyarakat.
Dalam kasus ini, barang bukti yang disita polisi yakni satu ponsel pintar dan sebuah KTP milik Ruslan.
Ruslan Buton dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP, dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun.
Sementara itu, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani merespons penangkapan terhadap Ruslan Buton, seorang pecatan TNI AD, yang kini berstatus tersang pelaku ujaran kebencian.
Arsul meminta Polri tidak mudah menangkap orang dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Meminta Polri agar tidak gampang-gampang menangkap orang," kata Arsul kepada wartawan, Selasa (2/6/2020).
"Menggunakan kewenangan untuk melakukan upaya paksa dalam penindakan hukum terkait dugaan pelanggaran beberapa pasal dalam UU ITE maupun KUHP yang bukan kejahatan dengan kekerasan tidak boleh sembarangan," jelasnya.
Menurut Arsul, Polri tidak perlu menangkap Ruslan.
Arsul menilai apa yang dilakukan Ruslan belum terbukti memprovokasi masyarakat untuk melakukan makar atau melawan presiden.
Ia mengatakan, pasal-pasal yang digunakan polisi menjerat Ruslan sangat multitafsir.
Ruslan diketahui dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan atau Pasal 15 UU Peraturan Hukum Pidana yang dilapis dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan ancaman pidana enam tahun dan atau Pasal 207 KUHP, dapat dipidana dengan ancaman penjara dua tahun.
"Tidak ada indikasi bahwa yang disampaikan Ruslan tersebut membuat masyarakat terprovokasi untuk melakukan makar atau melawan Presiden Joko Widodo (Jokowi)," ujar Arsul.
Politikus PPP itu menyatakan, polisi semestinya melakukan penyelidikan terhadap pernyataan Ruslan terlebih dahulu.
Arsul menyayangkan tindakan polisi dengan langsung menangkap Ruslan.
"Polisi harusnya meminta keterangan ahli dulu, apakah yang diucapkan atau ditulis itu terindikasi tindak pidana berdasarkan pasal pidana tertentu atau tidak, bukan langsung bertindak begitu tahu ada ucapan atau tulisan semacam itu," ucapnya.
"Terlebih lagi jika upaya paksa seperti penangkapan tersebut inisiatif polisi sendiri tanpa ada yang melaporkannya dulu," lanjut Arsul.
Ia pun meminta Polri lebih akuntabel dan meningkatkan standar due process of law dalam menjalankan kewenangannya. Khususnya, dalam menangani tindak pidana yang bukan kejahatan dengan kekerasan.
"Jangan sampai kerja-kerja positif Polri dalam penindakan kejahatan-kejahatan yang membahayakan masyarakat terciderai oleh upaya paksa terhadap dugaan tindak pidana berdasar pasal-pasal karet di atas," ucap Arsul.
• Tarif Listrik Bulan Juni Membengkak, PLN Sebut Kurang Bayar di April dan Mei jadi Penyebabnya
• Mahathir Mohamad Gugat Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin di Pengadilan Tinggi
• Puluhan Tahun Tak Diperbaiki, Warga Minta Peningkatan Pembangunan Jalan Ujong Tanoh-Lhang Abdya
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sidang Perdana Praperadilan Ruslan Buton Ditunda karena Kepolisian Tak Hadir"