Memancing di Pulo Aceh, Cerita Strike Bupati dan Dua Fiber Ikan

Bagi sebagian orang, Pulo Aceh masih dianggap sebagai kawasan terpencil yang tak menarik untuk dikunjungi., padahal gugusan pulau yang membentuk

Editor: bakri
SERAMBI/MUHAMMAD NASIR
Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali, memamerkan ikan hasil pancingannya di gugusan Pulo Aceh, Minggu (7/6/2020). 

Bagi sebagian orang, Pulo Aceh masih dianggap sebagai kawasan terpencil yang tak menarik untuk dikunjungi. Padahal gugusan pulau yang membentuk satu kecamatan di Aceh Besar ini menyimpan banyak potensi dan keindahan alam. Selain pantai nan indah berlumur pasir putih, Pulo Aceh juga menjadi 'surga' bagi para pemancing. Alam bawah lautnya yang dihuni beragam ikan seperti keurapu, tambeu, badai, hingga ikan panjang membuat pemancing enggan beranjak.

PAGI itu, Minggu (7/6/2020), langit Banda Aceh tampak gelap, karena baru saja diguyur hujan. Dengan menumpangi boat pencari ikan seukuran 50 GT, kami beranjak dari dermaga Ulee Lheue. Kami keluar dari kuala dan berlayar menuju ke arah Barat. Di buritan kapal, ombak pecah menyisakan buih putih.

Kerasnya deru mesin menemani pemandangan mata kami. Di sisi kapal terhampar lautan biru membentang bagai tak bertepi. Beberapa kali kami berpapasan dengan boat pemancing lainnya. Di kejauhan sesekali juga terlihat segerombolan pemburu tuna di Andaman. Kami melewati gugusan pulau-pulau kecil, hijaunya nyiur melambai di tepi tanah berkarang.

Di atas geladak, berdiri Bupati Aceh Besar, Mawardi Ali dan Sekda Iskandar menatap samar-samar gugusan Pulo Aceh yang belum terlihat jelas. Kabut masih menutup rangkaian pulau yang pernah jaya dengan komoditi cengkeh tersebut.

Mendekati Pulau Tuan di sisi utara Ujung Pancu, kapal melambat, deru mesin mengecil, pertanda itu sebagai spot mancing. Mawardi Ali yang menjadi 'nakhoda' memancing hari itu melampar kail pertama. Tak pelak, dua menit berselang langsung strike, ikan seukuran telapak langsung menyambar. "Ini pelaris," ujar Bupati sambil tertawa.

Kemudian disusul kail anggota rombongan lain yang saling sambut-menyambut kailnya disambar berbagai jenis ikan. Ikan keurapu, badai, sotong, hingga beberapa jenis ikan lainnya saling berebutan menyambar kail dan masuk ke fiber.

Dari perairan Pulo Tuan, boat kembali berlayar ke dekat Mercusuar Ujung Empee Pulo Nasi. Kawasan ini sudah masuk gugusan Pulo Aceh secara administrasi. Kemudian kapal berputar-putar di pesisir timur Pulau Nasi hingga ke sisi utara Pulau Breuh, tepatnya di hadapan pantai Lapeng. Kail kembali dilemparkan ke dasar laut, ikan dengan beragam jenis warna kembali jadi hasil buruan.

Siangnya boat masuk Ke Teluk Lampuyang di Pulau Breuh. Kami merapat untuk makan siang dan shalat Zuhur. Selain berpetualang di surga mancing, Mawardi Ali memang memiliki agenda ke singgah ke Pulo Aceh untuk bertemu masyarakat setempat.

Mawardi Ali mengatakan, Pulo Aceh tidak hanya menyimpan keindahan pantai-pantainya, tapi juga menjadi surga bagi para pecinta mancing. Karena beragam jenis ikan menjadi kawasan pulau itu sebagai rumahnya. "Sangat banyak disini, Pulo Aceh tidak akan mengecewakan, terbukti hari ini kita dapat ikan yang banyak," ujar Mawardi.

Dalam perjalanan pulang, kami sempat mengarah ke Selatan, melewati selat kecil, tepatnya sisi Pulau Batee, satu pulau karang dekat Pulau Bunta. Di lokasi ini memancing dengan suasana berbeda, karena arus bawahnya yang deras, maka kail harus diulur lebih panjang.

Seiring tenggelamnya matahari di ufuk barat, dua fiber pun penuh terisi ikan. Kami beranjak menuju daratan. Perjalanan pulang sore itu ditemani sunset di atas Pulau Nasi.(Muhammad Nasir)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved