Melihat ‘Kepingan Surga’ di Dunia, Tujuh Kali Ganti Camat Potret Pulo Aceh Tetap Buram
Seorang pekerja sosial dan aktivis kebencanaan, Imran SE MSM, dua hari lalu jalan-jalan ke Pulo Aceh, satu kecamatan kepulauan di Kabupaten Aceh Besar
Seorang pekerja sosial dan aktivis kebencanaan, Imran SE MSM, dua hari lalu jalan-jalan ke Pulo Aceh, satu kecamatan kepulauan di Kabupaten Aceh Besar. Sesaat setelah mendarat di Pelabuhan Nelayan Lampuyang, Kemukiman Pulau Breuh Selatan, Imran langsung merekam beberapa bangunan publik yang ada di ibu kota kecamatan Pulo Aceh tersebut. “Prihatin sekali. Seperti negeri tak bertuan,” tulis Imran dalam caption fotonya yang dikirim ke Serambi, Kamis (25/6/2020).
Masyarakat Pulo Aceh tentu bangga dengan berbagai sebutan indah yang ditabalkan untuk wilayah mereka. Salah satu sebutan paling menginspirasi adalah ‘kepingan surga’ di dunia. Itu tak lain karena pesona alam Pulo Aceh begitu indah.Tak ada yang menafikan itu. Data hingga 2018 lalu, penduduk Pulo Aceh sekitar 4.150 jiwa mendiami 17 gampong dengan 3 kemukiman yaitu Pulau Breuh Selatan, Pulau Breuh Utara, dan Pulau Nasi.
“Kami tentu saja bangga dengan berbagai penabalan nama indah untuk Pulo Aceh. Namun, kami tidak sekadar mengharap nama indah, tapi lebih dari itu, harus ada gerak di atas negeri yang disebut ‘kepingan surga’ ini,” ujar Zailami Sofyan Abdullah, warga Gampong Gugop, yang berlokasi di sekitar ibu kota kecamatan, Lampuyang.
Ya, katakanlah, kalau memang Pulo Aceh itu indah dan sangat menjanjikan sebagai destinasi wisata, apa yang sudah dilakukan untuk itu. Jika memang potensi di sektor perikanan, apa pula yang sudah dilakukan. Atau, kalau memang potensi di sektor perkebunan/pertanian, juga harus ada action. “Bukan sekadar retorika,” lanjut Zailami.
Kecuali itu, lanjut Zailami, di sektor pelayanan publik, juga setali tiga uang. “Perkantoran pemerintah seperti kantor camat di Lampuyang, menyemak. Ada seorang warga setempat yang jadi PNS dan bertugas di kantor itu, tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya dia pelihara lembu di samping kantor,” ungkapnya.
Zailami menceritakan, sudah puluhan tahun Pulo Aceh menjadi kecamatan sendiri, berpisah dari induknya, Kecamatan Peukan Bada. Tapi, kata Zailami, apa yang dirasakan masyarakat tidak sebanding dengan rentang usia kecamatan tersebut. “Saya nggak ingat persis tahun berapa Pulo Aceh lepas dari Peukan Bada. Tapi, hingga saat ini sudah tujuh kali ganti camat, namun kondisinya masih sama seperti dulu,” ujar Zailami.
Terkait pelayanan publik, Zailami mengungkapkan, pelayanan di Kantor Camat Pulo Aceh tak bisa diharapkan. Sehingga, tak jarang mereka harus ke daratan, meminta bantu ke kecamatan induk di Peukan Bada. “Misalnya untuk urus akte kelahiran atau kebutuhan administrasi kependudukan lainnya. Syukurlah mereka mau membantu, karena maklum dengan kondisi kami,” kata Zailami.
Untuk ke daratan (Banda Aceh dan Aceh Besar), lanjut Zailami, bukan hal mudah bagi warga Pulo Aceh karena berkonsekwensi pada biaya yang harus dikeluarkan. “Minimal harus ada uang Rp 200.000. Akan bertambah besar kalau anak atau istri minta ikut. Untuk biaya makan minum dan waktu pulang tabloe boh-boh kayee meubacut (beli buah-buahan sedikit),” ujar pria yang terkesan sangat komunikatif dan blak-blakan ini.
Zailami berharap,--dia yakin juga masyarakat Pulo Aceh sependapat--kalaupun pelayanan publik di kantor kecamatan tidak bisa full seperti di tempat lain karena berbagai alasan, paling tidak satu atau dua hari dalam seminggu, sudah cukup bagi mereka. “Jangan seperti sekarang, kantor terancam jadi sarang kuntilanak. Sudah rusak di sana-sini akibat tidak terawat. Menurut kabar, akan ada proyek lagi bikin pagar kantor camat. Sudah pernah direhab, tapi sesudah rehab tak ada juga pegawai yang ngantor,” ujarnya.
Orientasi proyek fisik
Apa yang disampaikan Zailami tak jauh beda dengan tampilan visual yang direkam Imran SE MSM, pekerja sosial dan aktivis kebencanaan yang singgah ke Lampuyang, Rabu (24/6/2020).
Foto-foto yang diposting Imran memperlihatkan kondisi memprihatinkan pada bangunan fisik Kantor Camat Pulo Aceh dan beberapa kantor lain di pusat kecamatan tersebut.
“Prihatin sekali, seperti bangunan di negeri tak bertuan,” tulis Imran dalam caption fotonya.
Menurut Imran, ada kesan yang dilakukan selama ini hanya berorientasi proyek fisik sedangkan manfaat bagi masyarakat tak pernah jadi perhatian. “Buktinya ya ini, bangunan dibiarkan terbengkalai. Menyemak. Ketika rusak direhab. Kalau ada yang belum lengkap, seperti pagar kantor camat, menurut kabar akan dibangun lagi,” ujar Imran.
Selain bangunan perkantoran di Lampuyang, Imran juga sempat merekam kondisi fasilitas publik di Lamteng, Kemukiman Pulau Nasi. Di Lamteng ada pelabuhan penyeberangan dari Pulo Aceh ke daratan Banda Aceh. Dari Lampuyang ke Lamteng membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan perahu mesin atau boat nelayan.
Namun, kondisi beberapa bangunan/fasilitas pelabuhan, menurut pengamatan Imran juga terkesan kurang perawatan. “Saya pikir ini perlu menjadi perhatian apalagi pelabuhan merupakan pintu masuk ke suatu wilayah, dan salah satu kesan pertama adalah di pelabuhan,” demikian Imran. (nasir nurdin)