Lingkungan

Anggota Komisi IV DPR: Hukum Harus Ditegakkan di Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pelanggaran lainnya terdapat 181 perusahaan menggunakan kawasan hutan seluas ± 350 ribu Ha dan 110 perusahaan menggunakan kawasan gambut seluas ± 345

Penulis: Fikar W Eda | Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Anggota DPR-RI asal Aceh, Muslim SHI MM. 

Laporan Fikar W Eda I Jakarta

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan pelanggaran di antaranya terdapat 194 perusahaan sawit yang mengusahakan kegiatannya di lahan seluas ±1,02 juta hektare tanpa memiliki izin atau hak atas tanah (HGU).

Pelanggaran lainnya terdapat 181 perusahaan menggunakan kawasan hutan seluas ± 350 ribu Ha dan 110 perusahaan menggunakan kawasan gambut seluas ± 345 ribu Ha tanpa atau belum melengkapi persyaratan perizinan secara lengkap.

Temuan tersebut disampaikan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II/2019 oleh BPK.

Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Demokrat Muslim SHI MM, menegaskan harus dilakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran seluruh pelanggaran seperti temuan BPK.

"Harus dilakukan penegakan hukum terhadap temuan itu," kata politisi Demokrat ini dalam dalam Rapat Kerja dengan Kementrian LHK, Rabu (24/6/2020).

Sosok Gustira Monita, Gadis Gayo Kreatif yang Mampu Ciptakan Tari di Usia 13 Tahun

Lahan Pembangunan Jalan Tol di Aceh Timur Mulai Disiapkan

Menurut Muslim, pelanggaran penggunaan 1,02 juta Ha tanpa izin HGU menyebabkan tidak adanya legalitas terhadap lahan tersebut, serta berpotensi pada kerugian/kehilangan pemasukan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkebunan.

Sementara pelanggaran atas penggunaan kawasan hutan dan gambut tanpa izin mengakibatkan terganggunya fungsi kawasan hutan serta ancaman kebakaran hutan dan kerusakan kawasan hidrologis gambut (KHG).

Legislator yang juga menjabat sebagai Ketua Departemen IV DPP Partai Demokrat ini juga menilai bahwa temuan pelanggaran ini merupakan indikasi bahwa betapa pihak korporasi dan pemodal besar dengan mudahnya menyelewengkan penggunaan lahan dan memanfaatkan kawasan hutan, dan bahkan penggunaannya tanpa izin.

Oleh karenanya, Muslim mendesak Kementrian LHK dan atau instansi terkait untuk menindak tegas pelaku pelanggaran ini, dengan menjatuhkan hukuman baik secara administrasi (perizinan), perdata maupun pidana.

Lebih lanjut, Muslim juga menyampaikan bahwa temuan BPK ini seperti menjawab kecurigaan sejumlah kalangan bahwa penegakan hukum kehutanan seperti UU No 18 Tahun 2013 atau disebut juga dengan UU P3H (Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan) hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

UU P3H hanya menyasar petani-petani kecil, yang selama ini merawat kebunnya dan menjaga hutan adatnya.

Muslim mencontohkan kasus seorang petani hutan di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan yang dijerat UU P3H pada bulan Maret yang lalu dikarenakan menebang pohon di kebun sendiri, yang mana hasil tebangan itu akan digunakan untuk membangun rumahnya.

Oleh Muslim sorotan penegakan hukum yang hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas juga didukung oleh data bahwa sepanjang 2016 – 2020, tak kurang 50 petani hutan yang dijerat UU P3H.

Padahal selama ini, petani tersebut merupakan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan dan selama ini berkontribusi dalam menjaga hutan. Sementara ada ratusan korporasi dan para pemodal besar yang menguasai lahan, kawasan hutan, kawasan gambut dalam jumlah masif dan berpotensi destruktif yang luput dari perhatian.

“Selaku Anggota Dewan, yang salah satu tugasnya adalah pengawasan, saya mendesak KLHK dan/atau instansi terkait untuk menindak tegas dan menghukum seberat-beratnya pelaku pelanggaran/kejahatan lingkungan seperti yang tertuang dalam audit BPK tersebut,” pungkas Muslim.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved