Opini
Kantor Urusan Luar Negeri Aceh
Hampir satu tahun yang lalu, sebuah video berjudul "Dari Helsinki ke Stockholm" beredar di YouTube. Video itu menceritakan

Penting disadari, bahwa hubungan internasional bukan soal orientasi ekonomis semata, tidak melulu soal investor saja, tapi berkenaan juga dengan banyak aspek lain: rule of law, politik, keamanan, kemanusiaan, kesehatan, dan yang menjadi salah satu isu global paling penting saat ini, yakni perubahan iklim.
Selain itu, hubungan internasional juga tidak hanya melibatkan pemerintah suatu negara atau pemerintah daerah suatu negara, tetapi melibatkan pula aktor-aktor lain seperti organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan multinasional, kelompok-kelompok minoritas, hingga individu. Ini menunjukkan bagaimana kompleksitas dari hubungan internasional itu.
Saat ini, interaksi people to people dalam masyarakat internasional pun terus meningkat. Bahkan secara teoritis dalam konsep hukum internasional, sudah lama sekali, setidaknya sejak awal abad dua puluh, individu telah diakui sebagai subjek hukum internasional (Malcolm N. Shaw QC, 2013: 234).
Pasal (1) ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri pun menyebut bahwa, "Hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia."
Meskipun dalam konteks Aceh, bahkan Indonesia sekarang ini, hubungan dengan masyarakat awam dari negara lain masih merupakan hubungan yang superfisial, istilah Agus Wandi dalam bagian pengantar bukunya Terra Australis: Biografi Singkat Australia: Tetangga Penting dan Benua Terdekat Indonesia (2020). Dalam artian, hubungan itu masih acuh tak acuh yang tidak membuat saling kenal mengenal, atau tidak akrab.
Landasan dan kerangka
Oleh karenanya, untuk meningkatkan kerja sama luar negeri, perlu adanya arah yang jelas. Aceh perlu merumuskan dasar-dasar hubungan luar negerinya seperti apa, platform-nya bagaimana. Dengan demikian, upaya peningkatan tersebut dapat dikoordinasikan dengan baik. Tentunya dengan penyesuaian terhadap politik dan kebijakan luar negeri Pemerintah Indonesia.
Jika memiliki acuan dan kerangka kerja yang jelas, Aceh mungkin dapat memberikan respon yang lebih baik dalam bentuk solusi jangka pendek maupun jangka panjang terhadap isu-isu kemanusiaan, seperti yang baru saja dan telah berulang kali-sejak tahun 2009-kita hadapi, krisis Pengungsi Rohingya. Bukan tidak mungkin akan ada lagi gelombang berikutnya yang akan terdampar. Dan ini tentu hanya satu dari begitu banyak urusan internasional yang padanya Aceh dapat mengaitkan diri secara lebih nyata.
Maka kehadiran sebuah kantor atau badan yang fokus membidangi penyelenggaraan urusan luar negeri di Aceh menjadi urgen. Sebagai contoh konkrit, seperti Office of International Affairs (OIA) Universitas Syiah Kuala atau Kantor Penghubung Pemerintah Aceh yang ada di Jakarta, yang sebagian dari tugas dan fungsinya sudah menyentuh aspek-aspek kerja sama luar negeri.
Dengan begitu, diharapkan keistimewaan Aceh yang memiliki akar sejarah yang kuat dan diperjuangkan dengan penuh pengorbanan, tidak hanya tertulis saja di dalam lembaran negara, tetapi dapat benar-benar dimanfaatkan dengan baik. zulmansangga@gmail.com