Harga Kopi belum Membaik  

Harga kopi arabika Gayo sejak beberapa bulan terakhir belum juga membaik, seiring masih adanya wabah virus corona (Covid-19)

Editor: bakri
SERAMBINEWS/MAHYADI
Ketua Koperasi Ketiara, Rahmah memantau kondisi buah kopi arabika Gayo yang masih hijau lantaran belum memasuki masa panen. 

TAKENGON - Harga kopi arabika Gayo sejak beberapa bulan terakhir belum juga membaik, seiring masih adanya wabah virus corona (Covid-19). Komiditi unggulan masyarakat di wilayah tengah Provinsi Aceh itu, sempat anjlok lantaran hampir sebagian besar negara importir meminta penundaan pengiriman.

Beberapa buyer (pembeli) kopi arabika Gayo seperti di Amerika, sebelumnya meminta untuk menunda pengiriman lantaran banyak roaster, serta café-café di negara importir tutup karena adanya wabah Covid-19. Penundaan tersebut, berdampak pada rendahnya daya beli di tataran lokal sehingga harga menjadi anjlok.

Sampai dengan saat ini, harga kopi arabika Gayo belum juga stabil. Sebelum adanya Covid-19, harga kopi arabika Gayo untuk jenis ready ekspor, bisa menyentuh harga mulai Rp 70 ribu hingga Rp 80 ribu perkilogramnya. Namun saat ini, hanya sekitar Rp 54 hingga Rp 58 ribu perkilogramnya.

Ketua Koperasi Ketiara, Rahmah yang dihubungi Serambi, Sabtu (8/8/2020) mengatakan, kondisi harga kopi arabika Gayo untuk saat ini, bisa dikatakan yang terburuk sejak beberapa tahun terakhir. “Hampir seluruh negara, saat ini murah membeli kopi. Itu karena dampak dari penyebaran Covid-19,” jelasnya.

 Tapi, sebutnya, kondisi saat ini, diuntungkan dengan masuknya masa jeda panen kopi, sehingga di kalangan petani hampir sebagian besar belum menjual hasil produksinya karena belum panen. “Jadi, dari bulan Juni sampai dengan sekarang, kami tidak ada membeli kopi karena belum panen. Nanti di bulan Oktober, baru masuk masa panen,” ungkapnya.

Rahmah yang juga seorang eksportir kopi arabika Gayo dengan tujuan pasar Amerika, mengaku masih tetap melakukan pengiriman kopi. Bahkan, dari stok 400 ton miliknya, hanya tersisa sekitar 150 lagi yang menunggu proses pengiriman. “Kami tidak pernah menunda pengiriman. Besok dan akhir Agustus nanti, kami masih melakukan pengiriman,” ungkap Rahmah.

Penambahan gudang

Seperti diberitakan sebelumnya, Kabupaten Aceh Tengah menjadi salah satu daerah terbanyak yang memiliki gudang untuk menjalankan Sistem Resi Gudang (SRG) pada komoditi kopi arabika Gayo. Sebelumnya, daerah penghasil kopi arabika tersebut, hanya memiliki dua gudang yang berfungsi sebagai SRG.

Namun seiring dengan terbitnya izin pengelolaan serta izin penggunaaan tiga gudang lagi untuk SRG dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), sehingga jumlahnya menjadi lima. Satu merupakan milik pemerintah dan empat lagi milik pihak swasta. Dengan adanya penambahan tersebut, akan membantu para petani di masa pandemi Covid-19.

“Aceh Tengah ini, menjadi daerah terbanyak yang memiliki gudang untuk menjalankan Sistem Resi Gudang,” kata Kepala Bagian Penguatan dan Pemberdayaan SRG Bappebti, Yuli Eko Sugiarto di sela penyerahan surat izin pengelolaan tiga gudang SRG kepada Bupati Aceh, Shabela Abubakar, pertengahan Juli lalu.

Yuli Eko Sugiarto atau yang dikenal dengan sapaan YES ini menjelaskan, sebelumnya ada tujuh gudang serta yang diusulkan untuk dijadikan sebagai tempat pengelolaan SRG, namun hanya tiga yang memenuhi syarat. “Dari tujuh, menjadi empat. Tapi setelah melewati proses, sehingga hanya tersisa tiga PT Meukat Komuditi Gayo, Koperasi KSU Arinagata dan Koperasi Gayo Megah Berseri,” jelasnya.

Menurutnya, untuk proses dari awal pengusulan sampai dengan persetujuan diterbitkannya izin pengelolaan dan penggunaan ketiga gudang tersebut, membutuhkan waktu sampai satu bulan setengah. “Ini merupakan gerak cepat yang kami lakukan, apalagi di tengah penyebaran pandemi Covid-19. Mungkin, Aceh Tengah menjadi daerah terbanyak yang memiliki gudang SRG di Indonesia,” tuturnya.

Untuk wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah, sudah memiliki enam gudang yang menjalan Sistem Resi Gudang (SRG), lima di Aceh Tengah san satu di Bener Meriah dan dimungkinkan berpontensi jumlahnya bisa bertambah dengan adanya beberapa yang gudang ingin menjadi SRG.

“Keberadaan SRG ini, bisa mengawal, apabila terjadi pandemi seperti sekarang ini, harga komoditi jatuh dan minimal ada solusi dengan keberadaan SRG,” ucapnya.

Dia menambahkan, di tengah penyebaran Covid-19, banyak sekali permintaan daerah maupun pelaku usaha untuk menerapkan sistem resi gudang. Sebagai contoh, para nelayan tetap mencari ikan, namun pembeli tidak ada, serta kargo tidak jalan.

“Solusinya, adalah SRG. Makanya, kemarin kami percepat ada 13 izin penggunaan gudang untuk cold storage.  Belum lagi rumput laut. Nah, mudah-mudahan dengan adanya penambahan gudang untuk SRG bisa menjaga kopi arabika Gayo,” imbuhnya

Sementara itu, Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Aceh, Armia menyebutkan, permintaan pasar kopi anjlok khususnya di negara-negara importir sehingga pengiriman kopi masih banyak yang tertunda.

“Sampai sekarang, di negara importir seperti Amerika, banyak roaster maupun café yang tutup karena pandemi Covid-19. Makanya proses ekspor kopi belum juga stabil sampai sekarang. Diperkirakan hanya sekitar 30 persennya, hasil produksi kopi yang bisa dikirim,” jelasnya.

Sebagai contoh, kata Armia, sebagian stok kopi yang semestinya dikirim pada bulan Juni, Juli dan Agustus, ditunda kirim pada bulan Desember 2020 mendatang. Alhasil, kopi arabika yang tertuda pengirimannya itu, tersimpan di gudang-gudang eksportir. “Pengiriman tetap berjalan, tapi persentasenya sangat kecil,” ungkapnya.

Menurut Armia, bila kondisi pandemi tidak juga kunjung reda, maka dikhawatirkan pada saat panen kopi di bulan Oktober, Nopember dan Desember, stok kopi arabika Gayo akan bertambah menumpuk karena yang sebelumnya juga belum bisa terkirim semua.

“Memang di bulan September ini, belum menjadi masalah dan masih tenang-tenag saja karena barang masih belum ada. Kita khawatir, saat panen berikutnya kondisi belum membaik, ekspor kopi terbatas sehingga akan menimbulkan dampak yang lebih besar,” ujarnya.

Diperkirakan, ekspor kopi arabika Gayo, berkisar antara 5 ribu hingga 6 ribu ton perbulan, tetapi ketika virus coran melanda, hanya sekitar 30 persennya yang bisa di ekspor, sedangkan sisanya masih ditunda pengiriman. “Sampai sekarang belum juga normal. Kita juga tidak bisa pastikan, kapan wabah corona ini, berakhir,” ujarnya.(my)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved