Puisi untuk Damai Aceh
Puisi untuk Aceh Karya 66 Penyair Dinyatakan Lolos Kurasi, dari Karya Sutardji Hingga Vera Hastuti
Di antara penyair yang menyumbang puisi untuk buku ini terdapat nama-nama penyair top Indonesia, antara lain Sutardji Calzoum Bachri, D Zawawi Imron,
Penulis: Fikar W Eda | Editor: Ansari Hasyim
Laporan Fikar W Eda I Jakarta
SERAMBINEWS COM, JAKARTA - Puisi tema Aceh karya 66 penyair Indonesia dinyatakan lolos kurasi untuk diterbitkan dalam buku Bunga Rampai Puisi Indonesia, dalam rangka 15 tahun perdamaian Aceh.
Kurator Salman Yoga S menyatakan, dari ratusan judul puisi yang masuk ke meja kurator, berhasil dipilih karya 66 penyair, sesuai dengan tema yang disaratkan panitia.
Di antara penyair yang menyumbang puisi untuk buku ini terdapat nama-nama penyair top Indonesia, antara lain Sutardji Calzoum Bachri, D Zawawi Imron, Gol A Gong, Ahmadun Yosi Herfanda, Isbedi Setyawan ZS, Dheni Kurnia, Fakhrunnas MA Jabbar, Rida K Liamsi, Hasan Aspahani, Emi Suy, Raudah Jambak, dan lain-lain. Dari Aceh terdapat nama-nama Hasbi Burman, TA. Dadek, Mustiar AR, D. Keumalawati, Ayi Jufridar, LK. Ara, Sulaiman Djuned, Nezar Patria, Teuku Rifnu Wikana, Vera Hastuti, Mahdi Idris, Wina SW1 dan lain-lain.
"Sejumlah penyair yang tidak lolos, bukan berarti puisinya kurang bagus. Namun tema yang mereka kirimkan tidak sesuai dengan semangat buku antologi ini," ujar Salman di Takengon, Senin (10/8/2020).
• Awan Arcus Selimuti Langit Aceh Barat, Warga tidak Perlu Panik tapi Tetap Waspada
• Pendaftaran Calon Penerima Beasiswa Pemerintah Aceh Singkil Dimulai, Mahasiswa Sampaikan Apresiasi
• Daging Kelinci Makin Diminati, Pria Ini Raup Puluhan Juta/Bulan, Awalnya Cuma Hobi Pelihara
Semangat yang dimaksud, jelas Salman, puisi sebagai media komunikasi yang paling klasik dalam sejarah peradaban Aceh. Dengan demikian, diharapkan karya puisi yang masuk harus terkait dengan tema yang disodorkan oleh panitia. Di mana nilai estetika, pesan moral, informasi komunikasi menjadi standar pemilihan karya tersebut.
Salman menjelaskan, sebagai kurator dirinya sudah bekerja ekstra hati-hati dalam pemilihan karya. Menurutnya, banyak hal yang perlu menjadi pertimbangan terkait isu konflik dan perdamaian Aceh.
"Pertama adalah, apakah puisi itu bernilai komunikasi dalam konteks apa yang terjadi di Aceh, dan apakah puisi tersebut mengandung empati terkait siapa yang menjadi korban dalam konflik itu sendiri, selain pesan moral dan pesan humanisme dan juga harapan-harapan yang mungkin ingin dicapai secara estetika," jelas dia.
Salman menambahkan, adapun pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah masalah isu perdamaian dan konflik Aceh sampai hari ini belum selesai. Dengan demikian, kata dia, para sastrawan dan penyair perlu mengkomunikasikan karya mereka hingga pesannya sampai kepada siapa saja, baik kepada masyarakat, pemerintah, dan pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang terkait.
"Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, hasil karya sastrawan penyair dengan sejumlah puisi yang berhasil kita kurasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hal tersebut, dan kita berharap puisi dalam buku ini bisa menjadi media lintas waktu, wilayah dan media lintas peradaban dan estetika," jelasnya.
Inisiator buku antologi Bunga Rampai Puisi Indonesia, Pilo Poly mengatakan, usai tahap kurasi, seluruh karya akan masuk pada tahap selanjutnya, yakni layout dan rancangan cover. Sementara itu, panitia juga tengah menunggu kata pengantar dan epilog untuk kelengkapan buku tersebut.
"Saat ini kita juga sedang menunggu beberapa tulisan pelengkap lainnya, seperti kata pengantar, dan epilog. Sementara untuk naskah Prolog sudah kita terima," jelas Pilo, sapaan akrabnya.
Pilo melanjutkan, semangat 15 Tahun Perdamaian Aceh menjadi titik berangkat buku antologi ini.
"Melihat Aceh dari berbagai sudut pandang bahasa kepenyairan adalah anugerah yang tidak bisa dilupakan. Apalagi, sudut pandang tersebut mewarnai Aceh dalam fase ganas konflik, tsunami hingga perdamaian. Ingatan tiga masa ini menjadi perjalanan panjang tak berbatas untuk berbenah," jelasnya.
Bahkan, sebelum 1953 misalnya, saat Aceh bergolak DI-TII, Aceh telah lebur dari bab perang sejak Portugis, Amerika Serikat, Belanda, hingga Jepang. Alhasil, masyarakat Aceh banyak mengalami traumatik perang yang berdampak lambatnya pembangunan, rendahnya pendapatan ekonomi dibandingkan daerah lain. Aceh banyak ketertinggalan yang harus dikejar.
Pilo menyakini, puisi akan menjadi alat penyampaian pesan yang mampu bertahan hingga waktu lama. Puisi akan terus dibaca dan diproduksi. Diharapkan, buku ini nantinya dapat disalurkan ke berbagai daerah di Aceh, terutama di perpustakaan, sekolah dan universitas.(*)