Jurnalisme Warga

Abu di Lueng, Ulama Keramat dari  Ulee Gle

BERADA di lokasi paling ujung Kabupaten Pidie Jaya (Pijay), Ulee Gle menyimpan banyak cerita dan berbagai macam keindahan yang jarang

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Abu di Lueng, Ulama Keramat dari  Ulee Gle
IST
MIRNANI MUNIRUDDIN ACHMAD, M.A., Guru MIN 13 Pidie Jaya, alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry, dan Anggota FaMe Chapter Pidie Jaya, melaporkan dari Ulee Gle

OLEH MIRNANI MUNIRUDDIN ACHMAD, M.A., Guru MIN 13 Pidie Jaya, alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry, dan Anggota FaMe Chapter Pidie Jaya, melaporkan dari Ulee Gle

BERADA di lokasi paling ujung Kabupaten Pidie Jaya (Pijay), Ulee Gle menyimpan banyak cerita dan berbagai macam keindahan yang jarang diketahui banyak orang dan sedikit yang terekspos di media. Ulee Gle merupakan gampong yang berada di salah satu Kecamatan Bandar Dua, kecamatan terakhir yang menjadi batas berakhirnya Pijay menuju Kabupaten Bireuen.

Tak sulit kita jumpai, Gampong Ulee Gle berada tepat di jalan nasional Medan-Banda Aceh, dianggap menjadi tempat singgah yang recommended  bagi kebanyakan orang yang sedang dalam perjalanan. Kali ini saya akan mengupas sedikit kisah mengenai kampung yang masyarakatnya pernah dijuluki “Parang lam Situek” pada masa dulu.

Kampung terbersih

Ulee Gle merupakan kampung yang patut diperbincangkan kembali. Bagaimana tidak, gampong ini pernah menjadi kampung terbersih se-Aceh tahun 1993, saat Indonesia dipimpin Soeharto. Beberapa perangkat desa saat itu bahkan diundang ke Jakarta, tepatnya di Kantor Menteri Dalam Negeri, untuk menerima penghargaan yang diberikan oleh Mendagri, Letnan TNI (Purn) Raden Muhammad Yogie Suardi Memet pada 22 Desember 1993. Gampong Ulee Gle mendapat anugerah Pelaksana Terbaik Program Terpadu P2WKSS dan 10 Program Pokok PKK, mengalahkan seluruh kabupaten/kota di Aceh saat itu. Bukan diperoleh dengan mudah, keberhasilan ini diperoleh berkat kerja sama masyarakat Gampong Ulee Gle dengan Lurah Gampong Ulee Gle, almarhum Tgk Muniruddin Achmad.

Hal ini berdasarkan pengakuan istri beliau, Aisyah Ibrahim yang ikut mewakili Ulee Gle menerima undangan dari Presiden Soeharto di Jakarta. Benar-benar prestasi yang membanggakan.

Kampung santri

Dayah telah menjadi bagian terpenting dalam sejarah peradaban rakyat Aceh, tak terkecuali bagi Ulee Gle. Jika mengunjungi Ulee Gle, apa lagi hari Jumat, Anda akan banyak melihat santri dan santriwati berlalu lalang berpakaian sopan, bahkan ada yang mengenakan cadar. Tidak perlu terkejut, karena kawasan Ulee Gle memang daerah yang banyak memiliki dayah atau pesantren.

Salah satu dayah terbesar dan termasyhur serta menjadi ikon dayah di Gampong Ulee Gle adalah Dayah Darul Munawwarah yang berada di Desa Kuta Krueng. Dayah ini dipimpin ulama besar Aceh, Almukarram Abu Usman Ali yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Kuta Krueng. Semoga Allah panjangkan umur beliau.

Selain Dayah Darul Munawwarah, di Ulee Gle kita bisa temukan dayah lainnya dengan sekejap mata. Maka tak salah bila ada yang menyebut Gampong Ulee Gle sebagai kampung santri. Bila Jumat malam tiba, dengan begitu mudahnya kita akan mendengar lantunan dalail khairat (kumpulan selawat yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw,  karangan Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli) dari berbagai penjuru.

Bagi kalangan santri, wirid ini sangatlah tenar yang rutin dibacakan setiap malam Jumat dengan harapan di hari kelak mendapat syafaat dari Nabi Muhammad saw.

Abu di Lueng

Tak banyak yang tahu, sekitar tahun 1940-an terdapat salah satu ulama Aceh yang sangat disegani banyak orang, Teungku Achmad Banta namanya. Namun, beliau lebih terkenal dengan panggilan Abu di Lueng, karena beliau semasa hidupnya menetap di desa kecil bernama Lueng Geukueh yang hanya berjarak 500 meter dari pusat Keude Ulee Gle. Beliau lahir sekitar tahun 1910 Masehi di Gampong Ulee Gle dan merupakan pendiri dayah pertama di Gampong Ulee Gle. Dayah ini selain digunakan untuk kegiatan pengajian, juga kerap digunakan Abu di Lueng sebagai tempat perlindungan bagi masyarakat sekitar saat tantera Jepang memasuki perkampungan warga.

Abu di Lueng merupakan Imum Chiek pertama di Masjid Tuha Gampong Ulee Gle (sekarang Masjid Al-Istiqamah Ulee Gle) tahun 1950-an, selanjutnya digantikan oleh Abu di Uteun Bayu.

Selain menjadi ulama yang dihormati dan disegani masyarakat saat itu, Abu di Lueng juga menjadi pegawai negeri sebagai kepala di Madrasah Ibtidaiah Jangka Buya (sekarang MIN 15 Pidie Jaya). Hal ini merupakan ciri khas Abu di Lueng, karena jarang kita bisa menemukan ulama terdahulu yang ikut berkecimpung di dunia pendidikan di bawah pemerintahan.

Jejak pengabdian beliau masih terekam jelas di dalam dokumentasi Madrasah Jangka Buya, sesuai pengakuan dari Masrour Muniruddin, guru yang masih aktif mengajar di madrasah itu.

Ada banyak cerita seputar kekeramatan Abu di Lueng pada masa dulu, seperti yang diceritakan kembali oleh cucu beliau, Teungku Mahfudh Muhammad Achmad. Menurut Abu Kuta Krueng yang sempat menjadi saksi sejarah saat Abu Di Lueng berpulang ke rahmatullah pada tahun 1958, saat itu kuburan beliau tak berair sedikit pun, padahal lueng  (sungai kecil) di dekat tempat kuburannya digali dipenuhi air. Mahabesar Allah Yang telah menunjukkan kuasa-Nya terhadap hamba yang mendedikasikan sisa umurnya di jalan Allah.

Kisah menarik lainnya adalah saat ada pencuri yang memasuki pekarangan rumah beliau untuk mencuri nangka yang tumbuh lebat di pohonnya. Pencuri tersebut berhasil mengambil nangka, tapi tak berhasil ke luar dari halaman rumah Abu di Lueng. Saat subuh pun, Abu di Lueng bangun untuk shalat dan mendapati pencuri sedang kebingungan dengan buah nangka di pundaknya.

Saat ditanyai Abu di Lueng, jawaban si pencuri itu sungguh di luar dugaan. Pencuri mengatakan bahwa tak ada jalan ke luar baginya, di hadapannya yang terlihat hanyalah hamparan laut luas yang tak bisa dilewatinya. Baru setelah diizinkan Abu di Lueng si pencuri itu bisa ke luar dari pekarangan rumahnya. Masyaallah. Memang sesuai yang disampaikan Buya Yahya, kita harus yakin dalam hati bahwa keramat atau karamah terhadap orang yang saleh dan disayangi Allah benar adanya walau terkadang tak masuk di logika kita manusia biasa.

Salah satu murid Abu Di Lueng yang juga ulama terkenal di Pidie Jaya adalah Abu Haji Abdul Hamid, dikenal dengan panggilan Abu di Uteun Bayu yang juga telah berpulang ke rahmatullah pada tahun 2008. Abu Uteun Bayu yang semasa hidupnya selalu mengenang kembali jasa gurunya Abu di Lueng pada setiap khutbahnya di Masjid Istiqamah Gampong Ulee Gle.

Sekarang, makam Abu di Lueng masih bisa kita lihat di area pemakaman keluarga di Desa Lueng Teungoh, Gampong Ulee Gle.  Jarak tempuhnya hanya sekitar dua menit dari jalan Medan-Banda Aceh ke makam Abu di Lueng.

Selain itu ada satu peninggalan yakni balai pengajian beliau yang menjadi saksi bahwa beliau pernah berjuang di jalan Allah dalam menyebarkan agama Islam. Balai tersebut sampai sekarang tetap dimanfaatkan oleh anak cucu beliau untuk kegiatan beut-seumeubeut (pengajian Alquran) agar tidak pudar ditelan waktu. Wallahua’lam bisshawab. <19910815nani@gmail.com>

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved