Sederhana, Jujur, dan Pembela Orang Kecil
Saya khawatir dari apa yang kita miliki para pelaku pers saat ini, tidak ada lagi seperti Pak Jakob, beliau pergi, tidak meninggalkan
* Jakob Oetama Menurut Herman Darmo, Mantan Direktur Kelompok Tribun Network (1)
SAYA dan kita semua kalangan pers wajar sangat kehilangan atas meninggalnya Pak Jaob Oetama. Saya khawatir dari apa yang kita miliki para pelaku pers saat ini, tidak ada lagi seperti Pak Jakob. Beliau pergi, tidak meninggalkan sesuatu lagi yang ada pada orang lain. Apa itu? Jawabannya adalah nilai-nilai falsafah atau sikap batin jurnalistik. Beliau sederhana, jujur dan penuh integritas, menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan segala persoalannya. Itu hampir tidak ada pada orang media saat ini. Itulah hal yang sangat menarik pada diri almarhum.
Saya mengenal Pak Jakob Oetama lebih dari 40 tahun. Saat saya masih kuliah di Universitas Indonesia, Pak Jakob adalah dosen, dan saya mahasiswanya. Dulu saya belum begitu kenal. Saat beliau mengajar, saya tertarik betul. Hal yang paling saya ingat adalah beliau pandai ngomong. Pintar merangkai kata. Teratur, serta sopan santun seperti ustaz. Referensi atau footnote luar biasa banyak.
Setamat kuliah, saya bergabung sebagaiwWartawan Harian Kompas, 39 tahun silam. (Herman Darmo purna karya dari Tribun Network-Kompas Gramedia pada 30 Juni 2020-red). Saat awal menjadi wartawan, tidak begitu banyak interaksi dengan almarhum. Saya kenal secara dekat saat wartawan Kompas Parakitri Tahi Simbolon, mendapat tugas belajar ke luar negeri. Saat itu, Parakitri membawa saya ke Pak Jakob untuk mengisi jabatan di Bagian Litbang Kompas yang ditinggalkan Parakitri.
“Saya setuju you (Herman Darmo) yang menggantikan kamu (Parakitri Simbolon). You cocok di sini. Sebab kakek-nenek you kuli kontrak kuli kontrak kan?” begitu kaimatnya Pak Jakob. Kakek-nenek saya memang di Suriname.
Saya baru semakin paham akan nilai-nilai keberpihakan Pak Jakob Oetama pada orang kecil. Prinsipnya tentang “menghibur yang papa dan mengingatkan yang mapan” benar adanya. Dulu wartawan Kompas, memang benar-benar diselidiki sampai latar belakang keluarganya. Calon wartawan tidak boleh anaknya pembesar. Pejabat. Orang kaya. Biasanya wartawan yang diterima, orang-orang kecil dan anak-anak petani, yang keluarganya menderita. Itu dulu. Nah sekarang, itu hilang.
Berpihak kepada orang kecil. Ini juga beliau lakukan, dengan falsafah manusia, kemanusiaan dengan segala masalahnnya. Kemanusiaan itu perlu agar kita mengerti maknanya. Hikmahnya. Dalam bekerja kejujuran dan integritas segala-galanya. Beliau mengatakan, “Kita tidak butuh orang pintar, kita butuh orang jujur. Saya lebih senang bekerja dengan orang bodoh tetapi integritasnya dapat dipegang.”
Dalam keseharian, tidak ada pembedaan antara orang menggelapkan 10 perak, 100 perak, dengan 10 juta rupiah. Demikian juga 1 lembar koran dibawa karyawan dari percetakan, atau satu boks koran hilang, itu sama saja. Sama-sama tidak jujur. Beliau tetap tidak ada toleransi terhadap ketidakjujuran. Dan kejujuran itu tidak bisa digradasikan, dibikin tingkatan. Selama kejujuran diukur berdasarkan tingkatan nilai, itu repot. Ini pula yang menjadi dasar bagai semua media Kompas Gramedia menjaga integritas wartawan dan karyawannya.
Untuk menjaga integritas ini pula, semua Media massa Kompas Gramedia mencantumkan pengumuman bahwa setiap wartawan grup Kompas Gramedia dilarang meminta/menerima pemberian dari narasumber. Jadi integritas seperti itu harus tetap dapat dipegang, sampai sekarang dan besok. (amb)