Kisah Najwa Shihab Undang Menkes Terawan, Selalu Beralasan Tak Bisa Hadir

Pernah dijawab dan memberi alasan tidak bisa hadir namun saat diminta jadwal wawancara ulang, kembali pihaknya tak mendapat respons.

kolase TribunnewsBogor.com dari Kompas.com/Youtube Najwa Shihab
cecar Menteri Terawan soal penanganan Covid-19, Najwa Shihab sindir petisi Menkes mundur 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA- Presenter sekaligus jurnalis Najwa Shibab mengaku, pihaknya telah berulang kali mengirimkan undangan wawancara kepada Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto dalam acara yang ia pandu "Mata Najwa".

"Hampir tiap minggu kami mengundang Pak Menkes, di setiap episode pandemi," ujar Najwa saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (29/9/2020). Namun, jawaban dari pihak menteri kesehatan tidak sesuai harapan.

"Terkadang undangan itu direspon, terkadang juga tidak ada respon," ujarnya.

Ia melanjutkan, pernah dijawab dan memberi alasan tidak bisa hadir namun saat diminta jadwal wawancara ulang, kembali pihaknya tak mendapat respons.

Menteri Kesehatan Terawan Dicari Publik, Kemenkes: Jadwal Pak Menkes Padat

Menkes Terawan Dicecar 16 Pertanyaan soal Covid-19, Najwa Shihab: Siap Mundur Pak Menteri?

Giliran Menkes Utus Staf Khusus Tanggulangi Kasus Covid-19 di Aceh

Najwa memaparkan, ada sejumlah alasan mengapa diperlukan kehadiran pejabat negara untuk menjelaskan kebijakan yang berimbas kepada publik.

"Mengundang dan atau meminta pejabat untuk menjelaskan kebijakan yang diambilnya adalah tindakan normal di alam demokrasi. Jika tindakan itu dianggap politis, penjelasannya tidak terlalu sulit," ujarnya.

Pertama, jika "politik" diterjemahkan sebagai adanya motif dalam tindakan, maka undangan untuk Menkes Terawan memang politis.

Namun tak selalu yang politik terkait dengan partai atau distribusi kekuasaan. Politik juga berkait dengan bagaimana kekuasaan berdampak kepada publik.

"Kami tentu punya posisi berbeda dengan partai karena fungsi media salah satunya mengawal agar proses politik berpihak kepada kepentingan publik," tutur Najwa.

Kedua, setiap pengambilan kebijakan diasumsikan adalah solusi atas problem kepublikan. Siapa pun bisa mengusulkan solusi, namun agar bisa berdampak ia mesti diambil sebagai kebijakan oleh pejabat yang berwenang, dan mereka pula yang punya kekuasaan mengeksekusinya.

Penetapan Ganja Jadi Tanaman Obat Dicabut Sementara, Kementan Koordinasi dengan BNN-Kemenkes

Lagi, Pasien Positif Covid-19 Asal Nagan Raya Meninggal Dunia di RSUZA Banda Aceh

Uni Emirat Arab Akan Meluncurkan Pesawat Ruang Angkasa Tak Berawak ke Bulan pada 2024

Menteri adalah eksekutif tertinggi setelah presiden, dialah yang menentukan solusi mana yang diambil sekaligus ia pula yang mengeksekusinya.

Ketiga, tak ada yang lebih otoritatif selain menteri untuk membahasakan kebijakan-kebijakan itu kepada publik, termasuk soal penanganan pandemi.

Selama ini, penanganan pandemi terkesan terfragmentasi, tersebar ke berbagai institusi yang bersifat ad-hoc, sehingga informasinya terasa centang perenang.

"Kami menyediakan ruang untuk membahasakan kebijakan penanganan pandemi ini agar bisa disampaikan dengan padu. Bedanya, media memang bukan tempat sosialisasi yang bersifat satu arah, melainkan mendiskusikannya secara terbuka," jelasnya.

Keempat, warga negara wajib patuh kepada hukum, tapi warga negara juga punya hak untuk mengetahui apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh negara.

Warga boleh mengajukan kritik dalam berbagai bentuk, bisa dukungan, usulan, bahkan keberatan.

"Publik perlu menyimak paparan rencana pemerintah untuk mengatasi pandemi yang telah berlangsung selama 6 bulan ini," kata dia.(rina/tribunnetwork/cep)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved