Internasional
Pengadilan Jerman Menetapkan Muslim Penolak Jabat Tangan Dengan Wanita Ditolak Kewarganegaraannya
Pengadilan di Jerman memutuskan menolak kewarganegaraan seorang Muslim yang menolak berjabat tangan dengan wanita Jerman.
SERAMBINEWS.COM, BERLIN - Pengadilan di Jerman memutuskan menolak kewarganegaraan seorang Muslim yang menolak berjabat tangan dengan wanita Jerman.
Keputusan itu dikeluarkan kepada seorang dokter Muslim setelah menolak untuk berjabat tangan dengan seorang wanita.
Menurut Pengadilan Baden-Württemberg, pria Lebanon itu telah kehilangan hak untuk menjadi orang Jerman karena penolakannya untuk menjabat tangan birokrat.
Itu menjadi bukti bahwa dia melihatnya sebagai ancaman rayuan seksual, lansir The Telegraph, Selasa (20/10/2020).
Para hakim menjelaskan memperoleh kewarganegaraan Jerman bergantung pada kemampuan pemohon untuk menunjukkan hidup sesuai dengan nilai-nilai yang ditetapkan dalam konstitusi Jerman, menjunjung kesetaraan seksual.
Jabat tangan memiliki tradisi panjang dalam memberi isyarat salam atau mengucapkan selamat tinggal, terlepas dari status sosial atau jenis kelamin," bunyi keputusan itu.
Baca juga: Turki Pindahkan Pos Militer Besar di Morek Suriah, Ini Penyebabnya
“Meskipun ada salam lain yang diakui di Jerman, seperti berciuman atau 'tos', jabat tangan memiliki kepentingan khusus,” kata hakim.
Hakim mengatakan penggunaannya secara formal dalam penyelesaian transaksi bisnis dan sebagai tanda kesepakatan di pengadilan tertentu.
Insiden itu terjadi pada tahun 2015 pada upacara kewarganegaraan yang seharusnya menjadi formalitas sederhana setelah pria tersebut memperoleh skor tertinggi dalam tes kewarganegaraannya.
Sebuah ujian yang menyelidiki seberapa baik imigran memahami sejarah Jerman dan nilai-nilai demokrasinya.
Ketika birokrat perempuan menawarkan tangannya, dia menolak untuk menjabat seusai menyerahkan sertifikatnya.
Pria berusia 40 tahun ini memiliki catatan integrasi yang sukses tanpa cela.
Dia pindah ke negara itu sebagai mahasiswa bahasa pada tahun 2002 sebelum memenuhi syarat sebagai dokter dan kemudian naik ke posisi dokter konsultan di sebuah rumah sakit di Jerman selatan.
Baca juga: Insiden Mengerikan di Kebun Binatang Shanghai: Pengunjung Melihat Pekerja Dicabik-Cabik Beruang
Untuk mendukung kasusnya, dia mengatakan telah berjanji kepada istrinya untuk tidak pernah menyentuh wanita lain.
Namun pengadilan tetap tidak terpengaruh, menggambarkan tindakannya sebagai fundamentalis dan mencerminkan pandangan dunia Salafi.
Para hakim juga tidak terkesan dengan pernyataan yang dia buat yang menyatakan bahwa tidak akan menjabat tangan siapa pun di masa depan, baik itu laki-laki atau perempuan.
Menjelaskan bahwa jabat tangan akan bertahan lebih lama dari pembatasan pandemi saat ini, hakim mengatakan pria itu harus menggunakan gerakan itu di masa depan untuk menjalankan fungsi sosial yang penting.
Ia menambahkan melihat konsesi untuk tidak menjabat tangan siapa pun sebagai langkah taktis murni.
Pria itu sekarang memiliki kesempatan untuk membantah keputusan tersebut di tingkat federal, kesempatan terakhirnya untuk membatalkan keputusan tersebut.
Berjabat tangan telah terbukti menjadi salah satu masalah paling sensitif dalam integrasi semakin banyak migran Muslim konservatif di Eropa.
Pihak berwenang di beberapa Eropa menghukum mereka yang menolak menggunakan isyarat tersebut.
Baca juga: Tanpa Ampun, Khabib Nurmagomedov akan Kerahkan Semua Kemampuan MMA-nya Lawan Justin Gaethje
Pada tahun 2016, otoritas pendidikan di Swiss menjatuhkan denda hingga 3.600 Euro atau sekitar Rp 62 juta untuk orang tua yang menolak menjabat tangan guru.
Dengan alasan guru memiliki hak untuk menuntut jabat tangan.
Hukum Denmark telah mewajibkan orang untuk menjabat tangan administrator pada upacara kewarganegaraan sejak awal 2019.
Kritikus di sana menyebutnya non-Denmark untuk memaksakan kebiasaan lokal pada seseorang, daripada mendorong mereka untuk menyesuaikan diri.
Perselisihan mengenai jabat tangan di Jerman muncul setelah sebuah sekolah di Berlin dipaksa untuk meminta maaf.
Setelah salah seorang gurunya menyebut seorang imam "seorang misoginis" ketika dia gagal menjabat tangannya pada tahun 2016.(*)