Haba Aneuk

Sudahkah Aceh Hebat melindungi anak?

Secara umum setiap Musrenbang Forum Anak juga turut diundang untuk memberikan masukan atau kontribusi. Serta menyerap aspirasinya dalam Perencanaan

Editor: IKL
Haba Aneuk | Edi Husnizal
Walikota Sabang, Nazaruddin saat menyalurkan dana Gerakan untuk Anak Sehat (Geunaseh) Sabang perdana pada 2019 lalu. Program Geunaseh Sabang merupakan program kerjasama Pemerintah Kota Sabang dengan UNICEF dan Flower Aceh sebagai mitra pelaksana dalam upaya pemenuhan nutrisi untuk anak-anak di daerah setempat 

Sudahkah Aceh Hebat melindungi anak?

SERAMBINEWS.COM,- Pemerintah Aceh 15 program unggulan di dalam bingkai Aceh Hebat.

Program-program tersebut menjadi prioritas dan sasaran utama pembangunan Aceh. Aceh Hebat, bertujuan untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat provinsi paling barat Indonesia tersebut.

Firdaus menyebutkan,  secara umum 15 program unggulan itu apabila dilihat lebih jauh dalam bentuk implementasi program di Satuan Kerja Perangkat Aceh SKPA.

Pemerintah Aceh sudah mulai berperspektif Perlindungan Anak.

Misalnya,  dalam Program JKA yang mencakup pelayanan kesehatan bagi anak di dalamnya, alokasi dana pendidikan yang besar, serta adanya regulasi bagi Perlindungan Anak dan Penanganan Kekerasan Terhadap Anak.

Selain itu juga dengan terbentuknya Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak dan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak di Provinsi.

Kerjasama intens dengan Badan Dunia (UNICEF) dalam isu Anak juga dilakukan Pemerintah Aceh, dan mulai melibatkan Forum Anak dalam Musrenbang Provinsi.

Namun demikian, kata Firdaus, KPPAA melihat ada beberapa poin yang harus lebih diperkuat oleh Pemerintah Aceh. Seperti, dengan secara eksplisit dan tegas menyebutkan upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak masuk dalam 15 Program Unggulan dimaksud.

KPPAA mencontohkan Aceh Seujahtera (JKA Plus) di dalamnya ada jaminan kesehatan, gizi dan visum gratis bagi anak korban kekerasan. Aceh SIAT, data terpilah anak dan keluarga rentan.

Aceh Carong, jaminan akses pendidikan dasar dan menengah bagi anak rentan dan korban kekerasan. Aceh Troe,  jaminan asupan pangan bergizi bagi anak rentan dan korban kekerasan.

Selanjutnya Aceh Kreatif, jaminan akses pengembangan kreativitas bagi anak dan remaja secara umum terutama anak rentan dan anak korban kekerasan.

Aceh Peumulia, bantuan hukum bagi anak rentan dan anak korban kekerasan.

Aceh Dame, akses penanganan fisik dan mental bagi anak terdampak konflik langsung dan tidak langsung. Aceh Meu Adab, penguatan kelembagaan perwakilan anak/forum anak, kelompok anak dari tingkat Gampong hingga Provinsi.

“Kemudian ada Aceh Teuga, akses sarana dan prasarana bagi anak rentan, anak disabilitas/disabilitas termasuk bagi anak korban kekerasan. Aceh Green, penanganan dampak perubahan iklim bagi anak.

Aceh Seuniya, pembangunan dan renovasi rumah anak rentan dan akan korban kekerasan.

Serta Aceh Seumegot, pembangunan sarana dan  prasarana penanganan anak rentan dan anak korban kekerasan,” tuturnya.

Di sisi lain, dalam konteks regulasi Aceh sudah memiliki Qanun Perlindungan Anak dan Qanun Tata Cara Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.

Aceh juga sudah memiliki Pergub Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak serta Pergub pendirian UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak.

Akan tetapi, Aceh masih harus menghadapi penegakan hukum yang sering sekali tidak berperspektif Perlindungan Anak. Terutama sejak penerapan Qanun Jinayah yang di dalam implementasinya dinilai tidak berpihak pada anak korban.

Terutama anak korban kekerasan seksual, dimana pelaku ada yang hanya dihukum cambuk bahkan tidak jadi dihukum karena berbagai alasan.

“Di tingkat Kabupaten/Kota, regulasi terkait Perlindungan Anak masih jauh dari harapan. Hanya segelintir Kabupaten/Kota yang memiliki Regulasi terkait Perlindungan Anak.

Seperti Qanun/Pergub Perlindungan Anak, Qanun/Pergub KLA, Qanun/Pergub UPTD PPA dan sebagainya,” ungkap Firdaus.

Secara struktur Aceh telah memiliki SKPA khusus yang menangani Perlindungan Anak yaitu Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Diperkuat oleh Dinas Sosial Aceh melalui Seksi Anak serta UPTD Pelayanan Anak, serta didukung oleh Dinas Pendidikan Aceh, Dinas Kesehatan Aceh dan DRKA.

Tetapi Firdaus melihat fungsi dan peran Dinas PP dan PA Aceh ke depan harus lebih diperkuat dengan dukungan anggaran yang lebih besar dan Struktur/Tim yang juga lebih besar.

Apalagi, berdasarkan Amanah Presiden melalui Perpres 65/2020, Dinas PP dan PA di seluruh Indonesia harus menjalankan fungsi pelayanan.

Artinya UPTD PPA harus ada di seluruh Kab/Kota di Aceh. Sementara UPTD PPA hanya baru ada di tingkat Provinsi (UPTD PPA Dinas PPPA Aceh) dan di Bireuen (UPTD PPA Dinas PPPA Bireuen).

Jika melihat struktur Pemerintah Kabupaten/Kota, seluruhnya sudah memiliki SKPK khusus yang menangani Perlindungan Anak. Namun, dengan anggaran yang sangat minim, SDM  kurang memadai serta belum memiliki UPTD PPA kecuali Bireuen. Masih perlu waktu, tenaga dan anggaran untuk membangun Perspektif Perlindungan Anak di Kabupaten/Kota.

“Dalam konteks anggaran, Pemerintah Aceh dan Pemerinta Kabupaten/Kota harus meredefenisi komitmen dan perspektifnya terhadap Perlindungan Anak,” tegas Firdaus.

Sementara itu, kata Firdaus, untuk membangun pembangunan anak yang berbasis sistem atau disebut Sistem Perlindungan Anak. Komponen terpenting yang harus terus diperkuat terus menerus adalah regulasi, struktur, prosedur dan anggaran serta integrasi.

Katanya, komponen tersebut harus diperkuat dalam satu kesatuan. Satu saja tertinggal, maka sistem tak akan berjalan.

Apabila melihat secara global dalam konteks sistem tersebut, Aceh baru dalam proses sangat awal membangun Sistem Perlindungan Anak.

Upaya masih harus terus dijalankan walaupun dalam keterbatasan. Namun, sangat disayangkan apabila proses awal ini tidak dilanjutkan secara serius.

“Dalam konteks Perlindungan Anak, Pemerintah Aceh penting memperkuat perspektifnya terkait Perlindungan Anak. Harus dibuktikan dalam bentuk implementasi  Pembangunan Perlindungan Anak yang berbasis sistem,” pungkas Firdaus.

Pembangunan Aceh Berspektif Anak

Sementara itu, Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Infrastruktur dan Kewilayahan (PPIK) Bappeda Aceh, Budianto, mengatakan dalam pembangunan bidang Infrastruktur baik jalan, irigasi, penanggulangan bencana serta lingkungan hidup dan kehutanan.

Hal itu dibatasi dengan kewenangan yang mengikat. Sehingga, setiap pembangunan infrastruktur memiliki tanggung jawab atau kewenangan masing-masing baik pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Terkait apakah pembangunan Aceh berspektif anak, Budianto menjelaskan, khususnya pada bidang infrastruktur secara program tidak ada. 

Namun, secara penyediaan sarana dan prasarana untuk kebutuhan anak  telah dilakukan seperti akses air bersih dan sanitasi layak anak, ketersediaan ruang terbuka hijau untuk sarana bermain anak,  dan ketersediaan ruang laktasi di gedung perkantoran dan fasilitas umum.

Dalam menentukan skala prioritas pembangunan di bidang infrastruktur misalnya pembangunan jalan, Pemerintah Aceh mengutamakan pembangunan jalan yang melintasi sarana umum. seperti sekolah, madrasah, pesantren, pusat keramaian dan sarana umum lainya.

“Jadi, sekolah yang merupakan sarana dasar untuk tempat pendidikan anak-anak telah dijadikan skala prioritas dalam menentukan pembangunan,” katanya.

Kemudian begitu juga halnya dalam pembangunan kawasan permukiman, lebih kepada pembangunan sarana umum guna memenuhi kebutuhan dasar.

Seperti air bersih, sanitasi dan sarana bermain anak-anak atau kawasan ruang terbuka hijau.

“Secara umum setiap Musrenbang Forum Anak juga turut diundang untuk memberikan masukan atau kontribusi. Serta menyerap aspirasinya dalam Perencanaan Pembangunan Daerah, salah satunya Forum Anak Tanah Rencong,” ungkapnya.

Kasus Kekerasan Pelecehan Seksual di Aceh Jadi Perhatian Khusus

Kasus pelecehan seksual dan kekerasan terhadap anak di Aceh menyita perhatian Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Termasuk soal penerapan hukuman cambuk yang dinilai tidak memberikan efek jera terhadap pelaku.

Untuk menjawab keresahan masyarakat, 19 Oktober 2020 DPRA telah mengadakan pertemuan lintas sektor.

Dalam pertemuan itu mencuat beberapa usulan termasuk wacana hukuman berlapis yaitu pelaku memungkinkan dijerat menggunakan qanun dan Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA).

Seperti diketahui di Aceh adanya dualisme hukum terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Beberapa daerah di Aceh,  pihak kepolisian ada yang menjerat pelaku menggunakan qanun jinayah dan juga menggunakan UUPA.

Ketua Komisi I DPR Aceh Tgk Muhammad Yunus, mengatakan lintas sektor pemangku kepentingan di Aceh telah duduk membahas soal maraknya kasus kekerasan, dan pelecehan seksual terhadap anak di Aceh.

Dari diskusi itu pihaknya mengambil kesimpulan untuk membentuk tim kecil membahas bagaimana proses hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku, serta keadilan bagi korban.

“Ini menjadi perhatian khusus DPRA, kita akan mencari solusi bagaimana penindakan hukum yang sebaiknya dijatuhkan kepada pelaku pelecehan seksual, agar mendapat hukum yang seberat-beratnya. Serta mencari alternatif bagaimana supaya pihak korban juga mendapatkan hak pemulihannya,” katanya.

Muhammad Yunus menyebutkan, pihaknya juga meminta dan mendorong pemerintah agar membangun penjara khusus bagi pelanggar syariat (qanun jinayah) di Aceh. 

Hal itu dilakukan agar para pelaku selain merasakan efek jera, juga mendapatkan pembinaan khusus.

Selama ini pelaksanaan eksekusi hukuman cambuk masih kerap menjadi sorotan publik. Musababnya, proses hukuman itu dinilai tidak memberikan efek jera, dan memungkinkan pelaku mengulangi lagi perbuatan serupa.

“Aceh berlaku hukum syariat islam (qanun jinayah), maka penjaranya juga harus ada yang penjara khusus,” kata Yunus.

Di dalam qanun jinayah terdapat 3 bentuk hukuman, yaitu takzir (denda), cambuk, dan juga penjara.

Menurut Yunus,  agar pelaku bisa dihukum seberat-beratnya dan memberikan efek jera maka harus ada penjara khusus pelanggar qanun jinayah itu sendiri.

“Kita sangat mendorong dan mengusulkan kepada pemerintah Aceh supaya mengusulkan kepada Mahkamah Syariah, atau pihak Mahkamah mengusulkan ke Dinas Syariat Islam supaya ada penjara khusus bagi pelanggar qanun jinayah ini,” tuturnya. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved