Internasional
Inggris dan Kanada Jatuhkan Sanksi ke Pemimpin Junta Militer Myanmar, Sudah Perkirakan Sebelumnya
Pemerintah Inggris dan Kanada menjatuhkan sanksi kepada para jenderal yang berkuasa di Myanmar.
SERAMBINEWS.COM, LONDON - Pemerintah Inggris dan Pemerintah Kanada menjatuhkan sanksi kepada para jenderal Myanmar.
Kedua negara itu menilai penggulingan pemerintah yang dipimpin sipil sebagai tindakan tidak sah.
Jepang juga mengatakan telah setuju dengan Amerika Serikat, India dan Australia bahwa demokrasi harus dipulihkan di Myanmar dengan cepat.
Dilansir Reuters, Jumat (19/2/2021), negara-negara Barat telah mengutuk penggulingan dan penahanan 1 Februari 2021 terhadap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
Tindakan itu dinilai telah membawa demonstrasi harian ke jalan-jalan.
Menyusul sanksi dari Amerika Serikat yang diumumkan minggu lalu, Inggris dan Kanada mengumumkan tindakan.
Inggris mengatakan akan memberlakukan pembekuan aset dan larangan perjalanan pada tiga jenderal.
Kanada juga mengatakan akan mengambil tindakan terhadap sembilan pejabat militer.
"Kami, bersama sekutu internasional akan meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Myanmar," kata Menteri Luar Negeri Inggris, Dominic Raab.
Baca juga: Pertumpahan Darah Terancam Terjadi di Myanmar, Pasukan Perbatasan Dikerahkan ke Perkotaan
Inggris telah memberlakukan sanksi terhadap pemimpin junta Min Aung Hlaing.
Menuduhnya melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Rohingya dan kelompok etnis minoritas lainnya.
Pemerintah Myanmar tidak segera bereaksi terhadap sanksi baru tersebut.
Seorang juru bicara militer mengatakan pada konferensi pers bahwa sanksi telah diperkirakan sebelumnya.
Kudeta menghentikan transisi tentatif menuju demokrasi yang dimulai pada 2011 setelah hampir setengah abad pemerintahan militer.
Tindakan itu lagi, telah menimbulkan kekhawatiran akan kembali ke era isolasi lama meskipun para jenderal berjanji untuk mengadakan pemilihan yang adil.
Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi mengatakan telah setuju dengan rekan-rekannya di AS, India dan Australia.
Dalam apa yang disebut pengelompokan Quad bahwa demokrasi harus segera dipulihkan di Myanmar.
Tetapi Myanmar memiliki hubungan yang lebih dekat dengan negara tetangga China dan dengan Rusia, yang telah mengambil pendekatan yang lebih lembut.
Baca juga: Unjuk Rasa Anti Mililiter Myanmar, Ratusan Masyarakat Gunakan Ritual Santet dan Kutukan
Ada sedikit sejarah tentang jenderal Myanmar yang menyerah pada tekanan asing.
Tetapi mereka juga menghadapi tantangan di negara berpenduduk 53 juta itu dari protes yang telah menarik ratusan ribu orang dan pemogokan yang telah melumpuhkan banyak bisnis pemerintah.
"Saya tidak ingin bangun pagi melihat kediktatoran muncul lagi," ," kata Ko Soe Min.
Dia berada di kota utama Yangon di mana puluhan ribu orang turun ke jalan-jalan sehari setelah beberapa protes terbesar.
"Kami tidak ingin menjalani sisa hidup kami dalam ketakutan," tambahnya.
Pawai tersebut yang awalnya berjalan damai, berubah menjadi kekerasan, dengan darah kembali terlihat setelah setengah abad sebelumnya.
Polisi telah menembakkan peluru karet beberapa kali untuk membubarkan pengunjuk rasa.
Seorang pengunjuk rasa diperkirakan tewas setelah ditembak di kepala di ibu kota Naypyitaw pekan lalu.
Militer mengatakan seorang polisi tewas karena luka-luka yang dideritanya.
Di kota terbesar kedua, Mandalay, pengunjuk rasa menuntut pembebasan dua pejabat yang ditangkap dalam kudeta tersebut.
Polisi menembakkan meriam air di Ibu KOta Naypyitaw untuk membubarkan kerumunan yang mendekati garis polisi.
Baca juga: Demonstran Myanmar Lakukan Aksi Unik, Mobil Seolah-olah Mogok di Tengah Jalan
Polisi dan tentara menggunakan ketapel untuk membubarkan protes di kota utara Myitkyina, kata seorang penduduk.
Di ibu kota tua Bagan, orang-orang dengan spanduk dan bendera berbaris dalam prosesi warna-warni dengan latar belakang kuil kuno.
Beberapa pengunjuk rasa berhenti di sebuah kuil untuk mengutuk para diktator, kata seorang saksi mata.
Tentara mengambil alih kekuasaan setelah komisi pemilihan menolak tuduhan kecurangan dalam pemilihan 8 November 2020 yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi Suu Kyi.
Suu Kyi menghadapi dakwaan melanggar Undang-undang Penanggulangan Bencana Alam serta dakwaan mengimpor enam radio walkie talkie secara ilegal.
Penampilannya di pengadilan berikutnya telah ditetapkan pada 1 Maret 2021.
Suu Kyi (75) menghabiskan hampir 15 tahun di bawah tahanan rumah atas upayanya membawa demokrasi dan memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991 untuk perjuangannya.
Sementara, jumlah orang yang diketahui telah ditahan sejak kudeta mencapai 495 orang, 460 di antaranya masih ditahan, kata Asosiasi Bantuan Tahanan Politik Myanmar.(*)