Kupi Beungoh
Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (I)
Kami mendapat kabar, mereka ingin diskusi dengan delegasi Indonesia, terutama dari Aceh, tentang Jenderal Van Heutz.
Ahmad Humam Hamid*)
Saya mengawali artikel ini dengan cerita ketika ikut dalam trip advokasi perdamaian dan Hak Asasi Manusia masyarakat sipil Aceh ke Eropah pada tahun 2002.
Di Amsterdam, Belanda, rombongan kami, yaitu saya, Soraya Kamaruzzaman, dan Wiratmadinata, secara sangat tiba-tiba mendapat undangan dari sebuah lembaga think tank ternama Belanda, Clingendael Institute.
Kami mendapat kabar, mereka ingin diskusi dengan delegasi Indonesia, terutama dari Aceh, tentang Jenderal Van Heutz.
Van Heutz ini adalah jenderal Belanda yang sangat terkenal selama perang Aceh.
Karena jadwal kami sudah penuh, akhirnya kami berbagi tugas, Soraya dan Wiratmadinata menghadiri dua acara yang berbeda.
Saya bersama sejumlah teman-teman delegasi Indonesia dari Jakarta bergabung dengan diskusi lembaga think tank itu.
Topik diskusinya sangat sederhana, membicarakan monument Vant Heuzt yang akan dipugar di wilayah Amsterdam Selatan.
Pemerintah Kota Amsterdam dan bahkan pemerintah Belanda menghadapi tantangan keras terhadap keberadaan monumen Van Heustz yang sangat dimusuhi oleh kelompok kiri Belanda.
Bahkan sebagian generasi muda Belanda sangat marah dengan patung itu.
Mereka menganggap Van Heutz sebagai penjahat perang dan penindas rakyat di Hindia Belanda (Indonesia sekarang), khususnya Aceh.
Bagi kerajaan dan kalangan lain, Van Heutz adalah bukti supremasi Belanda terhadap tanah jajahan Indonesia, terutama Aceh, sebuah kawasan “keras” yang sangat sulit ditaklukkan.
Ketika saya dimintakan pendapat tentang rencana pemugaran itu, tentu saja saya tidak bisa memaksa pendapat untuk tidak melanjutkan pemugaran, apalagi menghilangkan jejak Jenderal kebanggaan Belanda itu.
Saya hanya meminta agar pemerintah kota Amsterdam juga membuat sinopsis kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Van Heutz di Aceh, yang tidak hanya terekam dalam memori kolektif masyarakat Aceh pada masa itu.
Kebrutalan Van Heutz oleh media Belanda pada masa itu diejek dengan karikatur yang mencolok.