Internasional

Presiden Iran Sebut Kelompok Garis Keras Sebagai Pengkhianat, Halangi Pencabutan Sanksi AS

Presiden Iran, Hassan Rouhani mengecam keras kelompok garis keras yang dinilai sebagai pengkhianat bangsa.

Editor: M Nur Pakar
IRANIAN PRESIDENCY/HANDOUT via Anadolu Agency
Presiden Iran, Hassan Rouhani 

SERAMBINEWS.COM, TEHERAN - Presiden Iran, Hassan Rouhani mengecam keras kelompok garis keras yang dinilai sebagai pengkhianat bangsa.

Dia menuduh lawannya dari kelompok garis keras itu sedang berupaya menghalangi pencabutan sanksi AS.

Pernyataannya itu menunjukkan bagaimana pemilu yang akan datang di Iran membayangi rencana pemerintahan baru AS.

"Ini adalah pengkhianatan besar bagi bangsa Iran jika ada faksi atau orang yang menunda akhir sanksi bahkan untuk satu jam," kata Hassan Rouhani dalam sambutannya yang disiarkan televisi pada Rabu (17/3/2021).

“Minoritas kecil yang menghalangi jalan ini perlu menghentikan tindakan destruktifnya," katanya.

"Jika berhenti ... pemerintah bisa melanggar sanksi, "tambah Rouhani tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Baca juga: Iran Dukung Serangan Houthi ke Kerajaan Arab Saudi, Berdalih Melawan Arogansi Global

Dilansir AFP, pemerintahan baru Presiden AS Joe Biden ingin menghidupkan kembali perjanjian yang ditinggalkan oleh pendahulunya Donald Trump.

Di mana Iran harus membatasi program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasional.

Setelah Trump keluar dari pakta dan menerapkan kembali sanksi, Iran mengambil langkah-langkah yang melanggar batas nuklir.

Sejauh ini, Iran dan pemerintahan Biden berselisih tentang pihak mana yang harus bergerak lebih dulu untuk menghidupkan kembali perjanjian.

Teheran menuntut Washington mencabut sanksi terlebih dahulu.

Tetapi, Washington meminta Teheran terlebih dahulu untuk melanjutkan kepatuhan dengan kesepakatan itu.

Baca juga: Ukraina Tuduh Iran Sembunyikan Fakta, Pesawat Penumpang Negaranya Jatuh

"Hari ini, kondisinya lebih baik dari sebelumnya untuk pencabutan sanksi," kata Rouhani,.

"Orang Amerika, katanya, bersedia kembali ke kesepakatan itu," ujarnya.

"Namun, kata-kata saja tidak cukup karena lami menunggu tindakan nyata, " ujarnya.

Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif mengatakan kecuali kemajuan segera dibuat untuk memulihkan kesepakatan nuklir, diplomasi akan dihentikan oleh pemilihan presiden Iran yang dijadwalkan pada 18 Juni 2020.

Sedangkan Menteri Luar Negeri Prancis menyalahkan politik pra-pemilihan Iran karena menghalangi kebangkitan kesepakatan nuklir.

Kesepakatan nuklir yang terhenti telah menjadi kebijakan andalan bagi Rouhani, seorang pragmatis yang memenangkan kemenangan telak dalam dua pemilihan presiden terakhir melawan lawan garis keras.

Dia berjanji untuk membuka ekonomi Iran bagi dunia.

Baca juga: Iran Dirikan Kota Rudal Canggih, Dari Rudal Jelajah, Balistik Sampai Perang Elektronik

Rouhani dilarang mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga, walau daftar kandidat belum diselesaikan.

Kelompok garis keras Iran mengatakan sanksi AS adalah bukti kebijakan Rouhani untuk menjangkau musuh gagal.

Penundaan dalam kemajuan masalah nuklir dapat merusak peluang Rouhani menggantikan yang moderat.

Meskipun keputusan akhir tentang inisiatif diplomatik akan diambil oleh Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei daripada presiden terpilih.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved