Jurnalisme Warga

Memanusiakan Manusia di LP yang Indah

Nelson Mandela berkata, “Tidak ada yang benar-benar mengenal suatu bangsa sampai seseorang masuk ke dalam penjara

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Memanusiakan Manusia di LP yang Indah
IST
AYU ‘ULYA, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

OLEH AYU ‘ULYA, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

Nelson Mandela berkata, “Tidak ada yang benar-benar mengenal suatu bangsa sampai seseorang masuk ke dalam penjara. Suatu bangsa tidak harus dinilai dari bagaimana negara memperlakukan warga tertingginya, tetapi yang terendah.”

Sabtu, 25 April 2021, merupakan kali kedua saya berkesempatan mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIA Banda Aceh. Kunjungan pertama saya dalam rangka memenuhi undangan acara silaturahmi dan buka puasa bersama dengan warga binaan pemasyarakatan (WBP) dari Ibu Hj Darwati A Gani pada 14 April 2021. Walau awalnya agak takut, kunjungan perdana tersebut cukup berkesan bagi saya. Sebab, dalam nanarnya mentari menjelang magrib, nyatanya LP Kelas IIA sama sekali tidak sehoror tampilan Azkaban dalam serial Harry Potter.

Kesan baik itulah yang membuahkan keinginan bagi saya dan kawan-kawan untuk menelusuri LP ini lebih dalam lagi. Beruntung, kesempatan itu pun tiba. Kami, sepuluh penulis dan content creator, mengantongi izin untuk menembus masuk melampaui pagar-pagar tinggi, lilitan kawat berduri, dan gerbang-gerbang berkerangka baja. Hal tersebut tidak terlepas dari bantuan Pembina Forum Aceh Menulis (FAMe), Yarmen Dinamika yang merupakan sohib Kepala LP Banda Aceh, Drs Said Mahdar SH.

Sebelumnya, di ruang kunjungan, kami telah melalui serangkaian proses pengecekan suhu tubuh, memakai hand sanitizer, juga masker. Ruang kunjungan tersebut tampak bersih, adem, dan juga ramah anak. Di dalam ruangan luas itu terdapat beberapa bilik. Ada bilik menyusui, bilik layanan informasi dan pengaduan, serta dua bilik terpisah untuk pemeriksaan tubuh pengunjung laki-laki dan perempuan.

Seorang emak blogger asal Jawa Barat yang menyadari fasilitas tersebut sontak bercelutuk, “Ih, bagus banget ya. Dulu aku pas kunjungan ke sini, sekitar tahun 2018, itu belum ada. Waktu itu aku punya bayi. Susah banget karena enggak ada ruang begituan,” curhatnya.

Agenda kunjungan kami diawali dengan tanya jawab dengan Kepala LP, Said Mahdar. Dilanjutkan dengan tur menelusuri setiap sudut LP. Untuk masuk zona kedua LP, kami harus melalui pintu besi seukuran setengah meter. Agar kepala tak terantuk, kami harus merunduk.

Ternyata, zona ini sungguh indah dan cantik. Terdapat kolam luas terbuat dari beton yang dibentuk menyerupai batu kali warna hitam. Beberapa pohon kelapa mini pun ikut mempermanis tampilan kolam. Di ujung kolam terdapat setumpuk bangku dan meja berwarna cerah yang dimodifikasi dari drum bekas. Semua itu hasil karya warga binaan. Bak di kafe-kafe, rasanya sangat nyaman dan santai. Apalagi di sini juga terdapat ruang bakery yang memproduksi roti untuk diperdagangkan di dalam maupun di luar LP. Keseluruhan tampilan tersebut membuat stereotip LP yang katanya kumuh dan angker lenyap seketika.

Melalui celah-celah kawat, kami bisa melihat para warga binaan, seluruhnya laki-laki, sedang berkumpul di balai. Mereka sedang mengikuti kegiatan terapi kelompok sebagai bagian dari program rehabilitasi narkoba. Program tersebut akan berlangsung enam bulan. Dimulai sejak diresmikan oleh Kakanwil Kemenkumham Aceh, Drs Meurah Budiman MH pada 7 April 2021.

“Warga binaan kita ada sekitar 600-an orang. Sekitar 400 orang terjerat kasus narkoba. Sekitar 60 orang sedang menjalani rehab. Kebanyakan dari mereka awalnya menggunakan itu semata untuk keren-kerenan,” jelas sang pimpinan LP berseragam hitam dengan tanda nama S. Mahdar.

Beranjak menuju zona selanjutnya, bertengger sebuah akuarium berisi dua ikan hias bermarga Channa micropeltes asal Kalimantan. Giant snakehead ini tergolong ikan indah dan bermental kuat. Mereka tak terlalu takut pada manusia. Tak heran, sang raja predator air tawar itu tetap berliuk-liuk santai walau diletakkan di sisi pintu besi putar LP, di jalur manusia berlalu lalang.

Memasuki zona ketiga, suasana LP kian mengagumkan. Terdapat sebuah aula terbuka, lapangan warna-warni yang sangat luas, balai yang lebar, dan taman teduh dinaungi pepohonan. Di dalam taman terdapat bangku dan meja beton yang dibuat menyerupai potongan-potongan kayu. Ada pula ayunan besi yang indah, juga karya warga binaan. Di seluruh sisi taman terdapat jalur dengan bidang miring yang ramah disabilitas.

Terdapat pula dapur, gedung bimbingan kerja, dan kantin. Memasuki bengkel kerajinan tersebut, saya dapati hiasan dinding berisi kata-kata afirmatif, “Kami bukan penjahat, tapi kami hanya tersesat. Tiada kata terlambat untuk bertobat.” Saya menghela napas, membatin akan segenap usaha para staf dan pengelola LP Kelas IIA untuk tetap memanusiakan manusia di dalamnya.

“Di lapas ini, ada kegiatan peningkatan skill berupa pembuatan kursi besi. Nah, ayunan besi ini dibuat oleh warga binaan. Jika mau pesan boleh mengabari kami,” jelas Said Mahdar. Tak hanya peningkatan skill, gizi para warga binaan pun diprioritaskan. “Dapur kami punya standardisasi gizi. Setiap hari menunya ayam dan daging. Sampai ada warga binaan yang bosan dan minta disajikan ikan atau ikan asin saja. Tapi itu tak boleh kami lakukan, karena menyimpangi standar gizi harian,” papar Surya, salah satu staf LP Kelas IIA, tersenyum.  

Menuju Santri

Tiba saatnya kami memasuki zona terakhir, kawasan di mana warga binaan tinggal. Kami kembali harus melewati sebuah pintu besi berukuran rendah. Kemudian, tampak berjejer ruang-ruang berwarna biru kelabu mengitari lapangan bola yang luas dan hijau. Sekilas, sel-sel itu mirip kamar asrama, hanya saja pintu, jendela, dan ventilasinya terbuat dari jeruji besi.

Menariknya, di halaman depan ruangan sel, terdapat kebun yang ditumbuhi beragam sayur. Ada juga kolam untuk budi daya ikan di sisi kebun. Beberapa warga binaan ada yang terlihat sedang merajut jala. Ada juga yang sedang bercengkerama dan duduk santai di pinggir kolam ikan lele.

Tak jauh dari situ, terdapat masjid berwarna hijau yang sangat bersih. Beberapa warga binaan dengan setelan baju koko dan peci tampak berzikir menunggu tibanya waktu zuhur. “Di sini ada ruangan yang dikhususkan untuk mereka yang mengikuti program tahfiz. Mereka ikut program atas kehendak sendiri. Konsep kita adalah ‘masuk napi, keluar santri’,” jelas Said Mahdar.

Selama bulan Ramadhan, para warga binaan ikut berpuasa. Mereka sahur dan berbuka puasa bersama. “Saya sudah bertugas keliling beberapa lapas di Indonesia, tapi baru di sini saya lihat budaya warga binaan yang makan bersama-sama dari wadah yang sama. Kalau enggak salah namanya meuramin. Saya pikir, ini unik,” papar Kepala KPLP, Fajar Setiawan MM.

Siang menjelang, matahari kian tinggi. Penjelajahan hari itu pun usai. Warga binaan masih tampak bersemangat melakukan proses rehabilitasi di balai. Beberapa kali mereka menyerukan yel-yel. Kemudian melantunkan doa penuh khusyuk bersama-sama. Suara mereka menggema ke seluruh penjuru LP. Dalam hati, semua kami ikut mengamini.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved