Berita Banda Aceh

Kemenkumham Aceh Ajak Patenkan Sie Reuboh, Ini Resep dan Kisah Lengkap Kuliner Khas Aceh Besar Itu

Tapi ternyata hingga kini Pemkab Aceh Besar belum mendaftar Sie Reuboh ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham RI untuk mendapa

Penulis: Mursal Ismail | Editor: Mursal Ismail
SERAMBINEWS.COM/BUDI FATRIA
Kuliner Sie Reuboh dari Aceh Besar. 

Tak ada ramuan khusus untuk melariskan masakan itu. Resep pembuatan sie reuboh ini juga diwariskan secara turun-temurun oleh keluarga Rusli.

“Saya merupakan generasi ketiga. Usaha rumah makan ini sudah ada sejak 60-an,” ungkapnya.

Namun, di rumah-rumah warga Aceh Besar, khususnya saat meugang memasuki bulan Ramadhan, kuliner yang mengundang kolesterol ini hampir bisa ditemui di setiap rumah warga. Mau mencoba? Yuk ke Aceh Besar. 

Baca juga: Hadapi Senjata Biologis Korea Utara, Calon Menhan AS Berharap Ada Vaksin Khusus

Dari Makanan Meugang hingga Peunajoh Prang

RITUAL meugang diperingati warga Aceh dua atau satu hari menjelang Ramadhan, Idul Fitri, serta Idul Adha.

Ritual itu biasanya dilakukan dengan membeli dan memakan masakan berbahan daging. Bagi masyarakat Aceh Besar, hari meugang tanpa Sie Reuboh terasa hampa.

Rasa Sie Reuboh yang gurih, pedas, dan keasam-asaman membuatnya lezat disantap bersama nasi atau disajikan langsung.

Sie reuboh memang memiliki karakter tersendiri. Selain rasanya yang khas, masakan ini juga tahan lama atau bisa disimpan berhari-hari.

“Sie reuboh tidak akan basi. Kalau sudah dingin tinggal dipanaskan lagi, dan tetap masih enak dimakan,” kata Bidin, seorang penggemar Sie Reuboh.

Seperti warga Aceh Besar lainnya, Bidin tetap menjadikan Sie Reuboh sebagai masakan yang harus ada di rumah pada setiap hari meugang. “Walaupun menu lain ada, Sie Reuboh tetap harus tersedia. Ini wajib,” ujarnya.

Karena tahan lama dan tak cepat basi, makanan ini sering pula menjadi peunajoh prang atau logistik perang.

Seorang mantan kombatan di Aceh Besar mengaku, saat ia masih bergerilya, makanan ini sering menjadi bekal dari keluarga yang dibawanya ke hutan.

“Itu karena makanan ini tahan lama. Jika ingin menyantapnya, cukup dengan dipanaskan saja. Sehingga cocok dibawa saat bergerilya,” ungkap Saifuddin, seorang mantan kombatan yang kini berprofesi sebagai kontraktor.

Kesederhanaan dalam penyajiannya, menjadi salah satu alasan makanan ini cukup digemari, khususnya saat sahur jelang berpuasa di bulan Ramadhan.

Sayangnya, kesederhanaan Sie Reuboh ini juga telah membuatnya dipandang sebelah mata.

Di Banda Aceh, misalnya, sangat sulit menemukan sajian ini di rumah makan atau restoran.

Untungnya, salah satu rumah makan di kawasan Lambaro, Aceh Besar, dan resto ayam tangkap Blang Bintang, masih menyediakan makanan tersebut.

“Dulu, tahun enam puluhan, kakek saya membuka rumah makan yang menyediakan Sie Reuboh di kawasan Jalan Perdagangan, Banda Aceh.

Kemudian 1997, pindah ke Jalan Diponegoro dan dikelola oleh orang tua saya. Barulah sekitar 2006 saya melanjutkan usaha turun-temurun ini di kawasan Lambaro,” ungkap Rusli, pemilik Rumah Makan Delima Baru.

Saat Serambi berkunjung di rumah makan itu, terlihat seorang turis asing sedang menikmati hidangan Sie Reuboh.

Meski tangannya dipenuhi gapah, ia terus saja menyantap makanan itu tanpa perduli orang-orang di sekitarnya.

Ternyata, makanan ini tak hanya cocok di lidah para pribumi, tapi juga bisa diterima di lidah mereka yang tak terbiasa dengan makanan tersebut. Inilah makanan meugang hingga peunajoh prang.

Baca juga: Belajar dari Rumah, Ini 23 Situs Sumber Belajar & 11 Aplikasi Rekomendasi Kemendikbud, Tinggal Klik

Tak Perlu Waktu Lama Memasaknya

SERING ada yang menduga, kuliner Aceh merupakan masakan yang sulit diolah. Teknik memasaknya pun terkesan sulit.

Padahal, tak semua demikian. Buktinya, Sie Reuboh bisa dimasak dalam waktu yang cepat; hanya 30 menit.

Teknik pengolahannya pun jauh dari kesan rumit.

Sederhanakah cara membuat Sie Reuboh? Jawabannya, sangat sederhana. Tak ada literatur dan ketentuan yang mengharuskan penggunaan daging tertentu. Pemilihan daging bisa disesuaikan dengan selera.

Bisa menggunakan has luar dan bisa juga has dalam. Atau, jeroan pun boleh. Bahkan, bisa juga memilih daging sapi atau daging kambing.

Nah... bagaimana dengan bumbunya? Khusus Sie Reuboh, pemakaian bumbu rempahnya tak terlalu banyak.

Yang dibutuhkan hanya bawang merah, bawang putih, cabai merah, cabai rawit, serta cuka-untuk memunculkan rasa asam. Seluruh bahan tersebut mudah diperoleh di pasaran maupun di ladang-ladang penduduk.

Untuk mencitrakan masakan khas yang yang didominasi rasa pedas, Sie Reuboh banyak menggunakan cabai. Kemudian, Sie Reuboh diolah menjadi menu makanan. Proses pengolahannya tak sampai 30 menit.

Agar proses memasaknya lebih cepat dan singkat, dianjurkan menggunakan daging sapi has dalam atau has luar.

Karena, tingkat keempukan lebih dari daging lainnya. Tapi, jika tak ingin repot-repot memasaknya, silakan rasakan kenikmatan sie reuboh ini di resto dan warung makan di Aceh Besar.

Baca juga: PM Malaysia Umumkam Lockdown Nasional Mulai 1 Juni, Penguncian Total Akibat Lonjakan Covid-19

Pedagang melayani pembeli daging pada hari Meugang di kawasan Desa Lapang, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Minggu (11/4/2021).
Pedagang melayani pembeli daging pada hari Meugang di kawasan Desa Lapang, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Minggu (11/4/2021). (SERAMBINEWS.COM/SA’DUL BAHRI)

Tanpa Sie Reuboh, Tak Jadi Meugang

MEUGANG atau yang disebut juga hari palahan, menjadi tradisi sakral di Aceh. Saking sakralnya, jika pada hari meugang tak membawa pulang daging, akan menjadi minder dan dianggap memalukan.

Pada 1986 lalu, seorang pria rela memotong kemaluannya lantaran tak sanggup membawa daging ke rumah mertua pada hari meugang.

Kesakralan ini dilengkapi dengan tradisi tersendiri di masih-masing daerah.

Di Aceh Besar, meugang yang diperingati sehari menjelang Idul Adha, Idul Fitri, dan puasa Ramadhan, akan hampa jika tanpa dilengkapi Sie Reuboh.

Meski tak dilengkapi aturan kuat, masakan ini menjadi menu wajib bagi warga Aceh Besar saat meugang.

Sie reuboh memang memiliki karakter tersendiri. Selain rasanya yang khas, masakan ini juga tahan lama atau bisa disimpan berhari-hari. Satu keuntungan sie reuboh ini, tidak akan basi.

Bila sudah dingin, tinggal dipanaskan, tetap masih enak dimakan kapan pun. Karena itu, saat meugang warga Aceh Besar sering membuat sie reuboh, untuk kemudian disimpan sebagai menu berbuka puasa atau sahur.

Kepupuleran masakan ini bukan hanya digemari oleh warga Aceh Besar. Beberapa warga daerah lain juga sering mencari sie reuboh di warung-warung nasi pada hari biasa.

Tapi bagi warga Aceh Besar, seakan ada isyarat, meugang tak akan sah bila tak dilengkapi dengan sajian menu Sie Reuboh

Cara Daftar Kekayaan Intelektual Komunal Daerah Anda, Termasuk Sie Reuboh

Seperti diberitakan Serambinews.com sebelumnya, setiap daerah pasti memiliki ciri khas masing-masing, termasuk di Aceh. 

Misalnya, makanan seperti Sie Reuboh, tarian, maupun berbagai produk daerah. 

Semua ini disebut sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK).

Oleh karena itu, Pemkab/Pemko diminta menginventarisir KIK ini guna didaftar ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham RI.

Pendaftaran ini juga bisa langsung oleh masyarakat baik secara manual melalui Kanwil Kemenkumham Aceh pada Sub Bidang Pelayanan Kekayaan Intelektual.

Bahkan agar lebih mudah lagi, juga bisa didaftar secara online. Informasi lebih lengkap mengenai hal ini bisa diakses melalui www.dgip.go.id

Tujuan pendaftaran ini antara lain agar KIK ini sah dan terlindungi secara hukum.

Dengan demikian tak bisa lagi diklaim dan didaftar sebagai KIK daerah lain yang sangat berkemungkinan dikomersilkan.  

Kakanwil Kemenkumham Aceh ketika itu, Zulkifli SH MH, menyampaikan hal ini dalam sambutannya saat membuka Diseminasi Kekayaan Intelektual Komunal (KIK).

Diseminasi yang dilaksanakan Divisi Pelayanan Hukum dan HAM ini berlangsung di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Rabu (2/12/2020).

Sedangkan pesertanya 40 orang yang terdiri atas perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh dan kabupaten/kota di Aceh.

Kemudian perwakilan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Aceh dan kabupaten/kota di Aceh.

Terakhir perwakilan Majelis Adat Aceh Provinsi maupun kabupaten/kota di Aceh.    

Zulkifli mengatakan isu kekayaan intelektual sudah semakin dikenal oleh masyarakat yang dibagi menjadi dua, yaitu personal (milik individu/badan hukum) dan komunal.

Komunal artinya milik masyarakat atau komunitas.

“Masyarakat pada umumnya sudah mengenal kekayaan intelektual personal yang antara lain hak cipta, hak paten, merek, desain industri, dan rahasia dagang.

Sedangkan Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) terdiri atas ekspresi budaya tradisional, pengetahuan tradisional, sumber daya genetik, dan indikasi geografis,” kata Zulkifli.  

Zulkifli juga mengatakan sangat yakin masih banyak kekayaan intelektual komunal yang bisa didaftar untuk mendapatkan perlindungan hukum, baik itu tarian, motif, musik, upacara adat.

Begitu juga budaya-budaya tradisional yang ada di kabupaten/kota di Aceh.

Sebagai contoh yang sedang viral sekarang, tarian Saman Aceh, yang saat ini juga dimainkan oleh anak-anak di Rusia persis seperti aslinya, bahkan intonasinya tak cadel sedikit pun.

Nah, jika dulunya Saman tak terdaftar sebagai KIK dari Aceh, bisa saja tarian ini diklaim milik daerah lainnya yang sudah bisa meniru persis ini,” kata Zulkifli.  

Sebelumnya hal yang sama disampaikan Kasubbid Kekayaan Intelektual Kanwil Kemenkumham Aceh, Taufik SH, sebagai panitia diseminasi ini.

Bahwa maksud dan tujuan diseminasi ini untuk menyampaikan informasi kepada peserta terhadap pentingnya pencatatan atau pendaftaran terhadap ekspresi budaya tradisional.

Begitu juga terhadap pengetahuan tradisional, sumber daya genetik, dan indikasi geografis.

“Guna mencegah klaim dari pihak lain yang memanfaatkan secara komersial,” kata Taufiq.

Adapun pemateri diseminasi ketika itu, Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil Kemenkum Aceh, Sasmita SH MH (Hak Cipta dan Kekayaan Intelektual Komunal).

Satu lagi perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh (Peran Dinas Kebudayaan dalam Melindungi Seni dan Kebudayaan di Aceh).

Saat pembukaan acara ini, Zulkifli SH MH, juga menyerahkan sertifikat merek dagang dari DJKI Kemenkumham RI kepada beberapa pelaku usaha di Banda Aceh. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved