16 Tahun Perdamaian Aceh

Damai Aceh Sudah Berusia 16 Tahun, YARA Ultimatum Tokoh Perdamaian Aceh

Ultimatum itu disampaikan bertepatan pada peringatan 16 tahun Hari Damai Aceh.

Penulis: Masrizal Bin Zairi | Editor: Mursal Ismail
For Serambinews.com
Ketua YARA, Safaruddin 

Ultimatum itu disampaikan bertepatan pada peringatan 16 tahun Hari Damai Aceh.

Laporan Masrizal | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) mengultimatum para penandatangan MoU Perdamaian Aceh agar melaksanakan butir  1.1.4 MoU Helsinki yang menyebutkan batas Aceh merujuk pada peta 1 Juli 1956. 

"Kami telah menyurati pemerintah pusat (Kemendagri, Kemenkum HAM, Badan Pertanahan Nasional), DPRA dan Partai Aceh mengenai Peta Aceh 1 Juli 1956 tapi sampai saat ini kesemuanya menyampaikan tidak menguasai peta tersebut," kata Ketua YARA, Safaruddin kepada Serambinews.com, Minggu (15/8/2021).

Ultimatum itu disampaikan bertepatan pada peringatan 16 tahun Hari Damai Aceh.

Tahun ini, Hari Damai Aceh diperingati secara sederhana di Gedung Serba Guna Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, Banda Aceh, Minggu (15/8/2021).

Ultimatum ini, kata Safaruddin, perlu menjadi perhatian serius dari para pihak karena kesepakatan yang telah ditandatangai tersebut bukan hanya mengikat para pihak.

Tetapi juga seluruh rakyat Aceh, baik yang mendukung Gerakan Aceh Merdeka maupun Pemerintah Republik Indonesia saat terjadi konflik di Aceh.

Selain itu, Safaruddin juga mendesak para pihak untuk melaksanakan butir 1.3.5 MoU Helsinki, yang berbunyi

“Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.

Saat ini, masih banyak pelabuhan laut dan udara belum di kelola oleh Pemerintah Aceh," ungkapnya.

Kemudian YARA mendesak para pihak untuk segera membentuk Pengadilan HAM sebagaimana telah di sepakati dalam butir 2.2.2. Desakan ini disampaikan karena sampai saat ini Pengadilan HAM belum di bentuk di Aceh.

"Kami telah menyurati pemerintah pusat mempertanyakan alasan belum di bentuknya Pengadilan HAM di Aceh," sebut Ketua YARA.

Tapi oleh Kementerian Sekretariat Negara melalui surat Nomor  B-02/S/Humas/HM.00.00/08/2021 tanggal 11 Agustis 2021, meminta YARA untuk mempertanyakan kepada Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.

"Dan hal tersebut telah kami sampaikan juga kepada Kemenko Polhukam tentang hal yang sama dan masih menunggu jawaban dari Kemenko Polhukam," kata Safaruddin. 

Selanjutnya, YARA juga mendesak para pihak untuk membuka kepada masyarakat Aceh jumlah dana yang telah dialokasikan oleh pemerintah pusat untuk rehabilitasi harta benda masyarakat Aceh yang hancur akibat konflik GAM dan Pemerintah RI, sebagaimana di sepakati dalam butir 3.2.4 MoU Helsinki yaitu “Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh”.

Mendesak para pihak dan Pemerintah Aceh (Gubernur dan DPRA) untuk segera membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menyelesaiakan klaim harta benda masyarakat Aceh yang musnah akibat konflik. 

Komisi tersebut, telah disepakati oleh GAM dan Pemerintah RI dalam MoU butir 3.2.6. yang menyatakan Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan. 

Pentingnya lembaga ini, menurut Safaruddin karena sampai saat ini masih sangat banyak harta benda masyarakat Aceh yang musnah akibat konflik dan menyebabkan kemiskinan saat itu belum di ganti kerugiannya oleh pemerintah.

Tak hanya itu, YARA juga mendesak para pihak untuk segera melaksanakan MoU Helsinki butir 3.2.5 yang menyatakan “Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi pasukan GAM kedalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak."

Safaruddin juga meminta pemerintah menyampaikan secara terbuka kepada masyarakat Aceh sejauh mana sudah mana sudah implementasi ini jika sudah di laksanakan.

"Kami akan memantau dengan serius ultimatum ini, dan jika tidak dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu dalam tahun 2021 ini maka kami akan mengambil upaya hukum bagi para pihak," tegas Safaruddin.

Keseriusan para pihak untuk menjalankan komitmen politiknya, kata Safaruddin, sangat mempengaruhi kepercayaan rakyat Aceh, baik itu untuk Gerakan Aceh Merdeka yang sudah bertransformasi ke Partai Aceh maupun kepada pemerintah pusat.

"Sejarah telah mencatat, pengingkaran-pengingkaran terhadap kesepakatan perdamaian di Aceh telah melahirkan pemberontakan selanjutnya terhadap negara, dan sejarah itu tidak perlu lagi terjadi jika komitmen perdamaian itu dijalankan dengan sepenuh hati," tutupnya. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved