Internasional

Perempuan dan Minoritas Afghanistan Belajar Hidup Dibawah Bayang-bayang Taliban

Para perempuan dan minoritas di Afghanistan harus belajar hidup dibawah bayang-bayang Taliban, penguasa defacto Taliban.

Editor: M Nur Pakar
AFP
Perempuan Afghanistan mengambil bagian dalam pertemuan di sebuah aula di Kabul pada 2 Agustus 2021 untuk menentang klaim pelanggaran HAM terhadap perempuan oleh rezim Taliban. 

SERAMBINEWS.COM, KABUL - Para perempuan dan minoritas di Afghanistan harus belajar hidup dibawah bayang-bayang Taliban, penguasa defacto Afghanistan

Para pejabat Taliban telah berusaha keras memproyeksikan citra kelompok yang bertanggung jawab dan toleran, hampir 20 tahun setelah dilengserkan dari kekuasaan.

Berbicara kepada media berita pada 18 Agustus 2021 di Kabul, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid berjanji akan menghormati hak-hak perempuan.

Bahkan, akan memberikan amnesti kepada mereka yang menentang dan berjanji ttidak akan pernah lagi menjadi tempat yang aman bagi teroris.

Komentarnya menggemakan komentar Shahabuddin Delawar, seorang perunding senior Taliban.

Dia mengatakan di Moskow pada 9 Juli 2021, bahwa kelompok itu akan memastikan perempuan dan anak perempuan memiliki hak untuk bekerja dan pendidikan.

Asalkan hak-hak itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Baca juga: Taliban Pamer Pasukan Khusus, Berseragam Tentara dan Dilengkapi Senjata AS

Namun kenangan tentang pemerintahan Taliban di Afghanistan sebelum invasi AS tahun 2001 tetap menjadi kisah peringatan.

Baik, melalui foto dan video militan mencambuk wanita tak berdaya yang terbungkus burqa, berlutut di atas debu.

Dilansir ArabNews, Jumat (27/8/2021), dari tahun 1996 hingga 2001, pemisahan gender yang ketat diberlakukan oleh Taliban.

Sebuah kelompok fundamentalis Islam Pashtun yang mengisi kekosongan kekuasaan di Afghanistan setelah perang saudara yang berkepanjangan.

Setelah menerapkan interpretasi Syariah, perempuan tidak diizinkan meninggalkan rumah tanpa kerabat laki-laki.

Sedangkan anak perempuan di atas usia tujuh tahun tidak mendapat pendidikan dan sering berakhir dinikahkan dengan laki-laki yang jauh lebih tua.

Sistem apartheid gender yang dilembagakan oleh Taliban, wanita diharuskan mengenakan burqa setiap kali keluar rumah.

Pakaian itu, yang pas di kepala dan memanjang sampai ke mata kaki, membuat wanita Afghanistan itu nyaris tak berbentuk dan tak bisa dikenali di depan umum.

Mereka yang melanggar aturan dan norma moral menghadapi hukuman berat.

Sering kali melibatkan cambuk di depan umum.

Untuk pelanggaran yang lebih serius, seperti perzinahan, praktik rajam menjadi hal biasa.

Tapi hampir dua dekade kemudian, pejabat Taliban seperti Mujahid dan Delawar, dan juru bicara Suhail Shaheen, mengisyaratkan kelompok itu telah melunakkan sisi kasarnya.

Namun, hanya sedikit orang Afghanistan yang yakin.

Bahkan, sangat ingin mendapatkan kursi pada penerbangan evakuasi Barat dari bandara Kabul merupakan indikasi.

Lebih sedikit lagi yang mau berbicara secara terbuka tentang masalah ini, karena takut akan pembalasan.

"Semua orang menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi di bawah Taliban," kata seorang warga Kabul kepada Arab News.

“Perempuan keluar dari rumah sekarang, tetapi semua mengenakan jilbab," tambahnya.

"Sebelumnya berbeda, beberapa memakai dan yang lain tidak," ujarnya.

"Sekarang mereka semua memakainya karena takut pada Taliban," jelasnya.

Wanita lain yang berbasis di Kabul, juga berbicara secara anonim, mengatakan:

“Kami tidak berharap semuanya sama seperti sebelumnya."

"Akan ada beberapa perubahan."

"Kami menunggu untuk melihat klarifikasi tentang kebijakan yang dikeluarkan oleh Taliban ini.”

Baca juga: Kabul Jadi Kota Zombie, Ketakutan Mencengkeram Warga Afghanistan

Banyak orang Afghanistan ingin percaya, mengabaikan naluri mereka, bahwa Taliban akan lebih moderat kali ini.

Namun, laporan anekdot tentang kekejaman yang terjadi di seluruh negeri telah membuat publik gelisah.

"Ada desas-desus selama seminggu terakhir bahwa wanita lajang di luar Kabul telah diambil dan dinikahkan," kata juru bicara satu organisasi di Afghanistan.

“Hal utama yang perlu diingat bukanlah Taliban mengatakan satu hal dan melakukan hal lain," ujarnya.

"Taliban belum menjadi satu tubuh secara utuh,” tamsilnya.

Memang, sebuah pernyataan pada Selasa (21/8/2021), juru bicara Taliban menyatakan wanita harus tinggal di rumah untuk sementara waktu.

Karena beberapa pejuang mereka belum diajari bagaimana berprilaku dengan benar.

Masuda Sultan, seorang pengusaha Afghanistan-AS dan advokat hak asasi manusia, mengatakan kepada Arab News:

“Tidak jelas apakah ini berlaku untuk semua wanita atau wanita di beberapa posisi."

“Kebanyakan wanita tidak meninggalkan rumah mereka dan ketakutan.

"Orang-orang sangat berhati-hati."

"Laporan berita terbaru menunjukkan Taliban merekomendasikan tinggal di rumah untuk saat ini."

"Ini seperti pemerintahan militer sekarang."

"Mereka mengatakan gaji perempuan akan dibayar tetapi lebih banyak pelatihan diperlukan untuk orang-orang mereka sendiri.”

Wanita bukan satu-satunya orang di Afghanistan yang khawatir tentang apa yang terjadi selanjutnya.

Etnis minoritas, khususnya Hazara, kelompok mayoritas Syiah yang terkonsentrasi di wilayah pegunungan tengah Hazarajat, juga menghadapi penganiayaan.

Merupakan sekitar 10 sampai 20 persen dari populasi, Hazara diturunkan ke anak tangga terbawah dari tatanan sosial.

Dipuncaki oleh Pashtun, sebuah etnis dari mana Taliban mendapat sebagian besar dukungannya.

Kelompok etnis lain orang-orang Tajik, Uzbek, Turkmenistan, Baloch, Pashai, Nuristani, Gujjar, Arab, Brahui, Sadat, Kirgistan, dan Pamiri - juga tidak yakin di mana mereka berdiri.

Hazara tentu punya alasan untuk takut lagi.

Setelah menguasai provinsi Ghazni, gerilyawan Taliban membunuh sembilan orang Hazara antara 4 Juli dan 6 Juli 2021 di desa Mundarakht di Distrik Malistan.

Saksi mata mengatakan enam dari pria itu ditembak dan tiga disiksa sampai mati.

Human Rights Watch telah mendesak Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk menyelidiki laporan serupa tentang kekerasan Taliban menjelang jatuhnya Kabul pada 15 Agustus 2021.

Orang Afghanistan mengatakan Taliban menangani hak-hak perempuan dan minoritas ke depan akan sangat bergantung pada jenis pemerintahan yang terbentuk.

Ketika kelompok itu mempererat cengkeramannya pada kekuasaan.

“Meskipun Taliban telah mengambil alih sebagian besar negara, mereka belum benar-benar meresmikan kesepakatan politik," kata Sultan.

Baca juga: AS dan Inggris Desak Warga Afghanistan Tinggalkan Bandara Kabul, Ancaman ISIS Semakin Meningkat

"Pada saat yang sama mereka menghadapi tantangan pemerintahan,” tambahnya.

“Kami membutuhkan dan ingin melihat kebijakan yang baik tentang perempuan dan anak perempuan," harapnya.

Dikatakan, Taliban telah mengeluarkan pernyataan yang menyatakan perempuan dan anak perempuan akan memiliki hak dalam hukum Syariah.

Banyak orang telah mengambil pendekatan menunggu dan melihat.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved