Jurnalisme Warga
Surat Terbuka dari Seorang Dokter Paru
Face shield dan masker yang saya pakai membuat suasana makin sunyi senyap. Kulit terasa panas, peluh mengalir deras, mulut mulai terasa kering

Penderitaan Anda yang sangat perih akan dilupakan orang.
Kadang saya bertanya, apakah Anda hanya korban dari informasi yang salah atau berita bohong di luar sana?
Saya ingin teriak sekuatnya kepada semua penyebar berita bohong itu, “Ini akibat perbuatan kalian!”
Tapi saya terlalu lelah untuk berteriak, setelah bekerja lebih dari setahun dalam pandemi ini.
Terlalu sering saya menghadapi orang-orang yang selalu saja merasa benar sendiri.
Mereka tak mau mendengarkan dokter, tak mau menerima fakta di sekitarnya, tak mau menggunakan akal logika pengetahuan.
Akibatnya, kini saya merasa sama dengan pasien saya: lemah tak berdaya.
Sisi lain dari perang ini di balik ketidakberdayaan, Anda tetaplah misteri menarik bagi saya.
Walau usia, pekerjaan, maupun histori penyakit Anda sudah ada pada rekam medik, saya tetap ingin mengenal Anda dari sisi lain.
Ingin tahu sesuatu di balik mata lemah Anda yang begitu mendung.
Pernah saya lihat sosok Anda dalam foto keluarga yang dibawa anak Anda.
Di sana Anda tampak penuh harapan dan cita.
Anda tampak sangat dicintai, dipeluk hangat oleh anak Anda.
Tapi mengapa Anda menolak vaksin? Bukankah Anda mencintai keluarga Anda, dan keluarga adalah hal yang penting di dunia?
Pernah saya bertanya pada anak Anda, “Kenapa ayahmu dulu tidak ikut vaksinasi?” Saya sedih melihat dia yang masih terlalu muda jika kehilangan ayahnya.