Setelah Tempuh Perjalanan 10.000 Km Naik Motor, Pasutri Asal Aceh Tiba di Nol Kilometer Merauke
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh itu mengirim WA tersebut dari Merauke, Papua, ujung paling timur Indonesia.
Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Amirullah
Laporan Yarmen Dinamika l Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - "Alhamdulillah, kami sudah tiba di ujung ya," demikian pesan singkat melalui WhatsApp yang dikirimkan Dr Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad kepada Serambinews.com tanggal 10 Oktober 2021 pukul 16.55 WIB.
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh itu mengirim WA tersebut dari Merauke, Papua, ujung paling timur Indonesia.
Kamaruzzaman mengabarkan bahwa ia dan istri, Fitri Zulfidar, tiba di Merauke pukul 14.00 WIT atau pukul 12.00 WIB.
Sebagai pembuktian bahwa Dr Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad sudah tiba di sana, ia mengirim beberapa fotonya bersama sang istri di Tugu Nol Kilometer Merauke-Sabang.
Di depan tugu itu pula "pasangan tangguh" ini membentangkan flyer (poster kecil) yang mereka bawa dari Aceh, bertuliskan Touring Indonesia Harmoni. Logo beberapa sponsor touring terlihat di pamflet mini tersebut.
Touring dalam rangka memperkenalkan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di sepanjang jalan yang mereka singgahi itu memakan waktu 73 hari.
KBA, begitu Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad biasa disapa, adalah Ketua FKPT Aceh. Ia merasa perlu memperkenalkan di tempat-tempat yang disinggahinya apa itu FKPT.
Baca juga: Ustaz Abdul Somad Menyelam di Objek Wisata Incaran Uni Emirat Arab di Kepulauan Banyak Aceh Singkil
Baca juga: Pencapaian Valentino Rossi Dianggap Tak Mampu Dilampaui oleh Marc Marquez Sekali pun
KBA beruntung karena punya istri yang punya hobi traveling ikut dalam misi tersebut. Berdua saja mereka 73 hari lalu meninggalkan rumahnya di Banda Aceh menuju Merauke.
Perjalanan superpanjang itu seluruhnya ditempuh berboncengan naik sepeda motor (sepmor) merek Kawasaki Versys X 250 CC.
Total perjalanan yang dilalui pasangan ini lebih dari 10.000 km. "Saat berangkat dari Banda Aceh kami mulai di angka 29.480 km. Saat tiba di Merauke di speedometer tertera angka 39.618 km," sebut putra Krueng Mane, Aceh Utara ini.
Belum pernah ada pasutri dari Aceh yang tiba di Merauke dengan mengendarai sepeda motor, kecuali KBA dan belahan jiwanya, Fitri.
Selama perjalanan, sepmor yang mereka kendarai harus empat kali diservis. Tapi hebatnya, ban sepmor tersebut bertahan hingga ke Merauke, tanpa perlu diganti dengan yang baru.
Perjalanan superjauh ini tidak selamanya mulus dan nyaman.
Kendala, meski kecil, tetap saja ada.
Baca juga: Jokowi Bersama Airlangga Groundbreaking Smelter Freeport, Mampu Olah 1,7Juta Ton Konsentrat Tembaga
"Di Padang, lahar kendaraan kami patah dan harus diganti," kata KBA menceritakan salah satu kendala perjalanannya.
Ia juga menyebutkan sejumlah lintasan yang paling menantang. Yakni, jalur Kalimantan, meliputi Berau, Kelay, dan Wahau.
"Jalur di Sulawesi juga ada yang ekstrem. Misalnya, Bahodopi, Marosi, Kebun Kopi, Morowali, dan jalur-jalur pegunungan di Erenkang- Toraja-Palopo," rinci KBA.
Jauh menjelajah, ia kini jadi hafal titik-titik penyeberangan saat sepmornya harus naik feri (kapal penyeberangan) antarpulau.
Pertama, menyeberang dari Bakaheuni-Merak, lalu
Semarang-Kumai, lanjut
Sungai Ular-Nunukan, dan
Nunukan-Pare Pare.
Baca juga: Tanda-Tanda Detak Jantung Lambat, Jadi Kebingungan hingga Bisa Pingsan, Ini Beberapa Penyebabnya
Berikutnya 'nyebrang' dari Bitung ke Ternate; Ternate ke Sidonggali; terakhir Weda ke Sorong, Papua.
Sesampainya di Tanah Papua ada tiga kebahagiaan KBA dan sang istri.
Pertama, kebahagiaan saat tiba dan berfoto dalam berbagai pose di Tugu Kilometer Nol Merauke-Sabang.
Kedua, ternyata baru mereka pasutri dari Aceh yang melawat sampai ke Merauke dengan naik sepeda motor.
Ketiga, di Papua, KBA dan istri jumpa dengan kontingen PON XX dari Aceh.
"Kami sempat bikin video dengan kontingen PON dari Aceh di Papua. Kami bikin yel-yel dan doakan kontingen Aceh berjaya," ungkap KBA.
Lalu, apa hikmah dan kesimpulan yang bisa diambil dari perjalanan panjang ini?
Ini jawaban KBA: Indonesia ini sangat luas. Setiap kami melewati daerah, kami selalu berjumpa dengan orang baik dari berbagai suku dan agama yang ada di tanah air.
Apa ada yang perlu diprihatini?
"Ya, prihatin juga dengan kondisi alam nusantara yang sudah dikeruk. Sekarang banyak musibah atau banjir, karena ulah sebagian kalangan yang menjalankan perusahaan, tapi aktivitasnya ikut merusak alam sekitar," jawab KBA.
Ia tambahkan, misi Touring Indonesia Harmoni hanyalah sebagai upaya untuk memperkenalkan FKPT di daerah-daerah yang mereka singgahi di sepanjang jalur nusantara.
Menariknya, di sepanjang perjalanan, baik di daerah yang terkenal ada terorisnya maupun yang nihil, tidak sekalipun perjalanan KBA dicegat atau diadang. Tidak juga oleh perampok atau begal.
Padahal, KBA dan istri sering inap di rumah penduduk jika tidak ada penginapan di daerah setempat. Selebihnya, pasutri ini mencari penginapan murah.
KBA juga setiap hari update progres perjalanannya di Instagram.
"Benar, perjalanan kami aman-aman saja. Alhamdulillah, tidak ada yang cegat, tak ada yang mempersulit. Semua kegiatan touring kami, hari per hari, ada di IG saya," kata KBA.
Dia dan istri punya kiat khusus saat melakukan perjalanan superjauh ini. "Kami selalu berprasangka baik terhadap orang-orang yang kami temui," tandas KBA.
Ia juga sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah berjasa membantu kelancaran misi Touring Indonesia Harmoni sejak dari Aceh hingga ke Papua kini.
Baca juga: Dituding Hambat Pembagian Lahan Eks HGU PT CA Hingga Dilaporkan ke Ombudsman, Begini Klarifikasi BPN
"Banyak biker yang bantu kami dan teristimewa jasa Pak Ma'ruf," ungkap KBA.
Pak Ma'ruf yang dimaksud KBA adalah AKP Ma'ruf Suroto selaku Polisi Pahlawan Perbatasan di jalur Papua-Papua Nugini.
Mumpung sudah tiba di tujuan akhir, Tanah Papua, KBA dan istri tak ingin buru-buru pulang. Mereka melaju lagi ke tempat khusus yang punya guratan sejarah dalam likur pergerakan kemerdekaan Indonesia: Boven Digoel.
Sejumlah tokoh nasional pernah dibuang ke Boven Digoel, di antaranya Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Kedua toko pergerakan nasional itu dibuang ke lokasi sepi dan berhutan lebat itu pada 28 Januari 1935 silam hingga setahun kemudian. Mereka dianggap musuh pemerintah kolonial Belanda karena membangkang.
Selain Hatta dan Sjahrir, mereka yang dibuang ke Digul di antaranya Mohamad Bondan, Maskun, Burhanuddin, Suka Sumitro, Moerwoto, Ali Archam, dan sejumlah pejuang lainnya.
Bagi para pejuang pergerakan, Digoel adalah tempat pembuangan yang paling menyeramkan.
Digoel dibangun oleh Gubernur Jenderal De Graeff pada 1927 sebagai lokasi pengasingan tahanan politik. Di sekeliling Digul terdapat hutan rimba dengan pohon yang menjulang tinggi.
"Alhamdulillah, ini hari kami sampai di Boven Digoel. Sungguh penuh perjuangan untuk sampai ke tempat bersejarah ini," kata KBA pada Selasa (12/10/2021) pukul 14.15 WIB.
Jarak Merauke-Boven Digoel tercatat di Google Map 307 km. Tapi jangan kira jalannya mulus. Baru bisa tembus dalam 6 jam naik sepmor. "Motor kami berkali-kali jatuh. Badan kena lumpur karena jalannya memang berkubang lumpur," lapor KBA.
Seusai dari Digoel, KBA dan istri berencana pulang menuju Banda Aceh setelah dua bulan lebih terpisah dengan lima anak dan keluarga besarnya di Aceh.
Seperti saat pergi, semoga lancar pula perjalanan pulang pasangan ulet dan rukun ini. Aceh Hebat menunggu. (*)