Opini
Dana Otsus Aceh: Problem dan Solusi
Hingga kurun empat belas tahun masa alokasinya, 2008-2021, total dana otonomi khusus yang telah diterima Aceh
Oleh. Nurchalis SP, M.Si,
Ketua ICMI Aceh dan Wakil Ketua Bidang Ekonomi Partai Nasdem Aceh
Hingga kurun empat belas tahun masa alokasinya, 2008-2021, total dana otonomi khusus yang telah diterima Aceh adalah kurang lebih sebesar Rp 88,883 triliun. Sebuah anggka yang cukup besar baik jika dibandingkan dengan besaran rata-rata APBA sebelum implementasi otonomi khusus, maupun dengan rata-rata besaran APBD daerah-daerah lain di Indonesia.
Namun pertanyaan besar yang selalu mengelayut dan terus menjadi topic gugatan publik adalah mengapa anggaran yang sebesar itu tak kunjung berdampak pada kesejahteraan rakyat Aceh, justru sebaliknya Aceh malah menjadi provinsi juara termiskin di Sumatera dan berada di peringkat kisaran enam-tujuh termiskin di Indonesia.
Faktor Penyebab
Saya mencermati setidaknya ada enam kelemahan yang menjadi faktor penyebab dana otsus gagal menyejahterakan rakyat Aceh yaitu, Pertama; keterlambatan penyusunan masterplan. Masterplan pengelolaan dan pemanfaatan dana otsus baru disusun oleh Pemerintah Aceh pada tahun 2015, tujuh tahun setelah alokasi dana otsus berlaku.
Sebelumnya hanya berdasar pada Peraturan Gubernur yang hanya mengatur komposisi dan besaran alokasi per kabupaten dan peruntukan sektoral, tanpa ada skema program yang yang lebih detail, komprehensif, holistik, dan terintegrasi.
Kedua; visi dan inovasi program Pemerintah Aceh yang sangat lemah, terjebak dalam kultur business as usual hingga lahirlah banyak program cilet-cilet, remeh-temeh, yang tidak berdampak apapun bagi kemajuan Aceh.
Ketiga; ego sektoral yang menyebabkan orientasi pembangunan Aceh lebih menitik-beratkan pada distribusi, bagi-bagi input (anggaran) dan output (keluaran fisik), alih-alih outcome (hasil) dan impact (dampak).
Keempat; pembangunan Aceh dikelola dengan pendekatan proyek yang hanya mementingkan realisasi anggaran, tapi abai terhadap target pencapain outcome dan impact.
Kelima, pembangunan Aceh tidak dilaksanakan dalam skema yang terintegrasi, terkoneksi, dan terkomplementasi antar SKPA, dan juga antar SKPA dengan SKPK.
Di luar itu tentu belum lagi masuk indikasi kasus-kasus korupsi yang menyebabkan pembangunan berbiaya tinggi di Aceh. Akumulasi dari kesemua faktor ini menyebabkan dana otsus gagal menjadi stimulan bagi tumbuhnya sektor-sektor produktif yang tak lain adalah prasyarat utama bagi pertumbuhan ekonomi Aceh.
Apa yang dapat kita simpulkan dari fakta negatif ini adalah kerja-kerja Pemerintah Aceh telah terjebak dalam pola kegagalan sistemik. Kalau sudah sampai pada tingkat ini, maka tidak ada bedanya, dana otsus mau ditambah seribu triliun sekalipun tetap tidak akan mengubah keadaan, tetap akan hangus, sia-sia, dan tidak berdampak dalam menyejahterakan rakyat Aceh.
Disorientasi, ketiadaan visi, absennya komitmen politik, dan ketidakcakapan teknis adalah kombinasi faktor penyebab pembangunan Aceh terus gagal dan sia-sia sehingga Aceh terus terpuruk dan tertinggal.
Dalam siklus kegagalan ini, di sisi lain kita belum melihat upaya Pemerintah Aceh untuk betul-betul serius mengevaluasi dan mencari tahu kelemahan dari tata kelola dana otsus selama ini untuk kemudian dijadikan referensi dalam memperbaiki manajemen pengelolaannya hingga memberikan dampak positif yang maksimal bagi rakyat Aceh.
Buruknya tata kelola terus terjadi dari tahun ke tahun tanpa ada perbaikan hingga kesiaa-siaan dana otsus pun terus berlangsung bagikan cerita bersambung.
Tak heran, di tengah disorientasi akut ini satu-satunya pendekatan standar yang terpikirkan oleh (beberapa) elite Aceh adalah meminta dan membangun wacana perpanjangan alokasi dana otsus ke pusat.
Terlepas dari wacana ini bernuansa politik atau tidak, saya ingin memberi catatan bahwa pertama, dana otsus itu tak lebih adalah perkara label semata; dan bukan itu sebenarnya yang penting buat Aceh; kedua, perpanjangan alokasi dana otsus selamanya tidak akan pernah relevan jika tidak dibarengi dengan upaya pembenahan tata kelola pemerintahan dan manajemen pembangunan di Aceh.
Tawaran solusi
Solusi terbaik yang dapat saya tawarkan sebagai exit strategy pascadana otsus Aceh adalah kita harus meningkatkan daya tawar politik pembangunan Aceh dengan meyakinkan pemerintah pusat bahwa Aceh dengan segala keunggulan komparatifnya: sumberdaya alam yang melimpah dan posisi strategisnya yang secara geografis berada persis di pusat kawasan beberapa skema kerjasama regional dan internasional seperti IORA, Indo Pasiifik, IMT-GT, dan konektor dalam kerjasama ekonomi bilateral Indonesia-India, serta berada di jalur selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan tersibuk di dunia; adalah masa depan ekonomi Indonesia; adalah representasi kekuatan geo-politik dan geo-ekonomi Indonesia di kancah global di masa-masa yang akan datang.
Narasi ini Insya Allah akan memberi Aceh justifikasi mendapatkan lebih banyak alokasi proyek strategis nasional dalam rangka menstimulasi tumbuh dan majunya sektor produktif di Aceh, bagi Indonesia. Jadi pendekatannya ciptakan banyak program strategis, bukan meminta uang. Program strategis inilah nantinya yang akan menarik banyak sumber anggaran masuk ke Aceh, terserah mau dilabel dengan dana otsus, atau apapun. Jadi pendekatannya adalah money follow program.
Narasi ini tentu saja tidak ingin saya maksudkan sebagai sebuah garansi, tapi dari semua pilihan yang tersedia, saya berkeyakinan inilah langkah paling cerdas dan bermarwah bagi Aceh ketimbang semata berharap dan terpaku pada (label) dana otsus.
Jika pemerintah pusat mengabulkan perpanjangannya alhamdullah, tapi jangan terpaku dengan dana otsus seolah itulah satu-satunya solusi. Ada banyak cara menggaet berbagai sumberdaya dan dukungan bagi keberlanjutan pembangunan Aceh ke depan. Itu yang harus dieksplorasi.
Skenario ke depan
Pada tataran politik, menurut hemat saya elit-elit Aceh juga sudah harus menghentikan pendekatan politik bergaya konfrontatif, selalu menuntut dan menggugat Pemerintah Pusat.
Jakarta memang pernah punya dosa masa lalu terhadap Aceh, tapi kebiasaan yang terus dipelihara dengan selalu menyalahkan pemerintah pusat, itu adalah sikap yang kekanak-kanakan. Dulu ketika Aceh diberi status daerah istimewa kita tidak puas dan protes karena merasa hanya mendapat “pepesan kosong”.
Sekarang setelah diberi status otonomi khusus dengan bonus seratus triliun lebih uang kontan dana otsus, ternyata kita juga masih suka menyalahkan pemerintah pusat atas perkara-perkara yang sebenarnya sangat normatif dan simbolis, sementara puluhan triliun dana otsus yang telah kita terima gagal dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, bahkan sebaliknya Aceh malah mendapat predikat sebagai daerah termiskin.
Saya tidak antipati dan bermaksud menafikkan perkara-perkara normative tersebut. Apa yang menjadi penekanan saya adalah penting dan perlu bagi kita membangun objektivitas dalam melihat berbagai persoalan, karena jika tidak pendulum sejarah Aceh akan terus bergerak dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain.
Jangan sampai kita “bansa Aceh” kehilangan respek dunia karena kesan persis seperti dalam ungkapan bahasa Aceh: lagee ta peutimang minyeuk punoh keunoe han pah, keudeh pih han pah.
Situasi sudah berubah. Militansi tak berdasar justru menjadi blunder yang akan merugikan Aceh sendiri. Politik Aceh sudah harus tampil dengan wajah yang lebih cerdas dan moderat alih-alih militan. Aceh sudah harus mampu memainkan politik diplomasi, persuasi, dan inklusi ketika berhadapan dengan Jakarta; untuk membalikkan kesan Aceh sebagai “anak nakal”, kembali pada jejak sejarah sebagai daerah modal, model, dan inspirasi bagi Indonesia, sebagaimana dulu pernah ditorehkan oleh pendahulu-pendahulu kita.
Semangat inilah yang harus dibangun secara konsisten untuk memperkuat daya tawar Aceh sehingga Jakarta yakin bahwa Aceh sejatinya adalah asset sekaligus masa depan Indonesia.