Opini
Mengidentifikasi Perilaku “Mafioso” Aceh
Di dunia modern saat ini mafia bukanlah suatu istilah (terminologi) yang asing bagi kita, setidaknya banyak orang mengenal representasi simbolik
Mereka bisa berkorban materi dan segalanya hanya untuk mendapat bagian dari sebuah proyek pembangunan dan lain-lain. Sehingga kemudian terjadilah suap menyuap dan transaksional untuk sebuah jabatan. Di balik itu untuk kepentingan “agen” tersebut ada satu kondisi jual beli jabatan dengan sebuah istilah “pra dan pasca bayar”.
Istilah tersebut sedikit yang penulis fahami apalagi sudah menjadi rahasia yang diketahui umum bahwa untuk memuluskan mendapat jabatan, maka sebelumnya ada setoran atau bayaran dengan jumlah tertentu kepada para agen, sementara nanti ketika telah menjabat setoran akan terus mengalir kepada agen tersebut untuk berbagai macam kepentingan dan keperluannya.
Itulah yang penulis maksud perilaku mafia yang tindakannya itu jelas-jelas melanggar ketentuan hukum negara dan lebih lebih lagi bertentangan dengan syariat Islam.
Ironi memang, bagi “penggila” sebuah jabatan terkesan sangat senang bila bisa membangun hubungan serta berkolaborasi dengan mereka. Maka tidak salah kalau penulis katakan kalau dalam proses-proses itulah terjadi suap menyuap, sogok menyogok termasuk di dalamnya tipu menipu di antara mereka.
Perantara atau apapun namanya termasuk “agen” sangat berperan, termasuk melibatkan orang dalam atau pihak keluarga. Keberadaan mafia seperti itu memang seakan-akan terasa ironis, bahkan dianggap sebagai bagian kegagalan dalam mengawal dan mewujudkan agenda reformasi salah satunya pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Semua kondisi itu, hemat penulis sebenarnya sudah diketahui para pemimpin kita. Kini saat yang tepat untuk tidak boleh lagi ada kepura-puraan bahwa seolah-olah para pemimpin kita “tidak tahu”/ “tidak mau tahu” sehingga perlu terlebih dahulu muncul gerakan massa baru mereka tersadar untuk memerangi kejahatan dan jaringan mafioso di negeri “berlebel” syariat ini.
Akhirnya sangat miris bahwa akibat perilaku ala mafia (Mafioso) ini dipastikan bukan hanya merusak sendi moralitas negeri para syuhada ini melainkan juga telah menjadi pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat berdasarkan amanah MoU Helsinki dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, kian tak berwujud dan jauh dari kata pasti. Allahu alam.