Berita Banda Aceh
Revisi Qanun Hukum Jinayat Masuk Prolega 2022, Ini Dampaknya bagi Korban dan Pelaku Kekerasan Kelak
Di antaranya terdapat Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Penulis: Yarmen Dinamika | Editor: Nur Nihayati
Di antaranya terdapat Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Laporan Yarmen Dinamika l Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh pada tanggal 29 Desember 2021 telah menggelar Rapat Paripurna Penetapan Judul Rancangan Qanun Program Legislasi Aceh (Prolega) Prioritas Tahun 2022.
Di antaranya terdapat Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Informasi tersebut diperoleh Serambinews.com dari Darwati A Gani, Anggota DPRA Fraksi Partai Nanggroe Aceh (PNA), Kamis (30/12/2021) malam.
Perubahan tersebut, kata Darwati, diinisiasi oleh Anggota DPRA: Tgk Muhammad Yunus M Yusuf (PA), HT Ibrahim MM (Demokrat), Nora Idah Nita SE (Demokrat), Darwati A Gani (PNA).
Lalu, H Jauhari Amin MH (Gerindra), drh Nuraini Maida (Golkar), Kartini Ibrahim SE (Gerindra), dr Purnama Setia Budi SpOG (PKS), H Ridwan Yunus SH (Gerindra), Tgk H Attarmizi Hamid (PPP), dan Drs H Taufik MM (Gerindra).
Baca juga: Kinerja DPR Masa Sidang I Tahun 2021-2022 Belum Baik
Perubahan ini, katanya, untuk memperkuat Qanun Jinayat, di mana akhir-akhir ini perbuatan pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan sudah sangat mengkhawatirkan dan bisa dibilang darurat.
Kejahatan ini bisa digolongkan kepada extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena selain merusak masa depan anak dan perempuan juga merusak nilai-nilai syariat Islam yang diberlakukan di Aceh.
Dalam Qanun Hukum Jinayat terdapat sepuluh jarimah yang diatur, yaitu khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (bersepi-sepi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram), ikhtilath (bermesraan antara pria dan wanita yang bukan suami istri), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh orang berzina), liwath (homoseks/sodomi), dan musahaqah (lesbi).
Di antara kesepuluh jarimah tersebut, hanya dua jarimah yang berkaitan dengan kekerasan terhadap tubuh orang lain, yaitu pemerkosaan dan pelecehan seksual.
Yang menjadi masalah adalah jarimah pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 47 dan 50 Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat.
Menurut Darwati, para inisiator revisi Qanun Hukum Jinayat ini sudah sepakat bahwa setidaknya ada lima alasan atau pertimbangan mengapa revisi terhadap Pasal 47 dan 50 tersebut perlu dilakukan.
Baca juga: VIDEO - VIRAL Pemotor Nekat Lewati Jalanan yang Baru Dicor, Netizen: Yang Punya Kampung
Pertama, hukuman bagi pelaku selama ini sangat ringan jika dibandingkan dengan Undang- Undang (UU) Perlindungan Anak.
UU Perlindungan Anak ancamannya bisa maksimal 20 tahun, seumur hidup, atau bahkan hukuman mati, jika pelaku telah melakukannya berkali-kali, atau terhadap banyak anak.
Sedangkan Qanun Hukum Jinayat memberi peluang kepada pelaku untuk tidak dipenjara, yaitu cukup dicambuk saja. Setelah itu dia bisa kembali bebas dan bahkan berpotensi mengulang lagi perbuatannya.
Kedua, sistem pembuktian dibebankan kepada anak yang menjadi korban. Anak yang jadi korban harus menunjukkan saksi yang melihat dia diperkosa atau dilecehkan, kalau tidak bisa maka terdakwa kasus ini banyak yang dibebaskan.
Baca juga: Seulanga FC Polres Pidie Kalahkan Polres Pidie Jaya FC
"Padahal, kita tahu bahwa tidak mungkin pemerkosaan atau pelecehan dilakukan jika di tempat umum dan tempat ramai. Pastilah pelaku membawa korban ke tempat sunyi dan sepi.
Meskipun ada hasil visum dan keterangan psikolog, aparat penegak hukum, kerap mengabaikannya," kata Darwati.
Ketiga, perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tidak ada dalam Qanun Hukum Jinayat. Qanun ini hanya berbicara bagaimana menghukum pelaku, tidak mengatur bagaimana melindungi dan pemulihan korban.
Berbeda dengan UU Perlindungan Anak, anak yang menjadi korban berkewajiban/dijamin pemulihan, baik fisik, psikis, bahkan lingkungan dan sosialnya.
Keempat , lanjut Darwati, Qanun Hukum Jinayat tidak menjamin hak pemulihan (restitusi) terhadap anak sebagai korban pelecehan seksual, atau pemerkosaan.
Beda dengan UU Perlindungan Anak, pelaku diwajibkan membayar restitusi terhadap korban.
Kelima, sebut Darwati, Qanun Hukum Jinayat tidak melihat atau memosisikan anak sebagai korban. Jika ada orang dewasa yang pacaran dengan anak di bawah umur, kemudian berhubungan badan, maka anak juga akan diproses hukum dan diancam untuk dicambuk.
Berbeda dengan UU Perlindungan Anak, apa pun bentuknya, bagaimanapun caranya, tidak dibenarkan berhubungan dangan anak, jika terikat dengan hubungan pacaran pun dianggap sebagai tipu muslihat, dan yang akan dihukum hanya pelaku/orang dewasa saja.
Beranjak dari hal tersebut, kata Darwati, tentunya perubahan Qanun Hukum Jinayat sesuatu yang harus dilakukan untuk meredam perilaku predator seks di Aceh yang sudah di luar akal sehat manusia. Bahkan dilakukan secara berkelompok seperti terjadi baru-baru ini di Nagan Raya dan Aceh Utara.
Darwati menekankan bahwa pertimbangan utama perubahan (revisi) qanun ini adalah untuk penguatan qanun dan memberikan efek jera bagi pelaku.
"Kita berhadap agar pembahasan Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat nantinya berjalan lancar dan dititikberatkan pada Pasal 47 dan 50," ujar mantan First Lady Aceh ini.
"Besar harapan agar rancangan qanun ini dapat segera kita sahkan pada pertengahan tahun 2022 dan semoga mendapat dukungan dari semua pihak," demikian Darwati mewakili para inisiator revisi Qanun Hukum Jinayat. (*)