Internasional

Kawanan Gajah Sri Lanka Merumput di Tempat Pembuangan Sampah, Puluhan Ekor Mati Mendadak

Kawanan gajah menjadi tempat pembuangan sampah di Ampara, Provinsi Timur, Sri Lanka sebagai tempat merumput.

Editor: M Nur Pakar
AFP/File
Sejumlah gajah mencari makanan di tempat pembuangan sampah Ampar, Provinsi Timur, Sri Lanka. 

SERAMBINEWS.COM, KOLOMBO - Kawanan gajah menjadi tempat pembuangan sampah di Ampara, Provinsi Timur, Sri Lanka sebagai tempat merumput.

Dilaporkan, sejumlah media lokal melaporkan banyak gajah mati setelah menelan sampah plastik.

Laporan tersebut memperkirakan setidaknya 20 ekor gajah yang makan di tempat pembuangan sampai telah mati dalam delapan tahun terakhir ini.

Namun, para konservasionis mempertanyakan temuan tersebut.

Dikatakan, memakan plastik tidak secara langsung mematikan hewan berbelalai panjang itu.

Tetapi, masalah tersebut mengungkapkan yang lebih luas, pembuangan sampah yang buruk di Sri Lanka.

Pulau ini menghasilkan sekitar 7.000 ton limbah padat setiap hari, sebagian besar dibuang ke tempat pembuangan sampah terbuka.

Tempat pembuangan sampah, yang dilarang di banyak negara, seringkali dekat dengan tutupan hutan atau sumber air.

Sehingga, hewan liar mulai melihatnya sebagai sumber makanan.

Baca juga: Gajah Liar Rusak Kebun Sawit di Woyla Timur Aceh Barat, Kepergok Saat ke Kebun, Warga Lari Ketakutan

“Sekitar 75 persen tempat pembuangan sampah di negara ini, tempat terbuka,” kata Pubudu Weerarathne, Direktur Pusat Konservasi Spesies di Universitas Kolombo, kepada Arab News, Senin (24/1/2022).

“Hewan terbiasa dengan rasa makanan manusia dan mulai mencarinya lebih banyak,” ujarnya.

Dia menambahkan dalam kasus gajah ini mengarah pada penggerebekan dan lebih banyak konflik dengan manusia.

"Tentu saja, ada dampak yang lebih langsung pada kesehatan mereka sebagai akibat memakan limbah," ujarnya.

Dia menegaskan bukan sampah plastik yang terbukti mematikan gajah, yang dilindungi oleh sistem pencernaannya yang sederhana.

Sapi dan rusa sering mati dengan kematian yang menyakitkan karena plastik tetap berada di tubuh mereka, yang menyebabkan obstruksi usus.

“Gajah, apa yang kami sebut 'pengfermentasi usus belakang,'” kata Prof Prithiviraj Fernando, seorang ahli gajah.

“Sistem pencernaan mereka tidak sekompleks ruminansia seperti sapi," katanya.

"Jadi plastik dan polietilen tidak tersangkut di sistem pencernaan, tetapi melewatinya," tambahnya.

Meskipun sampah plastik bukan penyebab langsung kematian gajah, tempat pembuangan sampah tidak kalah berbahayanya bagi hewan.

Beberapa mati karena keracunan setelah makan bahan organik yang difermentasi.

Dr. Tharaka Prasad, direktur kesehatan satwa liar di Departemen Konservasi Satwa Liar, mengatakan proses bakteri memecah sampah makanan membuatnya berbahaya bagi hewan.

“Pencernaan anaerobik menyebabkan ekskresi racun ke lingkungan makanan, pada gilirannya menyebabkan kolapsnya gerakan usus," jelasnya.

"Akibatnya, kelumpuhan sebagian usus, yang berakhir dengan kematian,” katanya.

Baca juga: Detik-detik Kepala Dusun di Jambi Diinjak Gajah, Perut Korban Alami Luka Parah

Tapi bahaya terbesar bagi hewan datang saat mereka merambah pemukiman manusia saat makan di tempat pembuangan sampah.

“Lebih banyak gajah mati akibat luka tembak, atau hakka patas,” kata UL Taufeek, wakil direktur gajah di departemen margasatwa.

Dia merujuk pada alat peledak kecil berbentuk petasan yang digunakan orang untuk menakut-nakuti hewan besar itu.

Terdapat sekitar 5.000 ekor gajah dan hewan tersebut sebagai simbol kebanggaan nasional dan budaya.

Gajah Sri Lanka, subspesies gajah Asia, diklasifikasikan terancam punah.

Membunuh gajah dilarang, tetapi kematian mereka karena konflik manusia-gajah adalah hal biasa.

Pada 2019, sebanyak 407 ekor gajah mati di Sri Lanka atau tingkat tertinggi di dunia.

Gajah bukan satu-satunya korban kebijakan pengelolaan sampah yang tidak efektif.

Pada 2017, tanah longsor di tempat pembuangan Meethotamulla di ibu kota Kolombo menewaskan 19 orang.

Kebakaran TPA beracun dan polusi dari tempat pembuangan yang sama, serta di bagian lain negara itu, telah bertahun-tahun mengganggu komunitas lokal.

Sehingga, penduduk mengeluhkan komplikasi kesehatan.

Baca juga: Usai obrak-abrik Tanaman Petani Gajah Liar Kejar Warga Gampong Riweuk Pidie, Beruntung Masih Selamat

“Kami memiliki masalah pengelolaan sampah yang sangat besar di negara ini,” kata Dr. Ajantha Perera, aktivis lingkungan dan juru kampanye daur ulang.

Aktivis dan akademisi, yang bersaing dalam pemilihan presiden 2019 mengatakan kebijakan pengelolaan sampah telah ada selama bertahun-tahun.

“Tapi sampai ada kemauan politik, tidak akan ada perubahan,” jelasnya.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved