Konflik Rusia vs Ukraina
Banyak Perempuan Ukraina Angkat Senjata Melawan Rusia: Kami Tak Takut Mati, Hanya Takut Jadi Budak
Kristina tinggal bersama keluarganya di Italia selama lebih dari satu dekade, bekerja di supermarket dan bernyanyi di pesta pernikahan di waktu luangn
Dan ada pula Kristina, mantan penyanyi pernikahan.
Meskipun menjadi satu-satunya perempuan di unit tempur, Kristina mengatakan dia melakukan segalanya sama seperti rekan pria.
"Mereka memperlakukan saya pertama dan terutama sebagai perempuan militer, sebagai teman, sebagai saudara perempuan," katanya.
Sejak Presiden Vladimir Putin menginvasi tetangganya pada 24 Februari lalu, perempuan telah menonjol di kalangan warga sipil Ukraina yang memerangi pasukan Rusia, mulai dari membuat bom molotov hingga membongkar rambu-rambu jalan.
Peran mereka dalam perlawanan Ukraina dapat ditelusuri saat protes Maidan pada tahun 2013 lalu, di mana gelombang demonstrasi massa mengakibatkan penggulingan presiden Ukraina yang bersekutu dengan Rusia Viktor Yanukovych.
Selama aksi protes, yang ditentang keras oleh pemerintah Rusia, perempuan membantu di rumah sakit darurat dan bergabung dengan unit pertahanan diri.
Tahun itu, militer mulai melihat peningkatan besar dalam jumlah perempuan yang bergabung, angkanya juga naik lebih dari dua kali lipat dalam enam tahun hingga 2020.
"(Para perempuan ini) mengambarkan masyarakat Ukraina akan melakukan segalanya untuk melindungi kebebasan dan kedaulatannya," kata Olesya Khromeychuk, direktur Institut Ukraina London, sebuah organisasi amal dan pusat kegiatan pendidikan yang terkait dengan Ukraina.
“Ketika Moskow mencaplok Krimea dan mendukung separatis di wilayah Donbas timur Ukraina pada tahun 2014, banyak perempuan hanya mereplikasi peran yang mereka perankan selama aksi protes - tetapi kali ini di angkatan bersenjata,” kata Khromeychuk.
Awalnya, perempuan tidak diizinkan untuk mengambil posisi tempur, meskipun masih ada celah untuk merevisinya di sekitar pembatasan hukum.
Selama bertahun-tahun, laporan telah muncul tentang diskriminasi berbasis gender, serta tuduhan pelecehan seksual di tentara.
“Tetapi pada tahun 2018, pengesahan undang-undang kesetaraan gender militer memberi perempuan hak yang sama dengan laki-laki di tentara, sehingga menimbulkan perubahan sosial yang mendalam,” kata Khromeychuk.
Pada Desember lalu, pembaruan peraturan Kementerian Pertahanan mengharuskan perempuan berusia antara 18 dan 60 tahun yang dianggap cocok untuk dinas militer mendaftar ke angkatan bersenjata sehingga mereka dapat dimobilisasi selama perang.
"Mengingat lebih dari 122.000 tentara Rusia berada di perbatasan kami, keputusan itu tampaknya logis, tepat waktu, dan masuk akal," kata Oleksandra Ustinova, anggota parlemen Ukraina, kepada wartawan pada saat itu.
Pada bulan Februari, pihak berwenang Ukraina mengumumkan mereka ingin merekrut lebih dari 1,5 juta warga sipil ke dalam Pasukan Pertahanan Teritorial, cabang cadangan militer yang terdiri dari cadangan sipil.