Berita Nasional
Pukul Polisi, Mahasiswa Papua jadi Tersangka Buntut Aksi Demo Tolak DOB
Polisi menetapkan seorang mahasiswa sebagai tersangka kasus pemukulan terhadap polisi saat tengah mengamankan aksi demonstrasi
JAKARTA - Polisi menetapkan seorang mahasiswa sebagai tersangka kasus pemukulan terhadap polisi saat tengah mengamankan aksi demonstrasi yang ricuh.
Aksi demo menolak pemekaran wilayah Papua itu diketahui terjadi di dekat gedung Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (11/3/2022).
"Betul (ditetapkan tersangka).
Inisialnya AW," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Endra Zulpan kepada wartawan, Sabtu (12/3/2022).
Dia mengatakan, mahasiswa Papua itu disangka dengan Pasal 351 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penganiayaan.

"Pasal 351 ayat 2 KUHP.
Saat ini sudah ditahan," kata Zulpan.
Untuk diketahui, Polda Metro Jaya menangkap 90 mahasiswa Papua yang terlibat dalam aksi demonstrasi yang berujung ricuh di dekat kantor Kementerian Dalam Negeri.
Kasat Intel Polres Metro Jakarta Pusat AKBP Ferikson Tampubolon yang menjadi korban dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka robek di bagian kepala akibat terkena serangan mahasiswa itu.
Dari sejumlah mahasiswa yang diamankan, 89 orang di antaranya telah dipulangkan.
Baca juga: Anak Bunuh dan Rampok Ibu di Papua Barat, Uang Dipakai Menginap di Hotel dan Kabur ke Kaltim
Baca juga: Jubir Partai Aceh jadi Saksi Fakta Perkara Perubahan Otsus Papua di Pengadilan Mahkamah Konstitusi
Sedangkan satu orang lainnya masih diperiksa penyidik terkait dugaan memukul petugas.
Aspirasi Masyarakat
Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP), Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, kebijakan membentuk daerah otonomi baru (DOB) di Papua dan Papua Barat yang akan dilakukan pemerintah telah berdasarkan aspirasi masyarakat.
Menurutnya, kebijakan ini bertujuan memeratakan pembangunan di daerah tersebut.
"Kebijakan ini dilakukan sebagai upaya pemerataan pembangunan dan pelayanan di wilayah yang memiliki luas hampir empat kali lipat Pulau Jawa ini," kata Jaleswari dalam siaran persnya Jumat (11/3/2022).
Dengan begitu, nantinya pelayanan umum, kependudukan, dan pelayanan lainnya yang selama ini terpusat hanya di ibu kota Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dapat dibangun dan disebar di ibu kota provinsi-provinsi baru.
Kendala waktu, jarak, biaya, dan kesulitan transportasi yang selama ini dirasakan masyarakat juga bisa teratasi.
"Selain itu, agar pembangunan berbasis aspirasi dan wilayah adat dapat lebih mudah diwujudkan," tambah Jaleswari.
Namun, kebijakan DOB tersebut mendapat penolakan.
Pada Jumat, aksi demonstrasi mahasiswa yang menyuarakan penolakan DOB sedianya akan digelar di depan Kantor Kementerian Dalan Negeri (Kemendagri).
Baca juga: Lagi, KKB Serang Warga Sipil di Papua, 1 Orang Tewas dan Satu Terluka
Namun, aksi tersebut dibubarkan aparat Kepolisian dengan dibantu TNI setelah terjadi kericuhan.
Selain di Jakarta, demonstrasi menolak DOB Papua juga terjadi di sejumlah titik di Papua.
Berpotensi Picu Konflik Horizontal
Jauh sebelum aksi demonstrasi terjadi, Wakil Ketua I Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait mengatakan, isu pemekaran provinsi di Papua dan Papua Barat mendapatkan respons beragam dari masyarakat lokal.
Yoel pun menuturkan, isu ini berpotensi menimbulkan konflik antarmasyarakat.
"Isu pemekaran ini menimbulkan respons beragam di Papua.
Ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal kalau isu pemekaran ini terus didorong," kata Yoel dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring pada 23 Februari 2022.
Adapun pemerintah pusat berencana melakukan pemekaran enam provinsi di Papua dan Papua Barat.
Namun, masih ada perbedaan pendapat di tengah masyarakat untuk melaksanakan kebijakan tersebut.
Karena itu, Yoel mengatakan, MRP saat ini tengah mengajukan gugatan terhadap UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua Nomor 2 Tahun 2021 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu ketentuan yang dipersoalkan adalah Pasal 76 tentang pemekaran daerah.
"Jalan tengah yang dilakukan MRP sebagai lembaga kultur, kami mengajukan judicial review terhadap UU Nomor 2/2021 untuk menjaga keutuhan NKRI," ujar dia.
Dikutip dari Kompas.id, perwakilan dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Hans Jeharut meminta pemerintah pusat tidak tergesa-gesa menetapkan daerah otonomi baru di Papua dan Papua Barat karena berpotensi terjadi konflik yang besar.
Hans menegaskan, perlu ada dialog antara pemerintah pusat dan masyarakat, juga keterlibatan lembaga lainnya seperti gereja Katolik. (kompas.com)
Baca juga: Sosok Bebi Tabuni, Anak Kepala Suku yang Tewas Ditembak KKB di Distrik Beoga Papua
Baca juga: Momen Haru Keberangkatan 400 Prajurit RK 113/JS ke Papua: Selamat Bertugas Suamiku, Cepatlah Pulang